Harris Effendi Thahar

Amplop Ustad Manfaat

0
(0)

Cerpen Harris Effendi Thahar (Media Indonesia, 3 Januari 2016)

Amplop Ustad Manfaat ilustrasi Pata Areadi

Amplop Ustad Manfaat ilustrasi Pata Areadi

USTAD Manfaat memarkir sepeda motornya dengan hati-hati di samping rumahnya. Ia bercucuran keringat. Mungkin lebih satu kilometer ia mendorong motor itu karena bannya bocor. Tak mungkin lagi mencari tukang tambal ban malam itu.

“Syukurlah, akhirnya sampai juga.”

“Bocor lagi ya, Pak?” sambut istrinya dengan guratan wajah cemas di bawah remang lampu teras.

Ustad tersenyum seraya menyodorkan lipatan amplop putih pada istrinya. Cepat istrinya menyelipkan amplop itu ke balik kutangnya sambil melangkah masuk kamar. Di ruang tengah, putrinya Fatimah sedang belajar dengan temannya Fira yang sengaja diundang menginap di rumah. Fatimah dan Fira sedang bersiap menghadapi ujian semester.

“Amplop apa ini, Pak?”

Ustad Manfaat mendekat, lalu terbelalak karena ternyata isi amplop itu hanya selembar kertas surat dari kelurahan berupa seruan gotong-royong membersihkan lingkungan.

“Pengurus masjid pasti keliru,” rutap Ustad Manfaat dengan napas sesak sambil tersandar di satu-satunya kursi sofa di kamar itu. Wajahnya yang tadi cerah kini berubah. Dipandanginya istrinya dengan rasa sesal. “Maafkan aku, Fah. Ini ujian Tuhan.”

Mulut istrinya terkatup rapat. Berlalu ke luar kamar menyiapkan makan malam untuk suaminya yang tentu sudah lapar.

***

Seperti biasanya, minggu pertama awal bulan adalah giliran Ustad Manfaat sebagai penceramah agama selepas magrib di Masjid Al-Mannar. Masjid ini cukup besar dan makmur. Honor penceramahnya juga cukup besar menurut pengalaman Ustad Manfaat. Tapi, itulah kejadiannya; ketika Ustad bersiap hendak pulang, biasanya pengurus mendekatinya, lalu bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tapi kali ini tidak, entah lupa entah disengaja, salaman pengurus itu cuma salam biasa. Bukan salam tempel yang ada amplopnya.

Ustad Manfaat berpikir cerdas, langsung bergegas ke parkiran motor tak jauh dari teras. Berdiri agak lama di sana, lalu kembali ke beranda masjid, pura-pura lupa di mana tadi helm ditaruhnya. Ia berharap terlihat oleh pengurus.

“Eh, Ustad? Untung belum pergi. Maaf, ini amplopnya,” kata pengurus tergesa sambil menyerahkan selipat amplop putih.

“Terima kasih. Saya lupa helm saya tadi saya taruh di mana ya? Oh, itu dia. Terima kasih Pak Pengurus,” ujar Ustad Manfaat sambil memurukkan amplop itu ke dalam kantong kemeja batiknya.

Yes,” ujarnya dalam hati.

Tapi, begitu dia naik motor bututnya, jalan terasa bergelombang. “Wah, bocor lagi,” rutap Ustad Manfaat. Dikendarainya juga perlahan-lahan sambil terus berdoa agar sampai ke rumah dengan selamat. Ustad Manfaat mengambil jalan paling kiri. Begitulah, tinggal sekitar sekilo lagi, ban belakang motornya benar-benar kempes. Tak ada jalan lain selain mendorongnya hingga sampai ke rumah.

Baca juga  Nyonya Durina Mawarni

***

Ustad Manfaat, lelaki 56 tahun itu baru sepuluh tahun belakangan tak sengaja menjadi dai. Jauh sebelumnya, Manfaat yang lulusan PGA itu guru agama honorer di sebuah sekolah menengah negeri. Setelah bertahun-tahun mengajar, Manfaat cuma dapat janji akan diangkat menjadi guru PNS oleh kepala sekolah. Sementara, guru honorer yang masuk belakangan yang konon punya hubungan famili dengan kepala sekolah sudah diangkat menjadi guru PNS. Akhirnya, setelah usianya 40 tahun, kesempatan menjadi PNS sudah tenggelam ke dasar laut paling dalam. Sejak itu, Manfaat pindah ke sekolah swasta, lalu menjadi pegawai tata usaha di sana.

