Cerpen S Prasetyo Utomo (Republika, 15 Februari 2015)
Gemuruh rel kereta api di kejauhan itu seperti mengguncang Abah untuk meninggalkan rumah. Abah kelihatan gelisah. Memandang Abah termenung di ruang tamu, ia kehilangan setengah ruhnya. Wajahnya memucat.
Umi tak tega memandanginya. Secangkir kopi di meja bundar itu telah lama dingin, cuma dipandangi Abah. Rokok yang disulutnya tak pernah diisap, merapuh sebagai abu. Abah seperti kayu lapuk, yang dalam sekali sentak akan luruh—terhambur sebagai debu. “Sudahlah,” kata Umi, “tak perlu disesali. Kau tak terpilih dan kukira ini memang takdir kita.”
Abah memandangi Umi dengan tatapan kosong. Menggeleng-geleng seperti ingin menampik keadaan yang menimpa dirinya. “Orang-orang cuma mau uangku. Semua sudah habis kupertaruhkan: tanah, rumah, mobil, tabungan. Tapi, mengapa mereka tak juga memilihku? Mestinya mereka tak perlu bermuka dua serupa itu.”
“Mereka tak bersalah. Abah yang terlalu berharap.”
“Memang aku yang terlalu berharap menjadi wakil rakyat. Memang bukan keahlianku. Aku cuma seorang pemilik toko kain, mengapa berangan-angan terlalu tinggi? Kau sudah memperingatkanku. Sudah berkali-kali. Tapi, aku tak pernah mendengarmu. Mungkin aku harus meninggalkan rumah. Aku harus mengembara.”
“Mengapa Abah malah ingin pergi?”
“Aku ingin berguru pada seorang ulama. Melupakan keguncangan hatiku.”
“Zahra putri kita masih terlalu kecil untuk kau tinggal. Dia tujuh tahun, sangat dekat denganmu. Bagaimana mungkin kau tega meninggalkannya?”
“Aku pergi demi kebaikannya. Aku tak mau dikenangnya sebagai ayah yang buruk perangai dan perilaku semacam ini.”
Tengah malam, ketika rel tergetar, kereta api menggemuruh menjauh, Abah meninggalkan rumah berbekal sedikit pakaian, uang, dan perasaan yang gundah. Sebelum berangkat, ia memandangi Zahra, anak gadis kecilnya yang masih berumur tujuh tahun, dan meninggalkan rumah pelan-pelan, tanpa seorang pun tahu, kecuali Umi, yang tak paham mengapa suaminya mengembara. Umi juga tak tahu sampai berapa lama suaminya melakukan pengembaraan. Abah melangkah bimbang. Sesekali menoleh.
***
Ketukan pintu gencar dan bertubi-tubi. Umi senantiasa kedatangan tamu-tamu Abah dengan berbagai kepentingan. Tengah malam terdengar ketukan pintu, keras, dan Umi sudah paham siapa yang datang malam itu. Dengan sepasang mata yang kemerahan serta mulut bau rokok dan kopi, lelaki gemuk gempal pendek berdiri di depan pintu. Pandangannya penuh harap. Umi menghadapinya dengan lembut, senyum, dan ramah.
“Di mana Abah engkau sembunyikan?” tanya lelaki setengah baya itu. Tubuhnya menahan goncangan dada.
Umi yang telah memahami teman-teman Abah menghadapinya dengan lembut pada belahan bibirnya. Wajahnya tak menampakkan kebencian. Tak mau memancing kemarahan.
“Abah mengembara,” balas Umi. “Aku tak tahu kapan Abah akan kembali.”
“Dia berutang padaku. Janjinya akan dilunasi segera. Mengapa dia malah pergi?”
“Akan aku lunasi semua utang Abah. Bersabarlah. Beri kesempatan aku untuk membayarnya.”
Lelaki gemuk gempal pendek itu meninggalkan rumah Umi dengan menggerutu. Langkahnya gontai menuju gardu ronda di perempatan dekat rel kereta api. Di tempat itu Abah biasa berjudi, menghabiskan malam dan uangnya. Tapi, kali ini Abah meninggalkan rumah. Lelaki gemuk gempal pendek itu kehilangan salah satu teman berjudi sepanjang malam.
***
Umi tak lagi tahu apa yang terjadi pada pengembaraan Abah. Tapi, wajah Umi tak pernah tampak murung. Tak menampakkan rasa kehilangan suami. Di hadapan orang- orang, ia tetap ramah pada siapa pun, seperti tanpa beban, tanpa kesedihan.
“Mengapa engkau tidak minta cerai dari suamimu?” kata juragan Zul, yang memiliki toko kelontong terlaris di ujung pasar. Dulu, semasa Umi masih gadis, ia pernah dilamar juragan Zul. Tapi, lamaran itu ditolak. “Kamu telah ditelantarkan suamimu. Akan lebih baik bagimu dalam keadaan janda.”
“Bila aku janda, apa yang bisa aku lakukan?”
“Nikah lagi!” seloroh juragan Zul menggoda Umi. “Apa yang kamu harapkan dari seorang suami yang meninggalkan rumah begitu saja, tak memikirkan utang-utangnya juga utang kepadaku. Dibiarkan istrinya menghadapi tagihan-tagihan utang yang tak tahu kapan bakal lunas.”
