Cerpen Irwan Kelana (Republika, 3 Januari 2016)
“EL, jadi kamu akan tetap ke pesta pernikahan Mas Robby?”
“Ya, Bu.”
“Yakin? Nanti kalau ada apa-apa, bagaimana?”
“Saya akan kuat, Bu. Saya harus datang memenuhi undangan Mas Robby. Justru kalau saya tidak datang, keluarga mereka akan menganggap saya orang yang kalah.”
Senja makin tua. Perlahan langit makin kelam. Malam menyapa bersama nestapa yang menyusup ke dalam batin Elhijab.
Untuk terakhir kalinya ia mematut wajah di depan cermin. Merapikan kerudung cokelat muda yang dipadukan dengan gaun putih dan rok panjang motif kotak-kotak warna coklat tua.
Ia menatap matanya sendiri. “Ya Allah, kuatkanlah hati saya. Saya hamba-Mu yang lemah. Jangan Engkau hinakan saya di hadapan makhluk-makhluk-Mu di dunia dan akhirat,” batinnya.
Ahad lalu Mas Robby, sambil meminta maaf, mengantarkan undangan pesta pernikahan. Ia membaca nama yang tertera di undangan bersampul putih itu. Nama calon pengantin wanita: Putri Hasanah.
Seharusnya nama yang tertulis di situ adalah Elhijab Qalbi. Empat bulan lalu, ia bertemu dengan Mas Robby di kantor bank syariah tempatnya bekerja. Keluarga Mas Robby yang merupakan pengusaha besar adalah nasabah prioritas di bank tersebut. Dan, Elhijab sejak bulan lalu menjadi seorang financial advisor di bank syariah tersebut.
Tak butuh waktu lama bagi Robby untuk menyatakan niatnya mempersunting gadis yang cerdas, cantik, dan salihah tersebut. Orang tuanya pun setuju. Pernikahan direncanakan secepatnya. Mereka sudah memesan tempat resepsi, sebuah hotel bintang lima di kawasan Senayan.
Namun, dua bulan lalu semuanya berubah. Suatu sore, seusai shalat Ashar di kantornya, tiba-tiba Elhijab batuk darah. Dia segera dibawa ke rumah sakit. Dokter memintanya melakukan tes. Ternyata Elhijab terkena penyakit tuberculosis (TBC).
Mendengar kabar tersebut, reaksi keluarga Robby sungguh di luar dugaan. Mereka langsung memutuskan membatalkan sepihak rencana pernikahan tersebut. Robby adalah anak bungsu, satu-satunya laki-laki dalam keluarga tersebut. Tiga orang kakak perempuannya semuanya dokter. Hanya Robby yang mengambil kuliah jurusan teknik informasi.
Ketiga kakaknya yang dokter itu tidak mau adik bungsu mereka menikah dengan penderita TBC. Apalagi, penyakit tersebut mudah menular melalui udara, batuk, ataupun kontak fisik dengan penderita. Walaupun sebetulnya penyakit tersebut bisa disembuhkan, hanya butuh waktu relatif lama.
Gedung sudah dipesan. Undangan sudah hampir dicetak. Bahkan, mereka sudah berbagi informasi mengenai rencana pernikahan tersebut kepada kawan-kawan dan relasi melalui media sosial.
Karena itu, pernikahan harus tetap dilaksanakan sesuai rencana. Keluarga kaya tersebut kemudian mencarikan jodoh untuk Robby. Seorang gadis cantik, anak relasi bisnis mereka, yang baru saja selesai kuliah di Al-Azhar University Kairo, Mesir.
Elhijab turun dari taksi di lobby hotel mewah tersebut. Sekali lagi ia berusaha menguatkan hatinya. Ia berjalan menuju meja penerima tamu, kemudian langsung menuju pelaminan.
Dari jarak beberapa meter, ditatapnya pasangan pengantin itu. Robby tampak gagah dengan setelan jas hitam sedangkan pengantin wanita tampak cantik dalam balutan jilbab warna putih. Secara keseluruhan, suasana pesta pernikahan itu bernuansa putih dan Elhijab selalu memimpikan pesta pernikahan dalam nuansa serbaputih.
Banyak sekali tamu yang hadir. Mereka antre untuk bersalaman dengan pengantin. Elhijab segera mengikuti antrean tersebut.
Saat tiba di depan kedua orang tua Robby, ia langsung menyalami mereka dan berkata, “Selamat, Pak, Bu.” Mereka hanya memandangnya tanpa ekspresi.
Tibalah Elhijab di depan Robby. “Selamat, Mas Robby. Semoga pernikahan Mas berkah dan langgeng,” suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.
Robby terpana. Sejenak ia terdiam, seakan tak mampu berkata apa-apa. Di sebelahnya, sang istri yang baru saja dinikahinya beberapa jam lalu, segera menyadari apa yang terjadi. Bagaimanapun perasaan seorang perempuan sangat halus.
