Cerpen Shabrina WS (Republika, 10 Januari 2016)

Randu ilustrasi Rendra Purnama
Sejak pertama Randu mengajakku bertemu, aku selalu menjawab, bahwa cara bercandanya tak pernah lucu. Tentu saja, itu bukan jawabanku yang sebenarnya. Entah bagaimana, susah kujelaskan kalau sesungguhnya, aku tak cukup punya nyali untuk berhadapan langsung dengannya.
“Sekali saja, Bree,” desaknya. Waktu itu, pesannya masuk ke ponselku ketika aku sedang belanja. Aku bahkan sampai lupa, barang apa saja yang ingin kubeli.
“Kalau besok aku mati, apakah kamu benar-benar tak menyesal kita tak sekalipun bertemu?”
Pesan berikutnya datang ketika aku di parkiran. Dan seperti pertanyaan sebelumnya, aku tidak membalas.
Sepanjang perjalanan, aku menimbang-nimbang, baik dan buruknya jika aku bertemu dan tidak bertemu dengan Randu. Kurunut kembali awal perkenalanku dengan pria itu.
Kuingat lagi semua hal tentang dirinya. “Kamu takut, aku jatuh cinta padamu, ya?”
Tentu saja tidak! Aku berteriak dalam hati.
“Atau justru takut, kamu jatuh cinta padaku?”
Menurutku, itu pertanyaan kurang ajar. Aku pernah menuliskan dialog seperti itu dalam novelku. Dan Randu, copy paste begitu saja, bahkan susunan kalimat dan tanda bacanya.
Dan, apa pun yang melintasi pikiranku perihal lelaki itu, nyatanya siang ini, aku sepakat untuk bertemu. Dia memilih sebuah kafe kopi di Jalan Darmawangsa. Ketika datang, tak butuh waktu lama, aku langsung bisa mengenalinya.
Sosok lelaki dengan garis wajah tegas dan sepasang alis tebal. Dia mengenakan kaus panjang warna putih tulang dan celana jins coklat tua. Siapa pun yang pernah membaca novelku, pasti menemukan gambaran sosok seperti itu. Oh ya, dia juga memakai topi, bertuliskan “R”, dengan jenis huruf algerian.
Tiga belas tahun yang lalu, aku pernah membaca sebuah cerpen tentang tokoh patung yang mendatangi penulisnya lewat mimpi. Tokoh itu menuntut banyak hal, karena merasa sang penulis otoriter perihal nasibnya. Aku tertawa waktu itu, sambil berkata dalam hati, cerita yang tidak masuk akal.
Rupanya, kata-kata itu justru berbalik pada diriku sendiri. Barangkali, kau pun akan mengatakan kalau yang kualami ini juga hal di luar nalar. Seorang penulis yang menyetujui untuk bertemu dengan tokohnya.
***
“Apa yang membuatmu berubah pikiran?”
Pertanyaan itu langsung menodongku, bahkan belum semenit aku duduk di hadapannya. Kafe tak terlalu ramai, hingga aku merasa pertanyaan Randu akan terdengar jelas di seluruh ruangan, jika musik yang mengalun dikurangi sedikit saja volumenya.
“Aku.”
Kunci motorku jatuh—lebih tepatnya kujatuhkan—persis seperti rencanaku.
Aku membungkuk, meraih kunci. Tak kusia-siakan kesempatan itu. Kulirik sepasang kaki milik Randu. Menapak lantai, bukan melayang. Berarti, dia bukan makhluk jadi-jadian. Lagipula, mana ada hantu keluar di tengah hari bedug begini?
“Maaf,” ucapku, begitu kembali ke posisi semula.
Randu tersenyum, tapi matanya menatapku penuh selidik.
“Kamu kira aku hantu?”
Aku cukup mampu menyimpan ekspresi, tapi kalau ditodong dengan kalimat seperti itu, aku tidak yakin bisa menyembunyikan raut terkejutku.
