Cerpen Nurul Lathiffah (Republika, 28 Desember 2014)
Lantunan ayat-ayat suci secara ajaib mampu menyejukkan siang yang terik. Para pelayat datang dan pulang seperti arus yang selalu berganti aliran. Ini bukan sebuah kepergian sosok yang biasa. Bagaimana mungkin kewafatan dihormati dengan begitu marak, tanpa sebuah jejak sejarah yang gemilang?
Aku mengenal sosok beliau sebagai kiai yang sangat karismatik. Kesimpulan tersebut kudapatkan melalui mozaik percakapan para santri yang sering mampir di warung angkringan. Sebagai sesama langganan, aku jadi kenal beberapa nama. Kebetulan, kami sering bertemu dan berbincang pada pukul setengah satu siang. Aku memang lebih suka makan di angkringan. Di samping lebih hemat, angkringan juga mengingatkanku kepada simbah putri yang berjualan nasi teri. Sewaktu kecil, aku sering menghabiskan waktu siang hari untuk ikut menunggunya berjualan di bawah pohon asem.
Melalui percakapan dengan kang-kang santri itulah, aku jadi icip-icip mengenal sosok Kiai Nawawi. Pernah seorang kang santri bernama Imam menceritakan ketakwaan Kiai Nawawi dan kecerdasan Qurani yang beliau miliki. Sekitar satu atau dua tahun terakhir ini, beliau memang sering lupa kepada wajah orang-orang tercinta. Bahkan, pernah suatu ketika, sang putra bertemu dengan beliau. Ketika itu, beliau bertanya, “Lho, njenengan niku saking pundi?”
Meskipun demikian, hal yang begitu menakjubkan adalah ingatan beliau tentang ayat-ayat Alquran. Beliau sangat mengutamakan menjaga Kalamullah. Di dalam alam bawah sadar takwanya, beliau tetap menjaga hafalan dengan kekhusyukan.
Bercermin dari hal itu, aku semakin memahami gelombang para pelayat yang menyampaikan perasaan dengan cara-cara yang syahdu. Bahkan, aku yang selama ini belum pernah sowan kepada Pak Yai pun terdorong oleh keinginan yang kuat untuk menghormati jenazah beliau.
Setelah menunaikan shalat jenazah pada gelombang ke-62, aku pun segera mencari naungan. Tenda-tenda semakin dipadati pelayat. Akhirnya, aku menepi.
Di sini, tidak ada seorang pun yang aku kenal. Aku menjadi lelaki asing yang berada di kerumunan orang-orang yang saling akrab, begitulah batinku memberi pemahaman.
Kuputuskan untuk keluar area dan mencari pohon peneduh. Semilir angin di sawah sekelilingku menggetarkan kenyamanan di sel-sel tubuh.
“Lho, sendirian saja?” Tanya sebuah suara mengagetkanku.
“Iya, Pak. Lha, Bapak juga sendirian? Atau dengan rombongan?”
Lelaki yang seluruh rambut kepalanya telah memutih itu hanya tersenyum. Entah mengapa, aku mulai merasakan udara semakin sejuk mengalir di antara wajahku. Padahal, kang-kang santri yang duduk di depanku mengeluhkan tentang cuaca yang agak terik.
Sementara di sampingku, terdapat bunga kamboja. Pasalnya, tepat di sampingku merupakan kompleks pemakaman.
Kutatap wajah Pak Tua itu dengan saksama. Keriput di wajahnya mengingatkanku kepada sosok bapak. Begitulah, tidak lama kemudian rasa rinduku kepada bapak muncul ke permukaan. Aku ingin menepis perasaan rindu itu. Sebuah rindu yang kadang menyesakkan dan berujuang keluarnya aliran air mata. Padahal, sebagai lelaki, tentu saja menangis merupakan sebuah pantangan. Ingin kuhentikan aliran air mata yang sudah menggenang di sudut mata. Pelan, kuusap agar buliran itu tidak jatuh dan memberikan tanda.
“Sangat kehilangan?” Tanyanya sambil menyuguhkan senyum bulan sabit.