“Terima kasih. Ma … maafkan saya, El,” hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Robby.
Elhijab segera menyalami Putri. “Selamat, Mbak.”
“Terima kasih,” sahut Putri kikuk.
Elhijab secepatnya meninggalkan hotel tersebut. Bagaimanapun ia berusaha untuk kuat, namun ia tetaplah seorang wanita yang rapuh. Ia tak ingin ada orang lain yang melihat air matanya bagaikan air bah membanjiri wajahnya.
***
Dua bulan berlalu. Namun, luka yang menggores batin Elhijab tak kunjung sembuh. Tiap kali ia teringat pernikahannya yang batal gara-gara penyakit yang dideritanya, perasaan sedih kembali mendera. Duka itu kian menyesakkan dada manakala ia terbayang pesta pernikahan Robby yang megah dalam balutan nuansa putih.
Hanya kepada Allahlah ia mengadukan kesedihannya. Sembari memohon kesembuhan atas penyakitnya, Elhijab pun minta kepada Allah, semoga Dia memberikan jodoh yang terbaik untuknya.
Dalam sujudnya pada pengujung malam, di tengah air mata yang menderai membasahi sajadahnya, ia pun berbisik lirih, seperti rintihan Nabi Zakaria saat meminta diberikan keturunan oleh Allah SWT meskipun tulangnya telah lemah karena renta dan rambutnya sudah beruban, “Dan, aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.” [1]
Elhijab mengambil selembar tisu, dan menyapu sisa butiran hangat yang menggenangi kedua bola matanya, saat handphone-nya berbunyi. Ia terkejut. “Siapakah jam segini menelepon?” batinnya.
Ia tidak mengangkat telepon tersebut sampai dering tersebut berhenti. Namun, suara telepon tersebut kembali terdengar. Lagi-lagi Elhijab tidak mengangkatnya.
Namun, pada panggilan yang ketiga kali, dengan ragu ia menekan “yes” dan menunggu.
“Assalamu’alaikum, El. Sudah selesai Tahajudnya?” terdengar suara di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam. Su … sudah, sahutnya perlahan. Siapakah orang itu dan dari mana dia mengenal namanya? Dari mana pula dia tahu kalau ia baru saja melakukan qiyamul lail.
“El, saya Hafizh, temannya Robby.”
“Kak Hafizh?” Elhijab terkejut. Ia langsung teringat enam bulan lalu saat Robby memperkenalkan Hafizh kepadanya ketika mereka menghadiri qiyamul lail di Masjid Sunda Kelapa Menteng, Jakarta Pusat.
“El, kenalkan. Ini kawan baik saya waktu kuliah di UI. Namanya Hafizh. Sekarang lagi mengambil Master di Malaysia. Sebentar lagi selesai,” kata Robby.
Keduanya bersalaman gaya Sunda.
“Hafizh ini dulu pernah nyantri di Gontor juga. Berarti kakak kelas El,” ujar Robby waktu itu.
“El, maafkan saya menelepon jam segini. Saya yakin El rutin melakukan qiyamul lail. Itu sudah jadi pakaian sehari-hari kita sebagai orang lulusan pesantren.”
“Saya mendapatkan nomor El dari kawan saya di Malaysia yang merupakan teman El waktu nyantri di Mantingan [2]. Ingat Najwa?”
“Ya, Kak.”
“Saya baru minggu lalu kembali ke Jakarta karena kesibukan ujian master saya. Saya langsung ke rumah Robby. Namun, saya sangat terkejut karena ternyata wanita yang jadi istrinya bukan El.”
“Jodoh Allah yang punya, Kak. Mungkin saya bukan wanita yang tepat untuk Mas Robby,” ujar Elhijab.
“El…” Tiba-tiba suara Hafizh terdengar mendadak serius.
“Ya, Kak.”
“Saya punya dua pertanyaan. Dua pertanyaan tersebut bisa berlanjut dua pertanyaan berikutnya. Semoga El tidak tersinggung.”
Tanpa sadar Elhijab mengangguk.
“Pertama, apakah saat ini sudah ada lelaki lain yang melamar kamu?”
Spontan Elhijab menggeleng.
“El?”
“Ti … tidak ada, Kak,” sahut Elhijab perlahan.
“Pertanyaan kedua, apakah gaun putih berenda ungu itu cocok untukmu? Maksud saya, apakah gaun tersebut sudah pernah kamu pakai?”
“Maksud Kakak, gaun putih yang diberikan Mas Robby?”
“Betul.”
“Saya sangat senang menerima hadiah tersebut. Namun, saya belum pernah mengenakannya. Semula saya berniat memakai baju tersebut pada malam pengantin saya dengan Mas Robby. Namun, Allah punya rencana lain.” Suara Elhijab terdengar lirih.
“Subhanallah. Masya Allah. Sungguh luar biasa skenario Allah.”
