Cerpen Gunawan Maryanto (Koran Tempo, 2-3 Januari 2016)
DI Kahyangan Sunyaruri hanya sepi yang menjadi-jadi. Sementara di luar para dewa dan para lintang tengah berseteru berebut bidadari. Lintang Trenggana dibantu adik-adiknya; Lintang Bladu, Lintang Panjer, Lintang Wuluh dan Lintang Johar: mereka menyerbu Suralaya. Batara Guru, Batara Narada, Batara Candra, Batara Temburu dan puluhan dewa yang lain bahu-membahu mempertahankan Suralaya.
Sekali lagi tak ada apa-apa di Sunyaruri. Hanya ada Hyang Maya yang larut dalam kesedihan. Sepasang matanya tak sanggup menahan derasnya air yang mengalir. Tak ada suara isak tangis. Tapi seandainya bisa kau akan mendapati sebuah kesedihan yang dalam. Dewi Trenggani teronggok lemah di pangkuan Hyang Maya, suaminya. Ia tak sanggup mengurai air matanya lagi. Tubuhnya telah benar-benar kosong.
“Sudah tiba saatnya, Kekasihku. Aku mesti pergi. Tempatku bukan di sini.” Hyang Maya mengulang kembali kata-katanya dengan nada yang sama. Kehampaan yang sama.
“Kau seorang dewa, Kekasihku. Di mana lagi kau mesti berada selain di kahyangan. Tak bisa kubayangkan kau hidup penuh derita di bumi sana.”
“Saat telur itu pecah, lahirlah kami. Cahaya terang dan cahaya yang muram. Cahaya terang adalah Batara Guru adikku. Sedang cahaya suram menjelma diriku. Maka jika ia berada di sini, aku mesti berada di sana. Jika ia berada di siang, aku mesti berada di malam. Demikian yang tertulis dalam Jitapsara, Kasihku. Tinggallah kau di sini. Menunggu kelak aku pulang. Akan datang rasa lelah yang tak tertanggung lagi dan aku mesti menyerah. Pulang kembali ke pelukanmu.”
Trenggani bangun dan menatap wajah suaminya untuk terakhir kalinya. Ia tahu tak akan bisa menggoyahkan niat Hyang Maya untuk pergi. Meski tetap gelap ia pernah masuk ke liang terdalam dari hati suaminya.
“Baiklah. Pergilah. Aku akan menunggumu di sini.”
Perlahan tubuh Hyang Maya mengabur hingga tinggal seberkas cahaya buram seburam wajah Dewi Trenggani saat ini.
HYANG Maya, Sang Cahaya Muram, melayang pelan menuju bumi yang terus memanggil-manggilnya siang dan malam. Kesedihan telah ia tinggalkan di rumah bersama Dewi Trenggani, di sebuah ruang paling gelap dan tak terjamah siapa pun. Yang ada hanya kelegaan dan keterbukaan untuk menempuh sebuah perjalanan baru. Hyang Maya meliuk-liukkan diri tak ubahnya seorang penari di langit yang terbuka. Ia tak menyadari sepasang mata tengah mengikuti setiap geraknya. Sepasang mata merah yang penuh amarah. Sepasang mata burung Antigapati.
Burung raksasa itu terus mengikuti ke mana perginya Hyang Maya. Jika berhenti ia pun turut berhenti. Jika bergerak ia pun bergerak. Demikian berhari-hari sampai akhirnya Hyang Maya menangkap bayang-bayang tubuhnya.
“Keluarlah, Burung Besar. Mungkin sudah saatnya kita saling bertegur sapa.”
Antigapati keluar dari persembunyiannya. Sepasang matanya telah berubah menjadi sepasang kolam darah. “Aku mencari sepasang cahaya. Satu gelap satunya lagi terang. Mereka yang telah meninggalkanku seorang diri di antara langit dan bumi.”
“Akulah cahaya gelap yang kau cari. Lantas apa maumu?”
“Kau mesti mati!”
