Cerpen Yayan Suryana, Lc. (Republika, 01 Februari 2015)
Pemuda ini, pada saat hari libur atau pun bukan, selalu begitu sepanjang tahun, tidak pernah lepas dari buku. Kisah-kisah kepahlawanan dan tokoh-tokoh besar dalam sejarah menjadi bacaan kegemarannya. Napoleon Bonaparte. William Shakespeare. Ernest Hemingway. Albert Einstein. Sehingga ia melupakan kewajibannya di kampus. Dosen, mata kuliah, teman sekelas, menjadi asing baginya. Apakah itu semua membantuku? Sementara aku susah payah keluar dari kabut seorang diri.
Dia benar-benar tenggelam dalam membaca buku-bukunya itu. Hanya sedikit tidur, lalu terus membaca sampai malam tiba. Istirahat? Tidak. Ia berlanjut membaca sampai waktu Subuh menggema.
“Istirahat dulu, Har. Nanti penyakitmu kambuh,” seorang temannya berkata, pada suatu pagi kala surya menerobos kaca jendela rumah. Depresi pemuda ini akan kambuh ketika tokoh yang dibacanya mengakhiri hidupnya dengan tragis. Ia hanya menengok dan tersenyum tipis, dilanjutkan lagi sisa bacaannya tanpa menghiraukan ekspresi prihatin temannya itu. Keras kepala.
Wajahnya yang persegi dan kedua rahangnya yang kokoh, sekilas mirip aktor laga Hollywood, Brad Pitt. Dan rambut yang dicukur pendek, tangannya yang kekar, kaus ketat yang menempel di badannya; ia sosok ksatria. Harry berusaha meniru penampilan tokoh-tokonya itu. Tidak banyak kata keluar dari mulutnya, hanya senyum tipis jawaban dari pertanyaan orang yang menyapanya. Ia seorang introver.
Pernah satu waktu, teman sekamarnya meng ajak menghadiri acara pesta kemerdekaan, tak dinyana Harry pulang begitu saja tanpa sebab.
“Aku tak suka berisik,” sergahnya.
Hari terus berganti, musim berubah mengikuti aturan alam. Lahirlah karya-karya anak manusia menjadi anak zamannya, tapi tak ada yang baru dari sosok Harry. Belum satu orang pun tahu sebabnya.
***
September 1998.
Hujan sudah reda dari tadi. Tapi kilatan petir dari langit yang kelam belum juga hilang, memberikan sketsa singkat pada wajah-wajah penuh dendam di balik semak. Bara kagum yang selama ini bersemayam di jiwa mereka, kini berubah menjadi badai tsunami yang siap meratakan sebuah permukiman di pesisir. Mereka lupa akan kebaikan orang yang kini tinggal beberapa meter dari tempat persembunyiannya.
Ajaran Islam yang mereka terima dari lelaki lembut berwibawa itu mendadak sirna, terkubur oleh derasnya isu dan iming-iming harta yang tak seberapa besar. Pembunuh dan punya ilmu hitam, begitu yang mereka tahu dari seseorang yang tak dikenal identitasnya.
Mereka percaya begitu saja dengan kata yang sepintas. Kata yang keluar dari mulut pencipta onar. Rupanya logika mereka lebih dekat dengan perasaan. Logika yang dibangun tanpa dasar kebenaran.
Seseorang yang mengetuai komplotan ini berkata pelan, hampir tak terdengar karena tetesan air hujan yang jatuh di daun dan suara binatang malam, “Kita harus bisa menghabisi si dukun santet ini sekarang juga! Kita sudah cukup sabar membiarkannya berada di tanah moyang kita.”
Rahangnya menggelutuk, kata-katanya diamini anggukan yang lain. Kokokkan burung hantu yang bertengger di atas pohon akasia seakan membuka drama berdarah ini untuk segera dimulai. Terlihat orang-orang itu mengeluarkan senjata tajam dari balik pakaian mereka yang basah karena badan mereka menyatu dengan semak-semak. Si ketua itu sendiri terlihat mencabut samurai, seperti pasukan kamikaze dari Jepang.