Elhijab bingung. Namun, dia tidak berani bertanya.
“El. Tahukah kamu, sayalah yang memilihkan gaun itu? Kawan saya yang satu itu, Robby, payah sekali. Mosok dia tidak bisa memilihkan gaun yang cocok untuk calon istrinya? Dia lalu minta bantuan saya. Pandangan mata saya langsung tertuju pada gaun putih berenda ungu itu. Kombinasi tersebut menggambarkan kesucian sekaligus cinta yang tulus. Saya yakin gaun tersebut sangat cocok untuk El.”
Elhijab terkejut. HP yang di tangannya hampir saja terjatuh. Tiba-tiba ada perasaan bahagia sekaligus sedih yang menyelimuti hatinya. Bahagia karena Kak Hafizhlah yang memilihkan gaun tersebut, dan sangat cocok untuknya.
Namun, di sisi lain dia pun merasa sedih karena Kak Hafizh pun pasti akan meninggalkannya begitu tahu penyakitnya. Dan, Kak Hafizh pasti sudah tahu penyakitnya dari cerita Mas Robby.
Agak lama Hafizh terdiam. Elhijab hanya termangu menunggu.
“El, inilah dua pertanyaan berikutnya. Mungkin bukan pertanyaan. Lebih tepatnya permintaan.” Berdebar dada Elhijab menantikan kalimat berikutnya dari Hafizh. Ia menggigit bibirnya.
“El, sejak mengetahui Robby batal menikahimu, saya setiap malam melakukan istikharah. Sampai saya benar- benar yakin inilah pilihan terbaik dari Allah untuk saya. Inilah jodoh saya. El, izinkan saya memakaikan gaun putih berenda ungu itu untukmu.”
“Mak … maksud Kakak …?”
“Bolehkah besok pagi saya datang bersama ayah dan ibu saya untuk melamarmu, lalu Ahad depan kita menikah sebab hari Senin depan saya harus kembali ke Malaysia untuk mendaftar S-3.” Tiba-tiba air mata menggenang di pelupuk mata Elhijab. Dadanya bergemuruh.
“Tapi saya sakit TBC, Kak. Mas Robby dan keluarganya meninggalkan saya gara-gara penyakit TBC itu.”
“Kata Nabi, ‘Setiap penyakit pasti ada obatnya. Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya.’ [3] Kamu akan sembuh, El. Saya punya kawan seorang dokter top di Kuala Lumpur.
Dia bilang, TBC bukanlah penyakit yang tidak bisa diobati. Yang penting terus berobat secara rutin sampai penyakit tersebut benar-benar hilang. Kalau tiap hari rutin minum obat, insya Allah dalam enam bulan penyakit tersebut akan sembuh.”
“Ya, saya rutin tiap hari minum obat, Kak. Sekarang sudah berjalan empat bulan lebih.”
“El, kita akan tinggal di Malaysia. Mungkin dua atau tiga tahun, sampai saya meraih gelar doktor. Saya akan mengobatimu di sana. Rumah sakit di Malaysia pelayanannya bagus. Banyak orang Indonesia yang berobat ke sana. Walaupun sebenarnya dokternya banyak yang lulusan dari Indonesia, seperti Universitas Hasanuddin dan Universitas Andalas.”
“El …”
Elhijab tersungkur di atas sajadah bergambar Ka’bah itu. Ia masih belum yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Air matanya makin menganak sungai.
“El … kamu masih di situ?”
Elhijab menyeka air matanya. “Iy… iyya, Kak.”
“Syukurlah. Saya khawatir kamu pingsan. He he he.”
“Ah, Kakak bercanda,” ujar Elhijab sambil tersenyum.
Kalau saja Kak Hafizh bisa melihat ke dalam hatinya, niscaya dia akan menyaksikan di sana bertabur seribu bunga. (*)
Jakarta-Palangka Raya, 2015.
[1] QS Maryam [19] : 4
[2] Pesantren Gontor putri
[3] HR Bukhari
Irwan Kelana menulis cerita pendek dan novel sejak duduk di bangku SMA. Karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional. Bukunya yang sudah terbit antara lain, Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, dan Biarkan Cinta Menemukanmu. Ia aktif mengikuti pertemuan sastra Melayu di Malaysia, Thailand, dan Brunai Darussalam. Penulis yang juga wartawan harian Republika ini juga kerap berbagi ilmu mengenai jurnalistik dan sastra, antara lain, kepada para mahasiswa Indonesia di Universitas al- Azhar Kairo, Mesir.
Golekseo
Ceritanya sangat mengharukan. Kuasa Allah SWT memang tidak ada yang bisa menyana. Pastilah hati El sangat senang tak tergambarkan.
http://golekseo.blogspot.com/2016/01/inulpokernet-agen-poker-online-dan.html
Nina
Co cuiit.. wkwk