Cerpen Fadilah Raharyo (Republika, 08 Februari 2015)
Lengkingan suara memecah keheningan malam. Menembus rintik hujan. Suara itu berasal dari sebuah bangunan di sebelah lapangan, dekat balai desa.
“Hayya ‘alash shalah.”
“Masya Allah. Apa pula ini. Azan tengah malam begini.” Pak Daud, Kepala Desa Ujung Karya, yang masih belum tidur melirik ke arah dinding. Benda bulat yang dilihatnya memperlihatkan kedua jarumnya berada di posisi yang sama. Tengah malam.
Pak Daud langsung bangkit dan sekenanya mengambil apa saja yang bisa dijadikannya alat untuk melindungi tubuhnya dari air hujan. Mantel hujan miliknya dipakai oleh si Fuad, anaknya, yang kuliah di ibu kota provinsi. Payung juga sudah rusak parah. Jadilah kini di tangannya potongan kardus tebal bekas dari TV 41 Inch yang dibelinya pekan lalu sebagai tameng tubuhnya.
Pak Daud bergegas menuju arah masjid. Dia tidak sendirian. Ternyata warga lain juga keluar dari rumah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Cahaya senter turut memeriahkan malam yang sebenarnya sudah memasuki masa tenang. Massa yang berdatangan ke arah masjid bertatapan satu sama lain dengan tatapan penuh tanda tanya.
Sesampainya di depan masjid yang ada hanya keheningan. Masjid gelap gulita. Tak ada tanda-tanda bahwa baru saja ada seseorang yang mengumandangkan azan. Hanya ada setitik cahaya lampu teplok dari bangunan kecil di samping tempat wudhu. Entah mengapa penghuni bangunan itu suka dengan lampu teplok padahal listrik sudah ada. Warga beringsut menuju arah cahaya yang nyaris padam tersambar angin.
“Umar. Bangun, Mar.” Pak Daud mengetuk pintu bangunan kecil itu. Bangunannya hanya berukuran 3×4 meter. Persis seperti dengan kamar kos anak Pak Daud di ibu kota provinsi. Dinding bata tanpa plester. Atapnya rumbia sumbangan dari Pak Mahrus yang seorang tauke atap rumbia. Bangunan kecil itu adalah hasil patungan warga desa untuk tempat tinggal marbut masjid.
Sosok kurus ceking berdiri di depan pintu. Matanya sayu. Berdirinya tak tegap. Tangannya menutup mulutnya yang menguap. Seketika matanya terbuka lebar-lebar saat melihat puluhan warga kini berdiri di depan tempat tinggalnya dengan tatapan sinis.
“Ada apa ini Pak Daud. Kok ramai-ramai tengah malam begini ke Masjid?” Umar terheran.
“Kau azan barusan, Mar?”
Dahi Umar mengerut. Dilihatnya satu per satu wajah warga. Semuanya menaruh rasa curiga padanya. Umar langsung tersadar. Siapa lagi yang biasanya mengumandangkan azan di desa ini kalau bukan dia.
“Saya tidur, Pak. Hujan begini enaknya tidur. Lagi pula ini sudah tengah malam. Isya sudah beberapa jam lalu. Untuk apa saya azan tengah malam begini.” Jelas Umar.
Warga melihat satu sama lain. Kebingungan menghampiri warga. Kalau bukan Umar yang azan lantas suara siapa yang tadi mereka dengar. Suara yang terdengar tak asing bagi mereka. Itu sebabnya warga sempat curiga pada Umar.
“Begini Umar. Kami semua kemari karena barusan mendengar suara azan. Benar bukan kau yang azan barusan?” Tanya Pak Daud lagi.
Umar menggeleng. Umar menolehkan pandangan ke arah masjid. Ditatapnya dalam- dalam bangunan yang baru setahun selesai di renovasi sedemikian megah. Bibirnya bergetar. Seolah hendak mengucap sesuatu namun berat diucap.
“Kek Mustafa.” Ucapnya lirih.