Malam sudah mendekati Subuh. Saat lamat-lamat dari jauh dua sosok tubuh berpakaian serba putih keluar dari rumah berornamen joglo. Beberapa rakaat sebelum Subuh menjadi kewajiban yang mereka tunaikan di langgar berjarak lima puluh meter itu.
Hanya satu komando sekelompok orang-orang itu berloncatan dan mengepung kedua sosok berpakaian putih tadi. Senjata yang terkepal dalam genggaman tangan-tangan mereka bergetar karena amarah yang sudah melewati ubun-ubunnya.
“Mau apa kalian?”
“Kami? Ha… ha… ha… seharusnya aku yang bertanya, belum cukupkah kau korbankan penduduk kampung ini?” ketua komplotan itu berkata sambil menunjuk-nunjuk ke arah lelaki setengah baya itu.
“Korban apa?” kata lelaki ini kedua kalinya. Sorban putihnya berkibar diterpa angin.
“Sudahlah jangan banyak kata! Seraaang…!!!”
Tubuh suami istri itu terbanting ke sana kemari, pukulan yang bertubi-tubi tak sanggup ditahan oleh tubuhnya. Teriakan ampun dan lolongan kesakitan tak membuat massa beringas itu surut. Tubuh keduanya terencah-rencah, pakaian bersih yang berwarna suci itu kini rata oleh cipratan lumpur dan berwarna darah. Tidak ada pertolongan dari tetangga, sebagian orang-orang itu adalah mereka. Hanya sepasang mata dari jendela kamar yang merekam jelas peristiwa ini. Ia mematung bergeming, karena sungguh perasaan takut belum berliang di hatinya.
“Ayo kita bakar rumahnya!”
***
“Nia, Nia… bangun sayang! Kita harus pergi!”
Gadis kelas enam SD itu mengucek mata bundarnya dan menjawab, “Pergi ke mana, Mas? Masih malam, Nia ngantuk.”
“Sudahlah kamu ikuti mas Harry saja.”
Karena lengannya ditarik paksa, anak gadis itu terlonjak dari tempat tidurnya. Harry cepat-cepat menuntunnya lewat pintu belakang. Tidak ia hiraukan lagi pertanyaan Nia yang terheran-heran karena berlari melewati semak-semak hutan bambu.
“Kita harus ke rumah nenek, kendati apa pun rintangannya.”
“Ayah dan ibu belum tahu?”
“Nanti Mas ceritakan di sana.”
Rimah, si nenek kedua anak ini terlongong setengah percaya, begitu menyimak cucu kesayangannya bertutur cerita. Ia hanya bisa menangis pilu sambil memeluk keduanya.
Ia sudah mendengar, beberapa pekan ini rentetan pembunuhan guru ngaji menjelma jadi peristiwa yang menakutkan. Alasannya sama; dukun santet. Tapi mengapa harus anak dan menantunya? O, duka benar-benar tak bermata.
Dua-tiga hari kemudian ada yang ganjil dalam diri cucunya. Harry. Ya, ia jadi banyak diam, sering merenung sendiri dan menangis, terkadang mengusir para pekerja yang tengah tenggelam dalam kesibukan di toko neneknya. Ia depresi berat. Mungkin karena ia melihat jelas kejadian itu. Kepribadian Harry masih labil. Rimah terpaksa memanggil seorang psikiater meski mahal harganya. Namun tidak banyak berarti, Harry belum ada tanda-tanda akan sembuh. Semuanya mengabut.
***
Satu waktu, “Nek,” cekatnya tak kuasa bicara.
“Bagaimana kalau Harry kuliah lagi?”
“O, ya… di mana?” tanyanya semangat.
“Ada teman lama mengajak ke Kairo,” jawab Harry polos lalu membesi. Rimah menghela nafas panjang, guratan keningnya yang sudah keriput melipat. Terasa berat baginya memberi jawaban, tatapan matanya menyirap resah.
Terapi pengobatan dari psikiater itu belum sepenuhnya sempurna. Harry memang sudah kuliah. Dengan penyakitnya yang sekarang, ia lebih banyak cuti.