Antigapati meluncur menyerang Hyang Maya. Dewa Penguasa Sunyaruri itu menggeser tubuhnya ke samping sembari mengibaskan kedua tangan menghantam tubuh sang Burung Besar. Antigapati terpelanting dan bergulung-gulung mencari keseimbangannya kembali. Beberapa bulunya lepas dan terbang disapu angin. Segera seekor burung dan seberkas cahaya pun saling kejar dan saling serang.
Tapi Hyang Maya bukanlah lawan tanding Antigapati. Burung yang diselimuti dendam itu menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan Hyang Maya. Bulu-bulu berhamburan di langit dimainkan angin ke sana ke mari. Hingga di jurus yang ke empat puluh sang Antigapati rubuh. Tubuh raksasanya jatuh meluncur menghantam tanah. Hyang Maya pun meluncur mengejarnya.
Antigapati telah berubah menjadi sesosok manusia. Hyang Maya segera merapat dan memeluknya.
“Kau adalah kakakku. Saat telur pecah kaulah kulit telur yang kami tinggalkan. Maafkan kami, Kakakku. Kami hidup dengan tenang di Suralaya sementara kau mesti melayang-layang tanpa tujuan. Kini mengembaralah di bumi mencari momongan. Kau dengan momonganmu. Aku dengan momonganku. Kelak kita akan sering bertemu tiap kali momongan kita berseteru.”
Mereka pun berpisah. Hyang Maya dan Antigapati. Kelak lelaki itu akan lebih dikenal dengan nama Antaga. Beberapa akan salah menyebutnya menjadi Taga bahkan Togog.
DI saat yang hampir bersamaan di tepi Hutan Kasidanjati atau lebih dikenal sebagai Hutan Kematian dua lelaki tengah berjalan sempoyongan. Masing-masing menggenggam botol arak. Sesekali mereka berhenti dan menenggaknya. Lalu berjalan kembali sambil bernyanyi-nyanyi dengan keras seperti mau membangunkan seluruh penghuni hutan dan kematian.
Merekalah si Pacukilan dan si Pecruk, sepasang pemuda nakal anak seorang raja raksasa bernama Prabu Suwala. Raja gandarwa itu sudah putus asa menyaksikan kelakuan kedua anaknya yang gemar mabuk dan doyan main perempuan itu. Bahkan tak jarang mereka merampok dan menjarah harta warga yang tak berdosa. Suwala sudah kehilangan akal mengatasi kelakuan kedua anak yang digadang-gadang jadi penerusnya itu. Berkali-kali ia mesti menanggung malu saat satu-dua warganya datang melaporkan kelakuan anak-anak kesayangannya. Ia hanya bisa berharap sebuah keajaiban terjadi. Keajaiban yang bisa mengubah kelakuan Pacukilan dan Pecruk.
Dan keajaiban itu sepertinya telah datang. Kedua pemabuk kampungan itu terus berjalan sambil bernyanyi-nyanyi dengan keras dan kasar. Sesekali mereka terjatuh karena saking limbungnya. Terjerembab di tanah berlumpur atau nyungsep di selokan. Tapi mereka bangkit kembali seolah mendapatkan kesegarannya kembali selepas ambruk. Hingga di sebuah kelokan jalan yang temaram sesosok tubuh menghadang langkah mereka. Dialah Hyang Maya yang tengah memulai pengembaraannya di bumi.
Semula Pacukilan dan Pecruk tak menyadari sosok dewa yang telah menjelma manusia biasa itu. Bahkan mereka hampir saja menabraknya jika Pacukilan tak segera berteriak:
“Anjiiing! Kalau jalan lihat-lihat oeee! Minggir! Minggir! Anak raja mau lewat nih!”
Pecruk pun segera menghentikan langkahnya. Hanya beberapa langkah di hadapannya berdiri Hyang Maya. Kulitnya yang buram sewarna dengan tanah dan cahaya sekitar yang mulai redup.
“Minggir! Atau kamu kami pinggirkan!” Pecruk berkacak pinggang menantang.