Jadi, karena bingung mau menjawab apa, akhirnya aku hanya tertawa. Tawa yang terdengar ganjil.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Lelaki itu, lelaki berwajah tembaga yang kugambarkan dalam ceritaku, mengucap kalimat dengan tekanan dan nada, persis seperti yang kubayangkan ketika aku menulis dialog-dialognya.
“Oh, tidak ada,” jawabku. “Maksudku, tidak ada yang mengubah pikiranku.” Aku buru-buru melengkapi kalimatku. Tentu saja, aku tidak akan mengatakan dengan jujur kalau pada akhirnya, aku memang ingin membuktikan, apakah sosok Randu benar-benar ada atau hanya imajinasi belaka.
Betapapun, sebagai penulis, jujur kuakui, bahwa aku merasa bahagia, ketika tokoh yang kuciptakan berhasil mencuri hati pembaca. Bahkan, dalam sebuah pesan email, seseorang pernah bertanya, apakah Randu itu benar-benar ada? Ada juga yang berkomentar, bahwa Randu adalah sosok laki-laki idamannya.
***
Ya, aku menggambarkan Randu adalah seorang sopir truk pengangkut pasir. Dia mencintai seseorang dengan cara yang berbeda. Kugambarkan pula, bagi lelaki itu, bahwa cinta bukan seberapa banyak seseorang mengucapkan, namun sejauh mana perasaan itu dibuktikan. Sebagai seorang pencinta sejati, Randu bisa menebak apa yang diinginkan gadis pujaannya, bahkan sebelum gadis itu mengatakannya.
“Aku tidak seperti yang kaugambarkan,” lelaki itu membuyarkan pikiranku. “Sangat jauh!”
Benar tebakanku, bahwa Randu akan mengatakan kalimat seperti itu.
“Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau semua hal yang aku tuliskan itu adalah dirimu?” Aku mengucapkan jawaban yang sudah kupersiapkan.
Randu menggeleng. Dia menyentuh telinga cangkir, namun diletakkan kembali.
Satu setengah tahun yang lalu, setelah novelku tentang lelaki berwajah tembaga terbit, aku menerima sebuah email yang isinya:
“Aku tidak menyangka ada penulis yang bisa menggambarkan diriku dengan sempurna dan apa adanya. Apakah kamu seseorang dari masa laluku? Atau ada seseorang yang bercerita padamu tentang diriku?”
Tentu saja aku kaget luar biasa waktu itu. Karena punya teman yang bernama Randu pun tidak. Bahkan pernah berkenalan pun tidak. Nama Randu hadir begitu saja di kepalaku saat menulis. Jadi ketika ada yang mengaku begitu, aku justru merasa hidup antara fiksi dan nyata.
Maka, hal itulah yang pada akhirnya, membawa diriku ke tempat ini. Menemuinya, seperti ajakannya. Aku ingin membuktikan bahwa sosoknya benar-benar nyata.
“Ternyata kau mudah percaya, ya.”
“Berprasangka baik.”
“Waspada lebih penting. Sekarang banyak penipu, modusnya macam-macam.”
Aku tidak menjawab. Bicara Randu memang agak berbeda dengan saat kami chatting.
“Aku ini lelaki brengsek. Hanya menghilangkan nyawa manusia, kejahatan yang belum pernah kulakukan.”
Aku tercekat. Andai yang dikatakannya benar, untuk apa memberitahu aku?
“Hanya agar kau tahu,” ucapnya.
Aku menelan ludah. Mungkin, lelaki di depan ini, benar-benar bisa membaca pikiranku.
“Bahwa tulisanmu, telah membawaku sejauh ini, sampai di hadapanmu.”
Randu pernah cerita, kalau sebenarnya, dia tidak sengaja menemukan bukuku. Novel yang berkisah tentang seorang lelaki yang mencintai dengan caranya itu, adalah pemberian keponakannya. Waktu itu, dia dipaksa membaca hanya karena nama tokohnya, sama dengan namanya. Dan kata Randu, itu novel pertama yang dia baca.