Sontak ucapan Umar membuat warga kembali saling melihat satu sama lain. Sebagian wajah itu memucat. Sebagian lain mengernyitkan dahi. Tanpa disadari satu per satu warga mulai beranjak dari tempat itu dengan langkah cepat.
***
Hari bergulir beranjak pagi. Kabar tentang azan tengah malam tadi telah menguasai penjuru desa. Bibir warga tak lepas dari obrolan tentang peristiwa itu. Warung Mak Ijah tidak lagi ada obrolan seputar kehidupan artis-artis yang disiarkan TV. Juga tak ada lagi obrolan tentang si Jon yang selingkuh dengan tetangganya di pos ronda.
“Kabarnya suara azan tadi malam itu suara Kek Mustafa.” Parmin membuka cerita sore itu di pos ronda.
“Ah, mana mungkin. Kek Mustafa sudah meninggal bulan lalu.” Paijo membantah.
“Benar, Jo. Aku sendiri dengar suara azan itu. Benar-benar suara Kek Mustafa.” Sambung Tono.
“Maksudmu yang azan kemarin itu hantu? Hantunya Kek Mustafa?”
“Lha iya. Aku yakin sekali itu suara Kek Mustafa. Dia pasti kecewa masjid terus-terusan sepi. Makanya Jo, tobat kamu. Jangan main kartu saja kamu di sini.”
“Lha, kok aku. Mas Parmin ngaca dong. Aku saja di sini karena diajak Mas Parmin.”
Paijo tertawa.
“Mar. Mar… Kemari.” Paijo memanggil Umar yang melintas.
“Ada apa Mas Paijo?”
“Benar suara azan tadi malam itu suara Kek Mustafa?”
Wajah Umar seketika berubah. Ditatapnya satu persatu wajah di depannya. Sedetik kemudian dia berlari meninggalkan Paijo yang masih penasaran dengan jawabannya.
Tapi bagi Parmin wajah Umar sudah cukup memberi jawaban jika itu memang suara Kek Mustafa.
***
Halaman masjid itu cukup luas. Di depan bangunan masjid itu tumbuh pohon beringin yang besar. Usianya sudah puluhan tahun. Bahkan melebihi umur masjid itu sendiri. Di bawahnya terdapat dipan dari bambu. Tempat yang tepat untuk beristirahat sambil menikmati udara segar hasil olahan fotosintesis beringin besar itu.
“Masjid semakin sepi saja ya, Mar.” ujar Kek Mustafa suatu siang saat duduk-duduk di dipan.
“Dulu saat masjid ini masih kecil, jamaahnya banyak. Masjid sampai penuh. Subuhnya saja ramai seperti shalat Jumat,” lanjut Kek Mustafa menatap bangunan megah di depannya.
“Masyarakat di sini sudah sangat sibuk mungkin, Kek.”
“Dulu mereka minta masjid ini direnovasi agar bisa menampung jamaah yang semakin banyak. Maka mulailah direnovasi. Hingga jadilah semegah ini. Setelah megah justru jamaah semakin sedikit,” sambung Kek Mustafa lagi diiring suara batuk yang cukup berat.
Umar menatap masjid. Dia tak menampik apa yang Kek Mustafa katakan. Subuh hanya lima orang. Zhuhur hanya dirinya dan Kek Mustafa. Maghrib masih lumayan, pernah sampai suatu hari sampai satu saf penuh. Isya kembali hanya tinggal dirinya dan Kek Mustafa. Begitu terus. Entah sampai kapan.
“Oya, Kek. Rekaman azan sudah saya kirimkan ke stasiun radio di ibu kota kabupaten. Mudah-mudahan terpilih ya, Kek. Pengumumannya bulan depan katanya.” Ujar Umar diselingi anggukan dan senyuman Kek Mustafa.