Hyang Maya diam. Inikah mereka yang tertulis di Jitapsara. Sepasang anak yang akan mengikuti ke mana pun ia pergi hingga akhir segala. Hyang Maya masih tak percaya. Karenanya ia diam sambil memeriksa kembali ingatannya.
Pacukilan yang tak sabaran segera menubruk tubuh Hyang Maya yang tegak berdiri di tengah jalan seperti sebuah tugu. Tapi bukan Hyang Maya yang rubuh malah Pacukilan terlontar ke belakang. Ia seperti tengah menabrak sebongkah batu besar yang baru saja terlontar dari perut gunung. Tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, Pacukilan segera bangkit dan kembali menubruk Hyang Maya. Sekali lagi Pacukilan terlontar ke belakang. Lebih jauh. Dan wajahnya mulai berdarah.
“Anjing! Pamer kamu ya? Pamer kesaktian kamu ya?” Pacukilan mengambil ancang-ancang. Lalu kembali berlari menubruk tubuh Hyang Maya. Tapi kali ini dewa yang tengah mengembara itu tak tinggal diam. Saat Pacukilan sudah hampir menabraknya, tangan kanannya bergerak ke depan menyambut kedatangan pemabuk yang kalap itu. Tangan itu bergerak ke wajah Pacukilan dan langsung membetot hidung pemuda tanggung itu. Laju Pacukilan terhenti seketika. Belum sempat ia menyadari apa yang sebenarnya terjadi, dengan gemas Hyang Maya mengayun-ayunkan tubuh Pacukilan. Hidung Pacukilan sakit bukan kepalang. Tapi Hyang Maya seperti tak peduli. Setelah puas mengayun-ayunkan tubuh pemuda lajang yang malang itu barulah Hyang Maya melepaskan. Hidung Pacukilan bengkak dan rusak seperti buah terong. Tapi bukannya kapok, Pacukilan malah kembali menyerang. Hyang Maya tak memberi ampun lagi. Kedua ujung jari tangan kanannya tiba-tiba saja telah melesak ke sepasang mata Pacukilan.
Pecruk tak tinggal diam melihat saudaranya teraniaya. Semula ia hanya tertawa-tawa saja menyaksikan kesialan Pacukilan. Tapi melihat tubuh Pacukilan yang mulai rusak dan penuh luka dihajar oleh sosok asing itu, ia mulai meradang. Secepat bintang jatuh ia menerjang Hyang Maya. Dewa beraura buram yang tengah asik mematah-matah tulang Pacukilan itu segera menyambut serangan Pecruk. Dalam sekali tangkisan, Pecruk terjungkal. Hyang Maya segera merangsek maju. Sama dengan Pacukilan, Hyang Maya membetot hidung Pecruk dan menarik-nariknya dengan keras. Pecruk melolong-lolong kesakitan. Bukan hanya hidung, Hyang Maya juga meraik-narik seluruh tubuh Pecruk hingga melar dan memanjang. Dan tak berapa lama menyerahlah kedua pemuda Bengal itu dengan seluruh tubuh terluka dan mengalami cacat permanen. Tak ada yang bisa menyembuhkannya. Bahkan dewa sekalipun.
Dua begundal itu pun bertobat. Dan Hyang Maya dengan seluruh kesaktiannya menyembuhkan luka-luka yang mereka derita. Tapi tubuh kedua pemuda yang semula tegap perkasa itu telah rusak dan tak tertolong lagi.
“Jadilah kalian anak-anakku mulai hari ini. Ikutlah ke mana aku pergi. Dengan jalan itulah kalian akan kembali menjadi makhluk yang berguna bagi sesama.” Hyang Maya mengusap-usap rambut kedua anak angkatnya itu dengan penuh kasih. “Kuberi nama kalian Gareng dan Petruk. Sekarang pergilah kalian ke arah selatan. Jika kalian menemukan sebuah tempat yang kalian rasa pas untuk ditinggali, segera dirikanlah sebuah kampung di sana. Dan namailah Karang Tumaritis. Di sana nanti kita akan bertemu kembali.”
