Cerpen Indra Tranggono (Jawa Pos, 24 Januari 2016)
JIKA dirimu mengalami kesepian tingkat sedang atau bahkan parah, datanglah pada perempuan itu. Dia bisa membaca pikiran, perasaan dan jiwamu melalui aura yang terpancar dari tubuhmu. Aura yang penuh lubang atau gerowong menunjukkan pikiran dan perasaan yang kacau karena didera kecemasan dan kegelisahan. Di situlah monster kesepian bertahta, kata dia.
Sangat teliti perempuan itu membaca wajahmu, tubuhmu, jiwamu bahkan jutaan pori-porimu. Dia pun mampu mendengar jeritan panjang jiwamu yang ditikam kesepian dalam sunyi yang panjang. Dengan takzim, dia tampung tetes-tetes darah jiwamu dalam cawan cahaya.
Bak maestro tari, tangannya yang berjari lentik pun bergerak-gerak. Memutar. Membelah-belah udara. Kemudian, tangannya seperti menggenggam sesuatu, semacam benda gaib bulat yang lalu ia poleskan untuk menambal auramu yang berlubang atau gerowong.
Duniamu yang semula muram dan gelap mendadak tersingkap. Kesepian yang menebal serupa dinding penjara, mendadak merapuh, rontok, dan terurai menjadi kristal-kristal cahaya yang lembut dan lenyap dihisap pori-pori udara.
Penyembuhan belum selesai. Tahan rasa hausmu atau segala godaan yang memutuskan napasmu dengan napas perempuan itu. Mendadak perutmu merasa mual, sangat mual, hingga engkau pun muntah. Bukan cairan yang keluar tapi gumpalan yang bergerak-gerak dan bersuara. Lincah. Melompat. Melesat. Tawanya berderai. Nada suaranya berat. Itulah monster kesepian yang selama ini menguasai dan menindasmu. Dengan bahasa isyarat yang santun, perempuan itu akan menghajar monster kesepian itu hingga binasa.
Dirimu pun merasa telah lahir kembali. Sesuci bayi. Setenang, seteguh gunung tinggi.
***
Hari masih sangat pagi. Embun-embun masih berpesta api unggun di atas daun-daun. Namun, orang-orang sudah berjubel menyesaki halaman rumah perempuan penambal kesepian yang populer dipanggil Larastu.
Rumah itu terkucil di tengah hutan. Kecil tapi indah, menyerupai padepokan seorang resi. Ada banyak pohon, tanaman perdu dan bunga-bunga. Juga kolam dan sanggar pemujaan. Bau dupa menguar di seluruh ruangan.
Satu per satu orang-orang itu didaftar nama dan problemnya. Tiarra, asisten Larastu mencatat dengan sangat cekatan. Sudah ratusan nama ditulis. Sudah ratusan persoalan dicatat.
Umumnya pasien yang datang adalah orang-orang kota dan kaya. Mereka datang dengan mobil pribadi, bahkan ada yang mencarter helikopter. Ada politikus, pengusaha, pengacara koruptor, birokrat, jaksa, hakim, polisi, tentara, dokter, preman, pelawak, istri pejabat, ahli agama, hingga menteri dan presiden. Semua mengidap kesepian kronis. Parah.
Semua orang mengaku merasakan derita yang sama. Cemas, gelisah, bingung dan ingin bunuh diri. Perasaan yang menyiksa itu muncul dalam suasana apa pun. Rapat bisnis. Persekongkolan politik. Jual beli pasal-pasal undang-undang dan hukum pidana. Penggusuran permukiman rakyat. Penghisapan kekayaan alam, hingga percintaan gelap maupun terang.
“Urat nadi ini sudah pernah saya iris dengan silet. Untung lukanya tak terlalu dalam. Hingga saya masih tertolong. Saya capek. Capek,” keluh Dremba, seorang yang, dengan rendah hati, mengaku sudah puluhan tahun jadi tukang membuat undang-undang.
“Ada riwayat ditinggal mati istri, kekasih?” ujar Larastu.
“Ada. Tapi saya tak sedih, bahkan langsung cari ganti.”
“Lalu, trauma apa yang menyiksa Anda?”
“Nggak tahu saya. Tapi sudah lebih dari lima belas tahun, saya ini kok merasa dihantui semacam rasa sunyi yang sangat purbawi. Maaf mungkin saya terlalu puitis. Tapi itulah yang bisa saya katakan.”
