Cerpen Fina Lanahdiana (Republika, 22 Februari 2015)
Pintu itu adalah sebuah batas yang hanya segaris kabut tipis tak berdinding. Siapa pun yang menyentuhnya bisa melampaui, meskipun ia sebatas melangkahkan satu kaki ataupun sentuhan sebuah jari telunjuk.
Cahaya mengerucut biru, memanjang, dan terhampar memantulkan bayang-bayang sebuah pintu berukuran raksasa yang berdiri tegak, teramat pongah bagai seorang raja yang gemar menepuk dan membusungkan dada di hadapan rakyat-rakyatnya yang jelata.
Zaid bermuka masam. Langkahnya linglung dan gusar. Perangainya seolah bocah yang tersesat di dalam belantara hutan tanpa ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Matanya menyisir keadaan sekitar, gelap dan senyap, kecuali cahaya di hadapannya yang menyerupai lorong menuju entah.
“Apakah aku bermimpi?”
“Tidak, Zaid. Kau tidak sedang bermimpi.”
“Siapa kau?”
“Pintu.”
Kaki Zaid melangkah mundur. Telapak tangannya bereaksi spontan hendak menutup mulut dan wajahnya, dan kembali cemas. Tubuhnya berkeliling, mencari sesuatu yang barangkali adalah jalan keluar menuju rumah atau kantornya.
“Aku … aku harus mengajar murid-muridku. Ini jam berapa?”
“Kau tak butuh mengajar dan juga tak butuh jam. Diamlah bersamaku di sini.”
“Tapi untuk apa?”
“Bersabarlah sebentar.”
“Kumohon, jangan permainkan aku.”
“Tak ada permainan di sini. Segalanya berlangsung dengan serius dan sungguh- sungguh.”
Kabut itu, yang terkena sorotan cahaya biru, segera menghilang. Wajah Zaid berwarna cerah. Cemasnya segera berganti air muka yang berseri-seri.
Di hadapannya yang jauh tapi masih terjangkau, pepohonan hijau, bukit-bukit, serta bunga-bunga menghampar—berwarna-warni—melambangkan bahagia yang abadi.
Seketika ia ingin lari menyerupai kuda pacu yang mengenakan kacamata kuda hingga tak bisa ia lihat pemandangan di sebelah kanan dan kirinya.
“Tunggu!”
Kaget. Kakinya berhenti. Pintu yang hanya berjarak sejengkal itu terasa sangat jauh dalam upaya-upaya yang ia lakukan. Tangannya seolah menjadi pendek, sangat pendek hingga ia hanya bisa menggapai-gapai udara kosong.
Tak ingin hirau, kakinya dipaksa dengan seretan yang berat hingga menghasilkan suara sruk-sruk. Namun yang terjadi, kakinya tak beranjak dari tempatnya semula. Lantas terasa kaku, mengeras seperti patung yang tak henti dipahat pengrajinnya. Tubuhnya semakin berat dan berat. Kadang-kadang ia membayangkan dirinya sebuah pion catur yang sedang dilakonkan seseorang.
Zaid merasakan sebuah sengatan. Tidak terlalu dahsyat, namun cukup membuat dadanya terlonjak dan tubuhnya terpental. Herannya semakin menjadi. Ia ingin memaksa langkah, lagi dan lagi.
“Apa ini?”
***
“Ustaz, apakah surga itu ada? Seperti apa rupanya?” tanya salah seorang murid Zaid di kelasnya pada saat jam pelajaran agama.
“Tentu, tentu. Allah telah menjanjikannya bagi siapa saja yang mengamalkan kebaikan serta menjauhi larangan-Nya.”
Murid tersebut—yang merupakan salah satu murid yang diperhitungkan kepandaiannya—mengangguk lantas menggoreskan sesuatu di permukaan buku catatannya. Terlihat sangat serius bagi seorang bocah kelas 4 sekolah dasar.
“Kalau begitu aku ingin menjadi seperti ustaz saja. Biar bisa bermanfaat bagi banyak orang. Ayah dan ibuku pasti sangat bahagia.”
“Bagus, Nak. Cita-cita yang mulia.”
Jam pelajaran habis, dan keduanya terpisah.
Aktivitas harian Zaid begitu padat. Ia tak cukup mengajar pada satu sekolah, belum lagi mengajar mengaji di rumah—setiap hari pada malam hari selepas Maghrib—belum lagi diundang sebagai penceramah pada acara keagamaan semisal peringatan Isra Mi’raj, Maulid Nabi, atau acara-acara lain yang sejenis. Terkadang ia sendiri lupa makan, lupa minum, lupa tidur, dan lupa menjaga kesehatannya sendiri. Pokoknya ia rela melakukan apa saja demi berbagi ilmu kepada orang lain.
Begitu banyak yang mengelu-elukan kehadirannya menguraikan barang satu atau dua potong ayat Alquran atau hadis. Kadang-kadang di sela ceramahnya ia menyelipkan senandung atau shalawat yang begitu merdu, begitu sejuk di dalam dada orang-orang serupa tetesan embun yang turun, membasahi rumput dan daun-daun-luruh.
Oleh sebab karakternya yang berkarisma itulah, para jamaahnya begitu segan saat berhadapan dengannya. Di antara mereka tak jarang yang mencium tangan: sungkem, bahkan berjalan membungkuk yang kadang-kadang mengesankan sikap patuh yang berlebihan.
