Kurnia Effendi

Ibu bagi Rara

0
(0)

Cerpen Kurnia Effendi (Media Indonesia, 17 Januari 2016)

Ibu bagi Rara ilustrasi Pata Areadi

Ibu bagi Rara ilustrasi Pata Areadi

RARA tahu, ia tak punya ibu sejak usianya seminggu. Mengapa Gaharu berulang kali menanyakan perihal orangtuanya? Bedebah itu terlalu usil mengungkit riwayatnya sebelum cinta saling mengikat. Bukankah jawaban-jawaban itu tak akan mengubah keadaan dirinya? Rara yang piatu tak pernah menyusu pada siapa pun. Namun demikian, perasaan-perasaan sebagai anak terkasih atau gadis penanggung sedih, berawal dari rahasia itu.

Rahasia? Kenyataan itu tak pernah disembunyikan. Bahkan sejak dia bayi dan tinggal di Perumnas Klender, rumah kecil penuh kasih yang membuatnya tak mengenal perasaan kehilangan. Di rumah itu ada tiga perempuan yang saling berlomba membahagiakannya. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan, Rara?

“Pakde, kapan punya waktu untuk Rara?” Ia mengirim pesan singkat kepada seseorang yang sulit ditemui akhir-akhir ini. Pakde sering jauh dari Jakarta, dan tak cukup waktu untuk berjumpa.

Rara memojok di sebuah kedai kopi. Hari masih cukup muda. Musik hip hop mengalun rancak, menggetarkan secangkir kopi yang terhidang di mejanya. Menurut Ibu, lidahnya mengenal rasa kopi dari Pakde saat ia masih 13 bulan. Waktu itu ia diajak ke galeri I Nengah Gamma di kaki Gunung Salak, menghadiri peluncuran novel Perjanjen Genderuwo karya Ersta Andantino. Pakde menyeduh kopi, dan kepada lidahnya diperkenalkan kafein cair itu. Tentu kenangan itu tak bertahan dalam benak mungilnya.

Kini ia menggemari kopi. Padahal Ibu dan Bunda tidak suka kopi. Bahkan Nenek    tak pernah menyiapkan kopi, kecuali untuk Kakek yang tak pernah dikenalnya. Kakek meninggal sejak Rara belum lahir.

Mata Rara menerawang. Wajahnya berbeda rona dengan foto-foto semringah saat ia menari atau tampil dalam marching band. Dalam seminggu terakhir ia memasrahkan diri pada peristiwa yang mengalir. Ia mempercayai teman Ibu, yang mengatakan bahwa hidup ini sudah tamat. Kita hanya menjalani blueprint yang dibuat Tuhan. “Itu menurut Stephen Hawking, seorang fisikawan hebat,” demikian kata Om Banu.

Telepon genggamnya bergetar. Tertera nama Gaharu! Ia tak berminat mengangkat, mengabaikan percik-percik cinta yang berkelebat. Beberapa kali panggilan itu tidak digubris. Akhirnya sebuah pesan masuk dan Rara membaca dengan mata menyala. “Aku sudah tahu siapa ibumu. Penting juga kamu ketahui siapa ayahmu, Ra. Aku mau ngobrol. Di mana kamu?”

Oh, bedebah macam apa yang selalu membuatku berdebar cemas? Tak hanya ketika ciumannya seperti hiu ganas memburu leher mangsanya. Di saat pemuda itu memandang dengan mata mirip sepasang danau, ia bagai terjerembap ke dalam lubuk tanpa dasar. “Kidung Kasih Humaira…. Akulah batang kekar tempat engkau bersandar saat limbung.”

Baca juga  Untuk Arga dan Segara

Rara percaya pada ucapan pemuda tampan bertinggi badan 175 sentimeter itu. Hidung bangirnya memberikan harapan perpaduan yang baik dengan hidung mungil Rara. Seketika Rara teringat ucapan Nenek bahwa yang berusaha keras agar hidungnya mancung sejak bayi adalah Pakde. Dengan merapal mantra ‘biar mancung’ sembari menarik hidungnya sampai ia megap-megap.