“Satu lagi kejahatan yang kulakukan. Menipumu.”
Aku terentak.
“Maafkan aku, Bree.”
Kugenggam erat sisi meja.
“Semua yang kukatakan kepadamu selama ini tidak benar. Aku juga tidak tinggal di Atambua, seperti pengakuanku.” Randu tertawa datar. “Satu-satunya yang benar, hanya nama.”
Aku menatap Randu. Kucari kesungguhan dari matanya.
“Kau berhak marah padaku, Bree.”
Bahkan tidak tahu, harus menanggapi apa semua pengakuan Randu. Kata-kata bagaimana yang pantas kuluapkan kepadanya.
“Jadi, untuk apa kamu mengajakku bertemu?”
“Untuk menunjukkan sesuatu padamu.”
Seketika kusadari, agaknya, aku sedang bermain-main dengan bahaya.
“Karena mungkin, kau tidak akan pernah tahu sejauh mana takdir tulisanmu.”
Aku menahan segala pertanyaan.
“Menurutku, sebagian tulisan adalah impian penulisnya. Dan sebagian lagi impian pembacanya.”
Kutunggu Randu melengkapi kalimatnya.
“Terima kasih, Bree, telah menulis tentang Randu. Tokoh yang menamparku. Lalu mendorongku ingin mewujud sepertinya.”
Randu mengangguk-angguk. “Terima kasih juga, sudah mau bertemu. Aku akan pergi. Ada dosa yang harus kutebus. Ada utang-utang yang harus kubayar. Ada janji-janji yang harus kulunasi.”
“Randu.”
“Jangan berhenti menulis, Bree.”
***
Lelaki itu berdiri, memandangku sejenak, lalu meninggalkan aku yang terbengong sendirian. Kutangkap dengan jelas bayangannya ketika sampai di halaman kafe. Ingin aku mengejarnya. Tapi kursi seakan memaku dudukku.
Kutatap cangkir kopi Randu yang masih utuh. Kusentuh badan cangkirku yang telah mendingin. Aku mencecap sedikit, kemudian bangkit dan berjalan ke kasir.
“Apakah, Mbak tadi melihat aku bicara sendiri?” tanyaku.
Penjaga kasir itu mengernyit.
“Saya tadi duduk di sana.” Aku menunjuk ke arah mejaku. Masih ada dua cangkir kopi yang belum diberesi. “Apa Mbak, melihat lelaki tadi?”
“Yang memakai kaos putih tulang dan topi bertuliskan ‘R’?”
“Jadi Mbak melihatnya?”
Wanita itu menatapku keheranan. Aku mengucapkan terima kasih, lalu berjalan pulang.
Mungkin terlalu berlebihan, jika aku beranggapan yang mendatangiku tadi hantu. Atau makhluk jadi-jadian. Atau bahkan hanya sosok rekaan yang kubayangkan. Lelaki itu, lelaki yang mengaku dirinya Randu, barangkali benar, aku tak akan pernah tahu, sejauh mana takdir tulisanku.
Berjam-jam kemudian, setelah sampai di rumah, aku masih memikirkan perihal pertemuan itu. Ketika aku menyalakan laptop dan bersiap mengetik. Sebuah pesan masuk ke ponselku.
Bagi pengarang, pertemuan sekejap adalah sajak panjang yang tak habis-habis dituliskan.
Randu mengutip salah satu tulisanku. Kuabaikan pesan itu.
Aku menunggu cerita, tentang seorang tokoh yang mendatangi penulisnya.
Pesannya masuk lagi, tepat, ketika aku menyelesaikan cerpen ini. (*)
Shabrina WS, nama pena dari Eni Wulansari. Cerpen dan puisinya tersiar di beberapa media. Novelnya antara lain: Always Be in Your Heart, Ping A Message from Borneo, Betang Cinta yang Tumbuh dalam Diam, Lesus, Rahasi Pelangi, dan lainnya.
Leave a Reply