Umi tertawa. Ia menertawakan dirinya sendiri. Ia masih memendam harapan, suatu hari Abah pulang. Hidup bersama kembali dengan Zahra—putri mereka yang berumur tujuh tahun—yang selalu bertanya, kapan Abah pulang.
Umi tak pernah menanggapi desakan juragan Zul untuk bercerai dari suaminya. Ia sangat sadar bila godaan itu akan datang dari laki-laki yang dulu pernah ditampiknya semasa gadis. Godaan juga datang dari lelaki-lelaki iseng yang berupaya memikatnya.
***
Selalu berulang, Umi tergagap ketika harus menjelaskan pada Zahra, anak gadisnya yang masih berumur tujuh tahun, ke mana Abah pergi. Umi tak pernah memperoleh kabar keberadaan suaminya. “Kapan Abah pulang?” desak Zahra.
“Suatu hari Abah akan pulang naik kereta api.”
“Abah pergi naik kereta?”
“Mungkin saja Abah pergi naik kereta.”
Tiap kali Zahra tertegun dan senantiasa berlari mencapai lorong gang, melihat kereta.
Meski yang dilihatnya hanyalah gerbong kereta yang paling ujung, getaran rel, dan suara gemuruh yang menjauh. Ia lama berdiam diri, memandangi gerbong-gerbong kereta yang lenyap dalam sunyi.
***
Tengah malam Umi mendadak bangun. Ia merasakan kekosongan hati. Menjenguk kamar Zahra. Kamar itu sunyi. Terdengar suara gemuruh kereta api yang melintas dan Umi merasakan suasana yang sangat senyap. Ia berhenti di depan pintu kamar putri kesayangannya.
Ia buka pintu kamar pelan-pelan, takut bila mengagetkan Zahra yang sedang lelap.
Tapi, aneh, kamar Zahra kosong. Jendela masih tertutup. Umi menyentuh jendela itu, ringan saja, dan terbuka. Zahra meloncat dari jendela kamar? Tengah malam, dalam gelap, tanpa cahaya, gadis kecil itu melompati jendela kamar dan meninggalkan rumah?
Umi bergegas mencari anak gadisnya. Ia sudah menduga, anak gadisnya meninggalkan rumah, pergi ke tepi rel kereta api. Anak gadis itu selalu bertanya kapan Abah akan pulang. Di tepi rel, gadis kecil itu berdiri dalam gairah penantian, dingin berembun, dan tak bergeser setapak pun. Tidak berpaling. Menanti kereta api lewat, berhenti di hadapannya, dan Abah turun menghampirinya.
Gadis kecil itu mendengar suara langkah Umi, makin dekat, tak menggoyahkan pandangnya ke arah asal kereta api melaju dari stasiun kota.
“Aku menunggu kereta api yang membawa Abah pulang,” kata Zahra. “Aku ingin ketemu Abah.”
“Suatu hari Abah pasti pulang.”
“Kalau aku nikah, mungkin Abah pulang,” kata Zahra penuh harap. “Tapi, itu waktu yang sangat lama. Aku ingin ketemu Abah sekarang.”
“Bagaimana kamu punya pikiran serupa itu?” desak Umi, tak meyakini omongan anak gadisnya.
“Tiap kali aku rindu Abah, aku berlari kemari, Abah seperti hadir dan berpesan akan pulang bila aku nikah.”
Umi membungkuk, memeluk anak gadisnya. Di dalam hati ia berucap: alangkah lama Abah akan kembali. Ia memaksakan diri tersenyum, menenteramkan hati putri tunggalnya. Diajaknya gadis cilik itu pulang. Tapi, Zahra meminta diperkenankan tetap berdiri di sisi bentangan rel: menunggu kereta api yang bakal lewat, barangkali Abah akan membisikkan sesuatu dalam hening selepas kereta api melintas dengan gemuruh yang menggetarkan.
Setelah rel itu digetarkan kereta api pagi, Zahra mau diajak pulang. Bisikan Abah memang tak didengar Zahra. Tapi, gadis kecil itu mencari keteguhan pada wajah Umi yang menahan kegetiran. Azan Subuh merekahkan pagi dan ketukan-ketukan pintu rumah akan gencar bertubi-tubi: menagih utang Abah.
Tiba di dekat masjid, lagi-lagi langkah Umi terhenti. Ia berpapasan juragan Zul. Apa lagi yang akan dikatakan lelaki itu? Memintanya bercerai? Menagih utang?
“Dari mana sepagi ini?”
“Mencari Zahra. Dia menanti Abah di sisi rel kereta api. Disangkanya Abah akan segera kembali.”
Memandangi Umi lekat, juragan Zul mendekat. Wajahnya teduh. “Kamu mesti menanggung akibat kepergian suami seorang diri. Kamu istri yang mulia. Anggap seluruh utang suamimu padaku lunas. Aku sudah mengikhlaskannya.” (*)
S Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Mahasiswa program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes. Bekerja sebagai dosen di Universitas PGRI Semarang.
Aktif menulis sastra sejak 1983 dan karyanya banyak dimuat di media lokal atau nasional.
Leave a Reply