Pertemuan dengan Pakde setelah ia sekolah dan beranjak remaja dihiasi          percakapan tentang pelajaran dan buku-buku yang dibacanya. Ingatan itu membuat tangan Rara merogoh novel Orhan Pamuk, A Strangeness in My Mind dari ransel. Nama pengarang itu mengingatkan Bude Leila, jurnalis dan pengarang teman Ibu. Buku pertama yang dia miliki adalah hadiah dari Bude Leila. Terbuat dari plastik sehingga tak rusak saat dibawa berendam dalam ember besar.

Teman Ibu orang-orang hebat. Penulis, pelukis, pemusik, juru masak, pembatik, pengusaha, bintang film, penari… Ibu sangat moderat, mengingatkan Rara pada masa kecil ketika belum pandai mengaji. Ia justru terampil menghias pohon Natal di rumah Om Banu setiap Desember tiba. Seperti bulan lalu, Om Banu mengingatkan, “Rara, pohon cemara di rumah menunggu sentuhan tanganmu.”

Kini hatinya terguncang oleh pertanyaan-pertanyaan Gaharu. Ia menggali jawaban dari Ibu, Bunda, Nenek, dan kedua sepupu anak Bunda. Informasinya tidak berubah. Kepercayaannya goyah justru saat Gaharu ingin serius menjadikannya kekasih.

“Aku masih terlalu muda, Bedebah! Tapi cukup tua untuk mengetahui siapa diriku. Meski dalam Kartu Keluarga tercantum legal namaku di sana.”

“Tapi ibumu bukan Ibu Endah Sulwesi, bukan Bunda Dian Andalasih!”

“Mengapa kehadiranmu di hatiku membuat keceriaanku lenyap? Apakah kamu ditugasi orangtuamu menjadi petugas sensus, lalu mengobrak-abrik riwayat hidupku?”

Rara menangis. Ia menimang buku Pamuk, menimbang makhluk asing yang menghuni pikirannya. Apakah kelahiranku di dunia memang tak pernah diinginkan orangtuaku? Ketika banyak ayah atau ibu menelantarkan anaknya semasa bayi dan kini berkicau di televisi, menuduh anaknya yang popular sebagai penyanyi itu durhaka….

“Apa yang ingin kau dengar lagi dari Ibu, Rara?” Semalam Ibu sesenggukan menatap sedih. Rambut putihnya menggambarkan usia yang seharusnya tinggal menerima pengabdian dari anaknya.

Baca juga  Selebrasi Melankoli

“Bunda sudah pensiun. Jangan bikin Bunda menghabiskan hari tua dengan melamun. Siapa yang telah memberimu racun?” kata Bunda senada.

Sebenarnya, dalam niat kecil yang didukung para iblis, aku ingin membunuhmu, Gaharu! Kupikir akan selesai kegundahanku. Tetapi… bukankah itu membuka nasib buruk baru bagiku? Itu sebabnya aku ingin bertemu Pakde. Mungkin simpul seluruh sejarahku ada padanya.

Gaharu sudah mengirim pesan beberapa kali. Tak kunjung dibalas Rara. Sampai tertera, “Aku sedang melacakmu. Jangan pindah tempat ya.”

Pemuda itu pandai dalam beberapa hal. Ia mengerti kulit-kulit filsafat. Ia mampu membuat Rara kejang berdiri ketika bibirnya lembut menelusuri wajah sejak anak rambut di ubun-ubun. Ia menguasai resep nasi goreng ala leluhurnya. Ia menyukai musik klasik sekaligus progressive rock. Ia suka beberapa puisi gelap penyair muda, tapi juga membaca tetralogi Pram. Ia terampil menggunakan gawai terbaru. Jadi, pasti akan menemukan posisi Rara saat ini.

“Pakde, jika engkau menjawab pesanku, aku akan mendoakanmu masuk surga.” Rara tersenyum saat menulis pesan itu. Tak disangka, Pakde meneleponnya. “Rara, aku baru sehat kembali. Ayo makan siang denganku. Ada waktu sebelum aku berangkat ke Madura.”

“Di mana? Rara jalan sekarang.”