Hyang Maya segera melanjutkan lakunya menuju arah utara sebagaimana yang tertulis di Jitapsara, sementara Gareng dan Petruk menyusuri jalan setapak menuju ke selatan.
DI Kampung Blantongan bertemulah Hyang Maya dengan Swalahita, pemuda berperawakan kecil yang mudah jatuh cinta. Tapi sayang tak ada seorang pun yang menyukainya apalagi jatuh cinta. Kelakuannya memang menyebalkan. Di saat pemuda-pemuda lain tengah bergotong royong membangun kampungnya, ia malah sibuk berkaca di rumahnya. Sibuk mematut-matut diri dengan pakaian terbarunya. Di saat warga lain berkumpul untuk meneguhkan persaudaraan, Swalahita malah sibuk menggoda gadis-gadis kampung. Tapi tak seorang pun berani menegurnya. Mereka hanya berani bergunjing di belakang. Sebab jika sampai Swalahita mendengarnya, keadaan bisa jadi berantakan. Swalahita bisa mengamuk dan merusakkan segalanya. Pernah di sebuah malam Swalahita membakar sebuah rumah warga karena berani menegur kelakuannya. Dan jika Swalahita telah mengamuk, tak seorang pun bisa menghentikannya.
Hyang Maya hanya bisa gelenggeleng kepala saat mendengar dan melihat sendiri tingkah laku Swalahita. Sebenarnya ia tak ingin ikut campur perkara yang tak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Tapi hatinya seperti tergerak untuk paling tidak menegur Swalahita. Sudah menjadi laku yang mesti dijalaninya untuk mengingatkan sesama. Dan seperti sudah diduga dan diperingatkan oleh warga Blantongan, Swalahita tak terima. Ia meradang saat ada seseorang yang menegurnya, terlebih lagi ia adalah orang asing. Swalahita pun mengamuk mengeluarkan seluruh kesaktiannya.
Hyang Maya sekali lagi mesti berkelahi. Hatinya sudah bulat untuk memberi Swalahita sebuah pelajaran. Tahu bahwa lawannya menyambut, serangan Swalahita semakin menggila. Ia menyerang Hyang Maya dengan tendangan dan pukulan yang sangat cepat dan mematikan. Dalam sekali gebrak sebenarnya Hyang Maya bisa menyelesaikan pertarungan tanpa perlu mengeluarkan sebutir keringat. Tapi tidak. Ia sungguh-sungguh ingin menghukum seluruh kelakuan Swalahita selama ini. Maka setelah dirasa cukup memberi kesempatan Swalahita memamerkan seluruh kedigjayaannya, Hyang Maya balik menghajarnya. Maka babak belurlah wajah Swalahita, rusaklah seluruh bentuk tubuhnya, dan melolong-lolong kesakitanlah pemuda kampung Blantongan itu.
Swalahita pun menyerah dalam keadaan remuk redam. Dan kembali Hyang Maya merawatnya. Menyembuhkan luka-lukanya. Tapi cacat tubuh yang dideritanya tak tersembuhkan.
“Kuberi nama kamu Bilung. Kelak kamu akan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi sahabatmu sepanjang jaman. Ikutilah ke mana ia pergi. Namanya Togog!”
Hyang Maya segera pergi. Malam telah datang. Langit begitu gelap tanpa lintang. Mungkin lintang-lintang masih bertempur melawan dewa-dewa. Ia tak peduli. Ia hanya ingin mengikuti ke mana langkah kakinya mengajak. Bayang Trenggani kembali melintas dalam kepalanya. Sabar, Sayangku. Kelak aku pasti kembali. Perjalanan ini baru saja kumulai. (*)
Jogja, 2015
Gunawan Maryanto giat di Teater Garasi yang bermarkas di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya yang mutakhir, Pergi ke Toko Wayang (2015).
jasminehandayani
Reblogged this on hanihandayani779.