Aku tidak tahu harus menjawab dengan kalimat apa. Sebab, aku memang sedang merasa kehilangan, tapi aku sendiri tidak tahu bagian jiwa manakah yang menurutku ‘hilang’. Sehingga, jawaban paling aman yang bisa kuberikan ialah mengangguk.
“Oh, ya. Aku lupa bilang padamu, le,” ucap Pak Tua dengan nada yang rendah.
Panggilan sayang itu bagaikan air dingin yang menyiram gersang hatiku. Panggilan itulah yang dulu selalu dihadiahkan oleh bapak setelah pulang mencangkul dari sawah yang digarapnya. Panggilan itulah yang mampu membuatku rela turut mencangkul bersamanya. Padahal, tanganku dulu masih mungil. Tapi, panggilan kelembutan dari bapak selalu mampu melipatgandakan kekuatan tubuh mungilku. Ah, aku sangat merindukan lelaki itu. Lelaki yang telah meninggal 20 tahun yang lalu. Selalu, yang membuatku kagum adalah kelembutan hati di balik kerja kerasnya untuk membeli beras untuk ibu, aku, dan adik-adik.
“Iya, Pak. Lupa bilang apa, Pak?” aku pun kembali bertanya.
“Aku ndak sendirian. Bahkan majelis ini sesak oleh makhluk-makhluk yang mengikutiku,” jelasnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku hanya bisa tersenyum. Lelaki tua ini ternyata memiliki respons yang positif sehingga tampaknya benang-benang keakraban kami terjalin menjadi suatu simbol yang bermanfaat.
“Oh, ya. Masih di dalam, kawan-kawannya, Pak?”
“Mereka kan banyak sekali, le. Mereka itu para malaikatnya Gusti Allah SWT. Bahkan, ada beberapa malaikat yang sedang bercakap-cakap, mereka menyebut-nyebut kebaikan bapakmu. Ada jejak-jejak kebaikan bapakmu pada dirimu, le,” ucapnya menegakkan bulu romaku.
“Bapak kenal dengan bapak saya?” Tanyaku segera.
“Orang-orang yang berbuat baik, itu akan berkumpul di tempat yang sama. Dinaungi di dalam tempat yang sama,” jawabnya diplomatis.
Aku semakin terbawa dengan kalimat-kalimat lelaki ini.
“Kamu tadi kan jalan kaki, ke sini? Apa tidak lelah?” Tanyanya sambil menepuk bahuku yang pegal.
“Tidak, Pak. Saya sudah biasa jalan. Dulu juga saat kuliah saya jalan selama satu jam. Kalau dijumlah, pulang pergi jadi dua jam, Pak,” ucapku sambil tersenyum.
Kupandangi pundakku yang diusap oleh jemari lelaki tua yang sangat ramah itu.
Kulihat, keganjilan pada jemari beliau. Beliau hanya memiliki empat jari, tanpa jempol. Aku sedikit merasa bersalah telah mengamati kekurangan di dirinya.
“Ini adalah tanda dari Tuhanku,” kata lelaki itu sambil memijit pelan bahuku.
“Tanda bagaimana, Pak?”
“Dengan kekurangan inilah, Tuhan memberikan tanda kemuliaan dihadapan-Nya, malaikat, dan manusia. Karena, kekurangan itu membuat setiap orang menahan kesabaran, amarah, nafsu, dan ambisi,” ucapnya sambil menganggukkan kepala.
“Terima kasih, Pak. Ah, dulu saya pernah berjanji pada diri saya sendiri untuk mengajarkan bapak mengaji. Bapak sangat ingin bisa mengaji. Tapi sayang, bapak selalu bekerja dari pagi hingga malam. Bahkan waktu istirahatnya pun hanya sangat sebentar. Tapi, beliau meninggal ketika usia saya masih 10 tahun. Waktu itu saya masih jilid enam,”
kualirkan cerita yang selama ini kupendam sendirian.