“Nek, bagaimana?”
“Boleh, yang penting harus belajar,” bibirnya bergetar ketika mengatakannya. Tak diizinkan pun Harry akan memaksa, dan itu akan menambah beban kejiwaannya.
“Nenek hanya punya untuk tiket dan sedikit uang saku.”
“Tak apa Nek, terima kasih,” ia menutup percakapan singkat itu, bola matanya bersinar sempurna.
Ah, masalah ini membuat Rimah terpekur sendiri di kursi malasnya. Mata sayunya sebam karena baru saja menangis. Toko batiknya sedang sepi, tak banyak hasil yang didapat. Bagaimana dengan Nia? Tentu akan kehilangan kakak tunggalnya. Lengkap sudah penderitaan keluarga itu.
***
Mesir, September 2000.
“Ke mana Harry?”
“Harry di masjid,” kata Arman, teman sekamar Harry merespons pertanyaan. Pekan ini sahabat yang sudah dua tahun menghuni kamarnya itu sering keluar rumah. Padahal setahunya, tidak akan keluar rumah kecuali benar-benar penting. Sekarang Harry sedang membaca tokoh-tokoh Islam: Umar al Faruq, Khalid Bin Walid. Mungkinkah karena pengaruh bacaan itu?
“Masjid?” katanya terlongong heran, dan berlalu dengan senyum mengembang.
Seisi rumah ini sangat perhatian dan tepa salira kepada Harry, di mata mereka, Harry sebenarnya anak baik yang berprinsip. Tidak suka bergantung kepada orang lain. Kata- katanya dan coretan singkatnya di atas papan tulis penuh makna filosofis, menyentuh hati, dan mengerakkan jiwa. Kemarin Arman mengumpulkan tulisan Harry kepada panitia lomba menulis cerita, dalam tulisan itu Harry menceritakan seorang anak yang sedang tertekan jiwanya karena menyaksikan orang tuanya dibunuh di depan matanya. Anak itu sedang mencoba membangun kepercayaan dirinya. Har, Apakah itu engkau?
Sore hari, ia baru muncul di pintu. Dengan tas gantung putih dari kain menempel di pundak sebelah kanannya. Wajahnya tampak bercahaya terkena matahari. Adapun Arman segera menghampirinya, “Dari mana, Har?”
“Dari masjid, lalu ke ‘Ataba, pusat barang loakan di sudut Kota Kairo, Man. Lihat tingkah orang,” jawabnya pendek.
“Maksudmu?”
“Setiap manusia memiliki masalah yang sama, tergantung kita bagaimana bersikap.
Aku banyak melihat kenyataan. Bosan aku di rumah terus, Man. Aku mau bergaul.”
“Oh, bagus itu. Kapan-kapan aku temani.”
***
Hari pengumuman hasil karya tulis tiba, acara berada dalam sebuah aula cukup besar. Hadirin cukup banyak yang hadir karena acaranya bervariasi. Acara baru dimulai ketika sayap malam menutup sempurna jagat raya. Arman, dan teman-temannya duduk bergerombol. Ketika nama Harry disebut sebagai juara, Arman dan teman serumahnya memberi aplaus panjang. Tapi tak ada seorang Harry yang maju ke panggung. Hadirin sepi, hanya mata-mata mereka yang menengok ke kiri dan kanan.
Di pojok sebuah kamar yang terkunci, di bawah pijar lampu neon, Harry duduk termenung. Keringat dingin membasahi keningnya, pandangannya tertunduk, guratan-guratan wajahnya mengkerut. Depresinya kambuh, ia baru saja selesai membaca tragedi pembunuhan cucu kesayangan Rasulullah, Husein, di Karbala. Tokoh kesekian yang dibacanya. (*)
8 Wahran St, September 2004
Introver: Orang yang cenderung menarik diri dari kontak sosial khususnya saat mengalami ketegangan dan kontak batin. (Psikologi Jung, 2003)
*Yayan Suryana. Lc, alumnus al-Azhar, Kairo Mesir. Pernah Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Mesir.
Leave a Reply