Cerpen Luhur Satya Pambudi (Suara Merdeka, 3 Januari 2016)
SABAN tiba menjelang pergantian warsa, hingga menjelmalah angka tahun yang baru, senantiasa aku terkenang pada mendiang Ibunda. Sembilan tahun sudah tak dapat kutemui ibuku dalam keseharian di atas buana. Benakku beranjak menuju masa silam, pada sejumlah hari sebelum kepergian selamanya perempuan yang sungguh kusayangi. Ketika itu sebenarnya Ibu telah berada di rumah kembali selama hampir dua bulan. Beliau sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit sekitar dua pekan lantaran mengalami gangguan jantung dan ginjal. Sebagai upaya memulihkan kesehatannya, kata dokter tiada pilihan lain bagi Ibu kecuali menjalani cuci darah secara rutin seminggu dua kali.
Sesungguhnya tak mudah bagi ibuku menuruti saran dokter. Aku paham, beliau pernah memiliki pengalaman buruk dengan masalah cuci darah. Beberapa tahun sebelum Ibu diopname, seorang paman beliau sakit keras dan mesti menjalani cuci darah berkali-kali. Akhirnya sang paman padam nyawa. Masalahnya, Ibu adalah orang yang selalu mendampingi pamannya berhubung almarhum tidak berkeluarga. Lagi pula keluarga kami merupakan kerabatnya yang paling dekat. Ibu akhirnya bersedia darahnya dicuci, tapi cukup sekali, tak sudi andaikata lebih lagi. Alasan Ibu sederhana saja, beliau tak ingin terlalu merepotkan anak-anaknya yang mesti mengantarnya ke rumah sakit. Belum lagi biayanya pun besar untuk melakukan hal itu. Tentu saja sebenarnya kami tak akan keberatan, termasuk berupaya menyediakan berapa pun dananya. Kami toh melakukannya demi ibu yang sungguh kami sayangi, apalagi Bapak sudah lama tiada. Tapi aku beserta kakak-kakakku menghargai pilihan beliau. Pengalaman buruk cuci darah mendiang sang paman pasti belum sirna dari benak Ibu.
Sesudah cuci darah yang hanya sekali itu, beliau mencoba melakukan pengobatan alternatif. Saban tiba akhir pekan, kuantarkan Ibu ke sebuah desa dalam rangka berobat pada seseorang yang memiliki keterampilan menyembuhkan berbagai penyakit. Kondisi tubuh Ibu tampak sempat membaik selama beberapa saat. Indikasinya terlihat ketika beliau mengeceknya di laboratorium umum kesehatan. Aktivitasnya pun sempat berjalan biasa, misalnya mengikuti acara pengajian atau menghadiri pertemuan keluarga besar. Namun hal tersebut nyatanya tak berlangsung lama. Yang terjadi sehabis itu malah penurunan kondisi tubuh yang sangat drastis. Ibu kemudian hanya bisa terbaring lemah di atas dipan. Akhirnya kami memutuskan membawa orangtua kami yang tinggal satu kembali ke rumah sakit. Masih lekat kuingat, hari itu Jumat pagi, tanggal 29 Desember.
***
Malam tahun baru, seorang diri di serambi lantai kesekian rumah sakit aku berdiri. Kusaksikan langit terang benderang oleh nyala kembang api dari beragam penjuru kota. Seingatku, baru sekali itu dapat kutatap secara leluasa kemeriahan malam pergantian tahun. Sayang sekali, di sampingku tiada sesiapa yang kukenal, apalagi orang-orang yang kusayangi. Dalam hati aku bersyukur masih diberi waktu mengalami satu lagi tahun baru. Secara khusus kumohon pada Tuhan, agar di tahun yang baru ibuku masih diberi anugerah berupa kesembuhan dari segala sakitnya dan kembali sehat seperti sediakala. Sudah memasuki malam ketiga aku menunggui Ibu di rumah sakit. Sehari setelah masuk rumah sakit dalam kondisi tidak sadar, beliau sempat membuka matanya dan mengatakan sesuatu tanpa suara. Setelah itu Ibu kembali terlelap, tanpa kami tahu kapan akan terjaga kembali. Kerabat kami yang menjadi dokter menyatakan bahwa harapan kesembuhan Ibu masih ada, tapi ia menganjurkan kami agar lebih banyak berdoa.