Namun, ia begitu nyaman menikmati segala puji dan puja yang ditimpakan kepadanya sebagai kebahagiaan—bahkan kebanggaan meskipun dengan alasan mengajarkan amar makruf nahi mungkar.
Ia memiliki dua orang anak yang masih berusia tiga dan lima tahun, yang begitu ia sayangi, ia cintai, dan ia beri perhatian penuh. Demikian pula ia perlakukan istrinya sebagai perhiasan yang akan dengan sangat hati-hati ia sentuh agar tak mudah terurai dan patah.
Siapa saja yang menyaksikan keharmonisan keluarganya akan merasa takjub dan penasaran, bagaimana cara-cara yang tepat untuk menjaga hubungan agar selalu berisi tawa dan bahagia.
***
“Senang sekali ya sepertinya jika menjadi istri Ustaz Zaid. Ia begitu hati-hati menjaga diri dari perempuan lain. Dan anak-anaknya pun ia turuti segala keinginan dan kebutuhannya. Mereka beruntung sekali, ya.”
“Kamu benar. Beruntung sekali mereka.”
“Kalau kamu dipinang jadi istrinya, mau?”
“Hussy. Ngomong apa sih kamu. Nggak baik bilang begitu.”
“Kan hanya misal saja. Tanggapanmu serius sekali. Atau jangan-jangan …” Surti menggoda Ida, temannya di perkumpulan ibu-ibu PKK.
***
Demikianlah cara orang-orang mengenang kebaikan Zaid. Ia yang hidup dan dikenal sebagai ustaz. Terlalu banyak di antara mereka yang merasa beruntung telah mendengarkan tausiyahnya, bahkan menyimpan video rekaman dan mengunggahnya ke situs Youtube atau hanya sekadar dokumentasi pribadi. Sama-sama melahirkan kesan mendalam.
Tak ada seorang pun yang tidak terkejut ketika speaker masjid menggaungkan kabar duka. Menyebut-nyebut nama Zaid sebanyak tiga kali. Suara yang demikian runcing dan ganjil dan hening. Sebab, beberapa jam sebelumnya, ia masih begitu sehat dan sempat menghadiri sebuah pengajian menyambut tahun baru Hijriyah.
Jantung. Penyakit itulah yang tersiar sebagai penyebab meninggalnya Zaid yang tiba-tiba hingga memunculkan spekulasi yang beragam tapi seragam. Rata-rata di antara mereka menyebut Zaid sebagai penghuni surga seolah ia hidup tanpa memiliki celah keburukan. Orang-orang menangis, rasa kehilangan mereka. Menyesali tubuh Zaid yang direnggut serangan jantung.
***
Masih dengan napas payah, Zaid bangkit dan menguasai diri.
“Ada apa gerangan? Mengapa tubuhku selalu gagal melintasi garis tipis yang serupa kabut itu? Serupa aku adalah barang najis yang sepantasnya dibuang. Tidakkah kau tahu amalan-amalan baikku? Tidakkah kau tahu betapa banyak pengikutku?”
“Benar. Kamu telah melakukan amalan-amalan baik dan kamu luruskan mereka yang tersesat kembali ke jalan yang diridhai Allah.”
“Lantas?”
Diam.
Zaid kembali merasa dipermainkan.
Tiba-tiba Zaid mengenali seorang perempuan yang berjalan dengan sangat ringan. Bagai tiada beban yang memberatkan langkahnya. Padahal, Zaid tahu perempuan itu melakukan dosa yang besar: menyiksa dan mencoba membunuh anak-anaknya.
Zaid mengetahui itu ketika pada sebuah siang yang terik, perempuan itu datang menghadap ke rumahnya. Ia meminta cara-cara agar terbebas dari dosa sebab telah menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak akan pernah mengembalikan suaminya yang telah meninggal.
Demikianlah, alasan perempuan itu selalu berupaya untuk membunuh anak-anaknya karena keadaan ekonomi keluarganya yang semakin payah sebab pekerjaannya hanyalah seorang buruh cuci langganan tetangga-tetangganya. Namun, jika ditanya alasannya menganiaya anak-anaknya, ia selalu menjawab bahwa di dalam mimpinya ada seseorang yang meminta agar ia membunuh anak-anaknya.
Tentu saja itu alasan yang dibuat-buat. Lalu saat itulah ia berjanji hendak menata diri dan memilih menitipkan anak-anaknya pada eyangnya. Itu barangkali cara yang lebih baik. Maka pada saat ia membuat pengakuan, ia meminta agar tidak dilaporkan kepada siapa pun, termasuk Pak RT atau pihak kepolisian.
Mata Zaid membola bagai hendak jatuh dari kelopaknya.
“Kau mengenal perempuan itu?”
“Aku mengenalnya.”
“Ia bertobat, mendengarkan segala ajaranmu dan mengamalkannya. Memohon ampun hingga ajalnya. Sementara kau terlalu sibuk menuding orang lain sebagai penghuni neraka, menyalahkan apa saja yang berseberangan dengan ajaranmu, dan kau sendiri lupa dengan segala hal yang keluar dari ucapan-ucapanmu.”
Lemas, sesak. Zaid kehilangan daya, kehilangan tenaga, kehilangan segalanya. (*)
Kendal, Desember 2014
Fina Lanahdiana, lahir pada 19 Februari 1992. Berdomisili di Kendal, Jawa Tengah.
Leave a Reply