“Ah. Sudahlah, le. Kebahagiaan bagi orang yang sudah meninggal adalah dihadiahi doa dan sikap baik keturunan-keturunannya. Perjuangan dan kekuatan memikul tanggung jawab telah kau serap baik dari sosok bapakmu. Jarang, anak muda sepertimu. Kau hadiahkan kebaikan untuk bapakmu yang meski secara lahir belum bisa memenuhi kebutuhanmu. Kau rela tidak minta ini atau pun itu. Sejak saat itulah, bapakmu merasakan aroma surga yang sesungguhnya. Percayalah, jangan lagi kau pupuk rasa bersalah,” ucapnya sambil menghentikan pijatan.
Tak terasa, air mataku menetes lagi mengingat masa kecil yang belum tuntas bersama sosok bapak. Mungkin hal itu pula yang mendorongku untuk hadir menghormati jenazah Kiai Nawawi. Di Yogyakarta, beliau merupakan kiai yang berusia paling senja.
Beliau pula yang merintis pendirian STIQ (Sekolah Tinggi Ilmu Quran).
“Kumohon jangan sedih lagi dan jangan khawatir tentang bapakmu. Para malaikat turut berduka jika dirimu menenggelamkan diri di dalam air mata. Engkau sudah sangat sabar. Bukalah ini, tujuh hari lagi saat kau berada di angkringan. Simak baik-baik apa yang mereka bicarakan. Insya Allah, engkau akan sedikit mengenalku,” katanya sambil mengulurkan tangan.
***
Aku tidak sabar lagi menunggu hari ketujuh setelah pertemuanku dengan lelaki misterius itu. Sejujurnya, bertemu dengannya cukup bisa mengikis rasa bersalah dan kerinduan ter hadap bapak. Bahkan, tadi malam aku bermimpi bapak tersenyum dan memakai pakaian serba putih.
Seluruh perasaan yang entah menjadi satu saat aku mulai mengeluarkan kertas dari lelaki yang kutemui tujuh hari yang lalu. Dengan gemuruh kecil di dada, kubuka kertas yang masih rapi itu. Buru-buru, kubaca isinya:
Biarkan saja penggalan masa lalu itu tidak sempurna. Sebab, kerelaanmu memiliki keseluruhannya ialah kesabaran yang membuahkan pahala.
Hamba Allah SWT.
Khi—-
Aku masih termangu. Pesan-pesan itu seolah ditujukan untukku. Sebuah kerinduan yang senantiasa luput dari kesadaran. Beberapa waktu lamanya, aku menunggu jawaban tentang siapa lelaki misterius itu. Kukira, dia akan datang. Tetapi, ternyata ia tidak datang- datang, bahkan di menit-menit terakhir waktu istirahat.
“Jadi, kata ustaz itu, kalau kita ketemu Nabi Khidzir AS, ajak saja beliau bersalaman. Jika tangan dia tidak memiliki tulang di jempolnya, berarti beliau itu..,” ucap salah seorang pemuda bersarung.
“Ya! Aku pingin ketemu dong,” celetuk teman di sebelahnya.
“Wah, kamu harus jadi orang yang prihatin, bukan hanya kayak karung yang punya gigi, alias makan apapun dan berapa pun masuk, hahaha,” kelakar pemuda bersarung.
Ah, apakah ini jawabannya? Lelaki itu adalah? Masih dengan tanda tanya, aku membayar jajanan dan bergegas menuju kantor. Sesekali, aku menatap wajah langit yang mendung. Dan, kulihat wajah lelaki yang mungkin Nabi Khidzir AS di mega mendung.
Wajah itu tersenyum, lalu menitikkan air mata. Aku pun membalas senyumnya. Lalu, gerimis turun di kotaku, Yogyakarta. (*)
25 Desember 2014
Menyelesaikan sekolah S1 di Jurusan Psikologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menulis puisi-puisinya, selain dimuat di koran, majalah, dan buletin, juga terdapat dalam antologi puisi “Menolak Lupa” (2009), “Pawestren” (2013), dan “Lintang Panjer Wengi; Kumpulan Puisi 90 Penyair Yogyakarta” (2014). Penulis beralamat di [email protected]
Leave a Reply