“Anda merasa kesepian?”
“Ya, tepatnya ditindas kesepian.”
“Hidup Anda kan senang? Punya jabatan penting. Kekayaan melimpah. Dihormati banyak orang. Dan sering tampil di tv. Kurang apa lagi?”
“Benar. Saya juga selalu makan enak, piknik ke tempat eksotik di seluruh dunia dan bercinta dengan banyak perempuan cantik. Semua barang saya pun bermerek mahal, dari arloji hingga mobil. Tapi kesunyian terlalu perkasa untuk dilawan… Saya jadi ingat larik puisi siapa itu, oh ya Chairil, mampuslah kau dicabik-cabik sepi,” Wajah Dremba tampak putus asa, “Please, sembuhkan saya…”
“Anda suka baca puisi? Eh, maksud saya apakah Anda sering mendengar suara… misalnya, jeritan orang-orang?”
“Benar. Mereka menumpahkan sumpah serapah. Hingga telinga batin saya nyaris pecah!”
“Anda adalah orang kelima ribu yang mengeluh begitu. Apa lagi yang Anda rasakan?”
“Saat sunyi itu menyergap, ribuan cacing terasa menggeliat dalam rongga kepala, dalam otak saya. Mereka menggigit-gigit otak saya yang lunak dan gurih. Ahh… otak saya terus mengecil dan mungkin tinggal secuil…”
“Bagaimana Anda tahu?” Larastu mencoba menahan tawa.
“O itu jelas. Saya mulai sulit berpikir. Padahal saya ini dikenal sangat cerdas.”
“Apa lagi yang Anda keluhkan?”
“Saya sekarang sulit mengingat. Padahal saya ini kaya kenangan. Waktu mahasiswa, waktu jadi demonstran, waktu jadi anggota partai, waktu menikahi istri saya, waktu jadi wakil rakyat, waktu mencipta undang-undang… waktu saya bercinta dengan teman separtai… semuanya indah. Tapi, kini semua itu lenyap. Yang tinggal hanya kerak hitam yang merekam jeritan orang-orang yang tidak saya kenal…” Dremba menangis. Peluhnya membasahi tubuh. Larastu sengaja membiarkan Dremba menangis agar hatinya lega.
“Tanpa kenangan hidup saya jadi sepi…” Dremba menyeka wajahnya dengan tisu basah. “Tolong, bantu saya… Berapa pun ongkosnya…”
Larastu tersenyum. “Anda ini kesepian atau takut kehilangan kenangan?” Disodorkan segelas air dingin. Dremba mereguknya. Tandas.
“Ya, dua-duanya,” ucap Dremba.
Tiarra mendadak masuk. “Bu, di luar orang-orang pada protes, kenapa pemeriksaan pasien ini lama banget…”
Larastu memandang Tiarra, “Suruh mereka datang lagi besok.”
Tiarra mengangguk. Keluar dari kamar.
Larastu memejamkan mata. Mengumpulkan energi. Napasnya ditarik dan dilepaskan. Dremba mengamati wajah perempuan itu, lekat-lekat. “Cantik juga perempuan ini,” dia membatin.
Dalam meditasi, Larastu melihat sosok Dremba berubah menjadi buaya purba, besar, berkulit sangat kasar, hitam, bermata merah, bergigi gergaji. Reptil seberat satu ton itu menerkam ayam, bebek, angsa, dan ikan-ikan. Lalu menyetubuhi buaya-buaya betina dengan sangat brutal.
“Apa yang Anda lihat?” Dremba bicara lirih.
“Tentu sesuatu yang mengerikan ya? Bagaiman aura saya?”
“Aura Bapak, maaf…”
“Banyak bolongnya, ya?” ujar Dremba tak sabar.
“Bukan. Malah sudah amblong…”
“Tanpa lingkaran cahaya?”
“Tanpa lingkaran cahaya.”
“Gelap?”
“Kelam.”
“Kenapa?”
“Semua tertutup kegelapan.”
Dremba menangis. “Apakah cuma saya yang mengidap penyakit macam ini?”
“Tidak. Ribuan pasien saya juga begitu. Kebanyakan orang-orang penting seperti Anda.”
“Terus bagaimana nasib saya?”
Larastu diam. Matanya menatap wajah Dremba. Isak tangis masih menguasai ruangan.
“Bisakah aura saya ditambal? Bisakah?”
“Aura Bapak sudah amblong…”
“Bisakah aura saya dikembalikan?’’