***

Di depan Rumah Anggit, taksi yang ditumpangi Rara berhenti. Ia membayar dan turun. Halaman asri menyambut kedatangannya. Rara melangkah cepat menyusuri jalan kerikil. Sebidang kaca lebar memenuhi dinding depan rumah, memperlihatkan seluruh isi ruang tamu. Ia memasuki pintu yang terbuka.

Lukisan batik sekar jagad, motif kegemaran Pakde, terpajang di dinding. Rara mendengar sayup-sayup musik Leo Kristi. Memastikan ada Pakde di dalam. Rara mendapati meja makan yang menyajikan menu untuk dua orang.

Pakde hanya beberapa kali mengajaknya ke bungalo ini. Lebih sering ia dibawa ke sanggar, bertemu orang-orang yang belajar membatik. Pakde seperti ayah baginya: memperkenalkan kebun binatang, planetarium, bioskop, teater, juga membawanya ngebut di Sentul. Sesekali Rara turut ke Cirebon, Pekalongan, Lasem, Yogya, Solo, Garut, Tasik…. Bertemu juragan batik relasi Pakde.

Lamunan Rara terputus oleh suara seseorang sedang menelepon. Rara menghampiri sumber suara di teras belakang. Dilihatnya punggung lelaki yang seluruh rambutnya memutih. Ia tidak pangling pada sosok yang tampak lebih kurus sejak pertemuan terakhir.

“Sebentar lagi dia tiba. Aku ingin ditemani makan.” Pakde mengakhiri percakapan.

Rara memeluknya dari belakang. Seperti hendak menyadap degup jantung Pakde dari punggung.

Baca juga  Abu Jenazah Ayah

“Apa lagi yang ingin kamu ketahui tentang dirimu, Rara?” Pakde mendekap kedua tangan Rara di dadanya. Cincin perak di jari manisnya mudah dikenali. Tubuh Rara berguncang halus. Air matanya mengalir.

Pakde membawanya duduk di bangku panjang rotan, menghadap kolam.

“Rara tidak ingin Ibu berdusta…” Gadis itu terisak.

“Ibumu meninggal saat kamu berumur seminggu. Sehari sebelum dipanggil Tuhan, dia mengirim fotomu melalui handphone kepada Ibu. Saat melayat ke Cileungsi, sepanjang jalan Ibu mengobrol denganku melalui telepon. Ia merasa mendapat amanat untuk mengasuhmu. Kamu ingin membaca catatanku 18 tahun yang lalu? Aku masih menyimpannya.”

Pakde mencari sebuah buku lawas dan memberikannya kepada Rara. Gadis itu menerima dan membacanya, seolah sedang memutar masa lalunya.

“Ayahku seorang pengecut, pecundang…”

“Apa pun yang dilakukannya, mari kita lupakan. Ibu Endah, Bunda Dian, dan Nenek bersepakat membesarkanmu tanpa warisan kebencian. Mereka mencintaimu. Memberi kasih sayang yang mungkin tidak diperoleh anak-anak lain. Pertanyaanku… Apa yang kamu inginkan dalam hidup ini? Masa lalumu atau masa depanmu?”

Rara memandang Pakde dengan sepasang mata basah. Ia menggeleng. “Masa depan Rara terganggu masa lalu.”

“Itu karena Gaharu, bukan?”

“Pakde tahu?”

“Cerita yang sama kusampaikan kepada Gaharu. Dia sangat mencintaimu. Ia ingin tahu siapa dirimu bukan dari orang lain.”

Rara memandang Pakde seperti menembus kedua mata yang mulai rabun itu. Ia sedang mencari cara membalas kebaikan tiga ibu yang membesarkannya tanpa berhitung. Ibu Endah yang memutuskan tetap lajang; Bunda Dian sebagai single parent bagi kedua putranya; dan Nenek yang menjanda sejak 25 tahun lalu. Bahkan ia tak perlu seorang ayah. Dalam banyak persoalan, Pakde mewakili peran itu.

“Bukankah kita mau makan?” Pakde mengingatkan.

Rara seperti tak mendengar. Ia ingin segera pulang memeluk Ibu. (*)

 

 

Elang Malindo, Desember 2015

Kurnia Effendi, sastrawan yang bermukim di Jakarta. Ia telah melahirkan tujuh buku antologi cerpen. Buku terkininya, Teman Perjalanan (2015).

 

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!