***
Sejak malam itu, azan kembali terdengar beberapa kali saat tengah malam. Warga desa mulai cemas. Tidak sedikit warga yang percaya jika arwah Kek Mustafa tidak tenang karena masjid tak lagi penuh dengan jamaah. Bahkan beberapa warga seakan insyaf dan mulai kembali ke masjid. Namun tetap saja tidak sampai satu saf terisi.
“Mungkin ada permintaan Kek Mustafa yang belum terpenuhi?” Pak Mahmud mulai membuka obrolan sore itu di rumah Pak Daud.
“Saya tidak tahu. Umar belum hadir. Saya sudah sampaikan undangan padanya untuk hadir sore ini,” ujar Pak Daud.
“Tidak ada yang aneh dengan meninggalnya Kek Mustafa. Setidaknya itu pernyataan mantri desa. Murni karena penyakit paru-parunya dan memang sudah uzur.”
Wajah-wajah penasaran masih menyelimuti rumah Pak Daud sore itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang mampu menguak misteri azan yang selalu berlangsung tengah malam saat hujan mengguyur desa.
“Sepertinya kita harus kembali memakmurkan masjid. Mungkin ini teguran dari Kek Mustafa kepada warga desa,” ujar Pak Daud. Warga yang hadir mengangguk.
“Allah Akbar. Allah Akbar.”
Pak Daud tersentak. Wajah-wajah di sekitarnya pun saling lirik satu sama lain.
Suara itu tak asing. Tapi asal suara itu tidak dari masjid. Suaranya berasal dari arah dapur.
Bu Daud seperti biasa selalu mendengarkan acara tausiyah sebelum Maghrib tiba.
***
Hujan menguatkan aroma mistis yang belakangan menyelimuti desa. Beberapa pasang mata terjaga di pos masing-masing. Meski diselimuti rasa takut, namun rasa penasaran cukup menyalakan rasa berani untuk melakukan aksi yang sudah disepakati. Tak dapat dibayangkan jika benar suara azan itu adalah benar Kek Mustafa. Kerlip cahaya senter kecil jadi alat komunikasi di gelapnya malam. Kerlip satu tanda aman. Kerlip dua waspada.
Cahaya senter berkerlip dua kali. Dari luar terdengar langkah seperti orang terburu-buru menuju ke arah mereka. Sesaat suara pintu beradu menciptakan suasa tegang yang diiringi dengan cahaya kilat. Sosok bersarung yang kini sudah berada di ruangan itu berjalan mengendap menuju mimbar tempat pengeras suara berada. Bergegas ia sambungkan kabel pengeras suara ke sumber listrik. Tangannya mulai mengeluarkan sesuatu dari balik sarungnya.
“Allahu Akbar. Allahu Akbar.”
Lampu tiba-tiba menyala. Sosok bersarung itu kaget. Sepuluh orang berdiri di penjuru ruangan itu menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Beberapa dari mereka mulai mendekatinya.
“Umar!” lirih Pak Daud seakan tak percaya.
Umar tak bisa mengelak. Tubuhnya kini jadi sasaran empuk tangan dan kaki warga. Teriakan yang menuduhnya gila menyelingi pukulan dan tendangan yang mengarah padanya.
Darah mulai mengalir dari pelipis matanya.
“Aku tidak gila. Kalian yang gila. Ke mana kalian selama ini saat azan tepat waktu.”
ujarnya kepayahan sambil tertawa melepaskan diri dari kerumunan. Tubuhnya sempoyongan.
Lalu jatuh. Warga hanya menatap hampa tubuh Umar. Terngiang-ngiang perkataan Umar. Suara azan terus berkumandang. Suara Azan Kek Mustafa. (*)
Langsa, 3 November 2014
Fadilah Raharyo, lahir di Binjai, 14 Mei 1988. Seorang banker penikmat sastra. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Berdomisili di Langsa, Aceh. Cerpennya “Lelaki Kamboja” pernah dimuat di Harian Analisa. Beberapa cerpennya seperti “Perkenalan Terakhir”, “The First” dan “Si Manggale Terakhir” juga pernah dimuat di Annida Online.
Leave a Reply