Pagi hari pertama tahun baru, Ibu mesti menjalani cuci darah. Sesungguhnya sejak masuk rumah sakit lagi, dokter sudah memutuskan akan melakukannya, tapi baru bisa terlaksana tiga hari kemudian berhubung harus mengantri. Ternyata cuci darah gagal dilaksanakan. Tubuh Ibu menolak proses medis tersebut. Terus terang, aku tak punya firasat apa-apa. Sekadar kucoba memahami bahwa Tuhan mungkin sedang mengabulkan keinginan Ibu yang enggan melakukan cuci darah lagi. Justru Mbak Atik, kakakku, yang wajahnya tampak memucat, ketika memberitahuku—yang menunggu di luar ruangan—tentang gagalnya proses cuci darah itu.
Tak lama berselang, Eyang Putri hadir dari Jakarta ditemani Om Adi, pamanku yang paling muda. Beliau duduk di kursi roda karena masih lelah seusai menempuh perjalanan darat Jakarta-Yogyakarta, namun wajah beliau tampak sangat tegar. Jujur saja, rada aneh aku menyaksikannya. Aku dan Mbak Atik kemudian menemani Eyang Putri beserta Om Adi menemui Ibu. Ada sesuatu yang tak terduga terjadi. Ibu membuka matanya dan meneteskan air mata, ketika Eyang Putri tepat berada di sampingnya. Entah pertanda apakah, aku tak berani berpikir lebih lanjut.
Kami meninggalkan rumah sakit sewaktu kakakku yang lain berdatangan, kendati belum semuanya. Kondisi Ibu sendiri relatif stabil dan tubuhnya yang bergeming dibawa kembali ke kamar rawat inapnya, sesudah proses cuci darahnya tidak berhasil dilakukan. Aku pulang bersama Eyang Putri dan Om Adi yang kuturunkan di rumah mertua Mbak Tari, kakakku lainnya. Aku diminta kakakku melakukannya karena aku sendiri belaka di rumah. Sementara ada Mbak Tari dan ibu mertuanya yang bisa melayani nenekku.
Telah kumiliki sejumlah rencana setibaku di rumah. Langsung kujalankan satu demi satu, dimulai dari menyiram tanaman, lalu kucukur kumis dan jenggotku yang sudah beberapa hari tumbuh memenuhi wajahku. Sehabis itu aku berencana mandi, makan siang, lantas kembali ke rumah sakit. Tapi kemudian Mbak Tari meneleponku, katanya kondisi fisik Ibu melemah. Aku sekadar sempat cuci muka, mengenakan baju bersih, dan bergegas pergi ke rumah mertua kakakku. Begitu aku sampai, Mbak Tari ternyata baru mendapat kabar lagi dari suaminya bahwa keadaan Ibu sudah membaik. Kami pun sepakat menunda rencana ke rumah sakit. Aku malah diajak makan siang bersama Eyang Putri dan juga Om Adi.
“Ibumu itu sosok yang begitu baik. Mungkin hanya satu di antara seribu orang yang seperti ibumu,” kata Eyang Putri.
Tubuhku bergeming belaka menyimak ucapan nenekku tentang putri kesayangannya, namun hatiku bergetar mendengarnya. Kuingat kondisi terakhir Ibu yang lemah tanpa daya di rumah sakit. Tinggal keajaiban Tuhan belaka yang kuharap bakal datang menyelamatkan nyawa perempuan yang melahirkanku ke dunia. Tiba-tiba kakakku menerima telepon dari suaminya yang memberitahukan bahwa kondisi Ibu kembali memburuk. Kali ini aku, Mbak Tari dan Om Adi segera bergegas menuju rumah sakit tanpa menundanya lagi. Eyang Putri memilih tetap berada di rumah mertua kakakku.
Kami bertiga datang terlambat ternyata. Begitu memasuki bangsal tempat ibuku dirawat, kakak iparku menyambut kedatangan kami dan mengatakan sesuatu dengan lirih.
“Baru saja Ibu sudah pergi. Kalian yang tegar ya, Dik.”
Aku dan Mbak Tari memasuki kamar menemui kakak-kakak kami yang berurai air mata. Kami pun saling berpelukan, berpadu dalam kesedihan yang sama. Seseorang yang sangat berarti sepanjang hidupku telah pergi untuk kembali ke hadirat Ilahi. Mesti berupaya keras diriku agar ikhlas menerima ketentuan-Nya. Maka sejak saat itu, sebatas menjadi kenanganlah segala hal tentang Ibunda. Hanya mampu kurasakan rindu, tanpa tahu bila waktunya dapat bertemu lagi dengan dirinya. Kadangkala sosok mungilnya hadir belaka dalam sejumlah bunga tidurku, tanpa kami bisa berkata-kata. (92)
Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media massa, di antaranya Suara Pembaruan, Tribun Jabar, Kedaulatan Rakyat, Radar Surabaya, Lampung Post, Horison, dan Femina.
Leave a Reply