“Sudah hancur…”
“Siapa yang telah menghancurkan aura saya? Siapa? Saya akan menyewa sniper untuk membunuhnya! Sebutkan siapa dia, siapa mereka?”
“Anda sendiri.’’
Dremba makin keras menangis. “Bagaimana saya bisa hidup tanpa aura? Tolong bikinkan aura. Tolong…”
“Aura itu melekat dalam diri setiap orang. Mungkin, Tuhan langsung memberikan sejak manusia masih jadi janin dalam rahim. Tapi maaf, ini cuma dugaan. Prasangka baik untuk menghormati karya Tuhan.’’
Ruangan sunyi. Dremba terdiam. Pelan-pelan dia menggeliat. Dengus napasnya makin cepat. Dia terus bergerak-gerak, diiringi jeritan-jeritan.
Bermula dari kaki dan tangan, pelan-pelan seluruh tubuh Dremba berubah menjadi buaya. Besar. Buas. Kasar. Buaya itu menyerang Larastu. Mulutnya menganga siap mengerkah tubuh perempuan langsing itu. Larastu menghindar. Kepala buaya itu menghantam tembok. Rekahan dinding berjatuhan di lantai. Buaya itu terus merangsek. Mengejar Larastu.
Larastu berdiri kokoh. Tangannya bergerak ke atas, ke bawah dan memutar. Putaran gerakan tangan itu makin lama makin cepat. Menciptakan gelombang energi. Lalu, muncul bulatan-bulatan bola api. Dengan tangkas Larastu menggenggamnya. Bola-bola api itu dilemparkan ke tubuh buaya. Sontak, tubuh Dremba terhuyung. Jatuh berderak ke lantai. Bagian kepala hingga dadanya terbakar. Dremba mengerang. Dia mencoba menyerang. Sebuah bola api menghantam kepalanya. Dremba tumbang. Pelan-pelan tubuh Dremba berubah menjadi tubuh manusia lagi. Terkapar di lantai.
Tiga pengawal Dremba masuk. Mereka kaget melihat tubuh majikannya terkapar tak berdaya.
“Dia masih hidup. Bawa dia pulang,” ucap Larastu, tenang.
“Kalau terjadi apa-apa, Anda harus bertanggung jawab,” ujar seorang pengawal.
“Tak usah banyak cakap! Tangkap dia!” ujar pengawal berkumis tebal.
Tanpa perlawanan, Larastu langsung diringkus dua pengawal Dremba. Ia digelandang ke mobil.
Beberapa bulan Larastu ditahan untuk menjalani pemeriksaan. Dia dituduh telah membunuh seorang pembuat undang-undang. Meski tanpa saksi dan bukti yang objektif, Majelis Hakim akhirnya memutuskan hukuman sepuluh tahun untuk Larastu.
“Saudara menyesal?” tanya hakim.
“Ya. Karena saya diadili dalam pengadilan sesat!”
Wajah Majelis Hakim tertampar. Merasa diludahi.
“Petugas! Bawa dia ke penjara!”
***
Siapa pun yang disiksa kesepian, tetap bisa minta batuan pada Larastu. Jam praktiknya sama dengan jam bezuk narapidana. Namun, dirimu harus mendaftar jauh hari, dengan menyertakan surat keterangan dari RT, RW, polsek, polres, lurah, camat, bupati/wali kota, dan gubernur, serta dokter jiwa yang menyatakan bahwa dirimu adalah warga negara sah dan secara sah pula telah dinyatakan sebagai pengidap penyakit kesepian.
Ketika bertemu dengan Larastu, dirimu harus siap dibaca kepribadianmu dan auramu. Apakah auramu masih utuh, berlubang, gerowong atau sudah amblong. Mungkin dirimu adalah merpati yang indah, macan yang berwibawa, kijang yang cantik dan rendah hati, atau tikus, musang, ular yang cerdas tapi licik, serigala yang buas, atau bahkan seekor buaya yang sangat gemar melahap daging busuk. Larastu akan jujur mengungkapkan jati dirimu yang sesungguhnya. Apa pun risikonya. Siapkah kamu? ***
INDRA TRANGGONO, pemerhati dan pekerja kebudayaan, tinggal di Jogjakarta. Buku cerpennya yang sudah terbit, “Iblis Ngambeg” (Penerbit Buku Kompas, 2002) dan “Sang Terdakwa” (Yayasan untuk Indonesia, 2000).
Leave a Reply