Bila ada acara-acara resmi di sekolah itu, Manfaat selalu diminta menjadi juru doa. Biasanya, juru doa tampil di ujung acara. “Baiklah, agar acara penting ini penuh makna serta mendapat berkah dari-Nya, mari kita sama-sama berdoa, yang akan dipimpin oleh Ustad Manfaat. Kepada Ustad, waktu dan tempat dipersilakan,” kata protokol.

Suatu kali, di bulan Ramadan, Yayasan Sekolah Mandiri tempat Manfaat menjadi tata usaha mengadakan acara buka bersama. Saat itu Manfaat diminta menjadi imam salat magrib. Sejak itu, dari mulut ke mulut, nama Manfaat jadi buah bibir atas kemerduan suaranya membaca ayat-ayat suci serta kefasihannya membacakan doa. Manfaat lupa, entah kapan mulanya, ada undangan menjadi penceramah di sebuah majelis taklim. Lalu, undangan menjadi khatib Jumat, tanpa disadarinya, ia sudah menambah profesinya menjadi dai.

Manfaat terlambat menikah karena menunda-nundanya sambil berharap sampai SK PNS-nya keluar, agar punya pekerjaan tetap. Ternyata usianya sudah melebihi 30-an, barulah ia sadar dan menerima permintaan orangtuanya agar segera menikah. Manfaat ingin sekali putrinya kelak menjadi guru. Mungkin untuk menutupi obsesinya yang tak kesampaian. Namun, Fatimah tidak lulus UMPTN. Tak ada jalan lain, masuk STKIP swasta saja yang sudah barang tentu uang kuliahnya mahal.

Baru sebulan lalu uang tiga juta yang direncanakan Ustad Manfaat untuk memasang gigi tiruan penutup dua gigi atas depan sebelah kiri dan dua gigi bawah depan yang ompong harus direlakannya untuk membayar SPP Fatimah. Padahal, Haji Jalil, ketua pengurus Masjid AlMannar, pengusaha toko elektronik itu, sengaja membisikkan wanti-wanti ke telinga Ustad Manfaat agar memanfaatkan pemberian zakatnya untuk membenahi giginya.

Baca juga  Fragmen ketika Galunggung Menangis

“Maaf Ustad, bukan apa-apa. Biar Ustad PD menghadapi majelis taklim ibu-ibu,” ujarnya.

“Terima kasih, Ji.”

***

Sehabis makan malam, istri Ustad Manfaat membuka percakapan dengan suaminya.

“Pak, mumpung belum terlalu malam, bagaimana kalau Bapak telepon pengurus masjid itu sekarang?”

“Untuk apa? Sudah hampir pukul sepuluh. Dia pasti malu kalau menemukan amplop berisi uang di kantong baju kokonya.”

“Belum tentu, Pak. Sampai di rumah, dia langsung tidur.”

“Besoknya?”

“Besoknya amplop itu langsung disikat istrinya. Gimana? Hayo?”

“Ah, kamu Bu. Kalau begitu esok pagi aku telepon.”

“Janji ya? Ini bekal sembako kita sudah menipis lho.”

Keduanya saling diam. Asyik dengan pikiran masing-masing. Ustad Manfaat ingat, besok sore sehabis Ashar ia akan memberi ceramah di depan majelis taklim ibu-ibu Masjid Al-Makmur. Ia tidak akan banyak membuat cerita lucu karena khawatir ia ikut tertawa lebar hingga memperlihatkan kekurangan giginya. Sementara Sarifah memikirkan jodoh Fatimah. Ia berharap Fatimah berjodoh dengan orang yang berpenghasilan cukup, meski tidak kaya. Tidak seperti dirinya, menunggu suami pulang membawa amplop berisi uang receh yang sudah lecet-lecet dari sumbangan jemaah masjid. Kali ini pun keliru menerima amplop seruan gotong royong kelurahan.

“Pak, amplop yang dikasih pengurus masjid itu uang halal kan?”

“Ya, iyalah Bu. Kenapa kok berpikir begitu?”

“Bukan uang sogok, kan?”

“Ya, ndak lah Bu. Memangnya kenapa?”

“Kalau begitu, lain kali buka dulu amplopnya begitu diberikan. Hitung dulu di depan yang memberi. Jangan langsung masuk saku. Jangan-jangan ada oknum lain yang telah menguranginya.”

“Kok seperti jual beli? Bukankah itu sekadar uang transpor?”

“Kalau Bapak terus berpikir begitu, malu-malu diselipkan amplop berisi uang, beginilah jadinya. Seakan-akan kita dilecehkan.”

“Pasti dia bukan bermaksud begitu! Ini cuma kekeliruan. Titik. Sudah. Tidur.”

Suaminya cepat sekali tertidur, dan mendengkur. Sarifah masih tengadah. Sejak suaminya dipensiunkan oleh Yayasan Sekolah Mandiri tanpa uang pensiun, biaya hidup sehari-hari praktis dari amplop-amplop honor sebagai penceramah agama atau khatib Jumat saja. Sarifah ingat kisah-kisah pengemis yang kaya raya ditayangkan acara TV beberapa hari lalu. Ternyata pengemis yang kucel dan bau punya rumah mewah bagai istana. Sementara Sarifah dan suaminya masih tinggal di rumah kontrakan. Meski begitu, tak pernah pula terbayangkan oleh Sarifah bagaimana kalau suaminya atau dirinya menjadi pengemis seperti dalam tayangan TV itu. “Ah, tidak mungkinlah,” keluhnya sambil menguap panjang.

Baca juga  Mereka yang Tertidur Menjadi Batu Kami yang Terjaga Menjadi Air

Sarifah merasa berdosa telah membandingkan profesi suaminya dengan pengemis. Sebaiknya, bagi Sarifah, profesi suaminya bandingkan saja dengan dai-dai selebritas yang kerap muncul di televisi. Konon ada dai yang jemputannya puluhan jutaan untuk sekali memberi tausiah di TV. Mengingat itu semua, profesi suaminya sebagai dai kampung, bagi Sarifah tidak jelek-jelek amat. “Ah, mereka beruntung saja. Tapi, aku juga beruntung memiliki suamiku,” bisiknya beberapa saat sebelum terlelap.

***

Seperti biasa, sepulang salat subuh dari masjid dekat rumah, Ustad Manfaat selalu memungut koran lokal langganan yang sudah terselip di bawah pintu terlebih dahulu. Manfaat dapat langganan gratis, hadiah dari salah seorang donatur Masjid Al-Mannar yang kebetulan pemilik koran itu. Biasanya, Manfaat membaca sekilas, lalu meletakkannya di meja. Baru membaca koran bila kopi telah terhidang oleh istrinya. Kali ini, Manfaat langsung membacanya karena judulnya menarik: ‘Putra Pengurus Masjid Pesta Sabu’.

Ustad Manfaat membaca dengan saksama. Semua nama inisial, nama pengurus masjid, dan nama masjid yang dimaksud koran itu mudah ditebak.

“AM ini jelas Al-Mannar, dan RK ini sudah pasti Romadan Kasir, pengurus masjid yang memberikan amplop kemarin malam ke aku,” kata Manfaat pada istrinya.

“Telepon dia sekarang, Pak!”

“Jangan. Kasihan dia. Dia pasti sedang panik.”

“Amplop berisi uang, yang sedianya untuk kita, mungkin sudah dicuri putranya untuk membeli sabu,” kata Ustad Manfaat dalam hati. Istrinya mengucapkan kalimat yang sama, dalam hati juga.

Ustad Manfaat meneguk kopi yang baru saja dihidangkan istrinya. Menikmatinya dan merasa bersyukur. (*)

 

2015

Harris Effendi Thahar, Guru Besar Universitas Negeri Padang. Sejumlah cerpennya termuat dalam sepuluh antologi tahunan cerpen pilihan Kompas. Buku cerpennya Anjing Bagus (2005).

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!