Umar Affiq

Suman

5
(1)

Cerpen Umar Affiq (Suara Merdeka, 24 Januari 2016)

Suman ilustrasi Putut Wahyu Widodo

Suman ilustrasi Putut Wahyu Widodo

“Suman.” Aku baca tulisan itu dalam hati. Tulisan pada kayu jati yang sebagian terpendam dalam gunduk tanah di depanku. Tak sekali pun aku sangka, barangkali pemilik nama itu juga, bahwa semua yang ia ceritakan padaku tempo hari lebih segera dari yang tak pernah kami duga.

Orang-orang telah pergi sejak beberapa menit lalu. Tinggal aku sendiri. Aku bukan sanak, keluarga atau sahabat dekat Suman. Sama sekali bukan orang penting dalam hidupnya. Aku hanya orang yang secara (tidak) kebetulan ia percaya sebagai tempat bercerita tentang mimpi tempo hari yang mengganggu tidurnya. Justru karena aku merasa bahwa tak ada yang kebetulan di dunia ini, aku jadi bertanya-tanya dalam batin, mengapa Suman memilih aku sebagai tempat ia bercerita?

***

Tempo hari, warungku sedang sepi-sepinya. Empat piring berisi gorengan yang masing-masing adalah tahu isi, rondo royal (tapai goreng), ote-ote dan mendoan tempe, masih utuh tertutup saji. Semuanya telah dingin dan menarik untuk disentuh. Pukul sembilan tiga puluh. Seharusnya semua isi piring itu telah habis kalau saja hujan tak turun, keluhku.

Pada saat aku menumpahkan empat piring gorengan ke dalam kantong plastik hitam untuk kubawa pulang, Suman tiba-tiba datang. Badannya setengah basah karena menerjang hujan. Tanpa aku silakan, ia langsung duduk, memesan segelas wedang jahe. Aku menuangkan isi kantong plastik hitam ke tempat semula sebelum menyelenggarakan pesanan Suman.

Semula, Suman menceritakan pekerjaannya di pabrik semen yang sampai saat ini masih berkalang permasalahan kepemilikan tanah dengan penduduk setempat. Aku merespon sejauh apa yang aku tangkap dari informasi orang-orang.

“Aku ingin berhenti bekerja di sana, katanya datar. Aku hampir tak memperhatikan bagaimana raut wajahnya saat ia menyatakan ingin berhenti dari pekerjaan yang banyak orang idamkan. Aku cukup sibuk untuk menghancurkan atau setidaknya menggepengkan jahe dengan ulek dan cobek. Belum sempat aku bertanya alasan dari ucapan Suman, ia lebih dulu menyambung, “aku merasa tidak cocok bekerja di sana.

Air dalam panci mendidih. Aku matikan kompor dan menuang air dari panci ke gelas berlepek yang sebelumnya aku isi dengan satu setengah sendok gula pasir dan jahe yang telah kuremukkan. Aku mengambil sendok teh dan mengaduk campuran itu. Uap mengepul di antara gerak sendok. Setelah merasa cukup, gelas kututup dan kuantar ke meja Suman. Saat itulah aku melihatnya mengunyah rondo royal dengan wajah begitu pucat.

Aku mengurung pertanyaan tentang musabab wajah pucat Suman dalam benak dan membiarkannya bercerita tentang pekerjaan di pabrik semen yang hampir setahun ini berdiri. Hampir setahun berdiri, pabrik itu telah menelan banyak pekerja dan dampak kekeringannya telah terasa. Sebagai penjual yang baik, aku mencoba mengakrabi pelanggan yang baru sekali ini datang dengan duduk di kursi seberang dan membawa secangkir kopi lelet Lasem yang tinggal ampasnya saja. Ia kemudian menceritakan tentang kerinduan pada anak-istri dan ibunya.

Baca juga  Puang Rohani

“Biasanya, tiga bulan sekali. Terakhir sebulan lalu, saat anak saya sakit demam berdarah dan harus opname di puskesmas,” jawabnya ketika aku menanyakan perihal pulang. Aku menduga, ia tak tega membiarkan istrinya sendirian merawat dua orang sekaligus: anaknya yang masih lima bulan dan ibunya yang telah uzur.

Aku menyibukkan diri dengan melelet batang rokok sambil sesekali merespon cerita Suman. Lalu, entah berpangkal darimana, tanpa mengunyah sesuatu apa atau menghisap rokok karena memang ia tak merokok, Suman tiba-tiba mengalihkan pembicaraan tentang mimpi semalam. Pendangannya dijatuhkan pada baju batik lusuhku. Aku melihat sehimpun ketakutan terperam dalam kedalaman mata dan wajah pucatnya saat ia menceritakan mimpi itu.

“Sudahlah, itu hanya bunga tidur.” Hiburku. Sebenarnya, aku juga merinding jika membayangkan mimpi Suman. Jadi, alih-alih menghibur Suman, justru aku berusaha menghibur diri sendiri.

“Tapi, semuanya begitu detail. Aku menyaksikan seluruh adegan dalam mimpi itu secara utuh. Coba kau bayangkan.” Ia mengulang ceritanya. Aku ingin sekali meninggalkan pembicaraan malam itu, tapi tentu saja tak etis sekaligus tak mungkin. “Coba kau bayangkan, ruhmu keluar perlahan meninggalkan ujung jari kaki, kemudian telapak kaki, mata kaki, lutut, paha, pusar, dada dan terus terpisah dengan ragamu hingga leher, rahang, hidung, telinga, mata, ubun-ubun dan rambut yang seolah seperti dijambak demikian kuat.”

“Lalu seutuhnya ruhmu keluar.” Ia diam sejenak. Aku menarik napas berat. “Dalam mimpi itu, aku hanya berdiri di sisi mayatku sendiri, menyaksikan istri dan ibu tergugu tanpa air mata. Anakku dalam gendong ibu mertua menjerit-jerit di luar ruangan. Satu per satu tamu datang. Yang perempuan mengelus pundak istri dan ibuku. Tak jarang mereka memeluk dan turut melinangkan butir luh. Yang laki-laki—tampak dari kaca ruang tamu, sibuk—merundingkan sesuatu, sebagian lain membelah bambu untuk dijadikan keranda.

Beberapa saat kemudian, bapak mertua, sepupu dan kakak iparku mengangkat mayatku. Wajah mereka seolah berkata bahwa mayatku cukup berat. Mereka membawaku ke samping rumah. Di sana telah berkerumun banyak orang. Empat orang dengan empat jarik yang dibentang membentuk ruang tanpa atap. Dalam ruang itu, tiga ngaron penuh air dan bale kayu yang biasa di teras rumah telah sedia. Beberapa laki-laki menggantikan pekerjaan bapak mertua, sepupu dan kakak ipar sampai mereka duduk di bale kayu untuk memangku tubuhku.

Baca juga  Batu Sri Delima

Lelaki Peci Hitam memasuki ruang. Satu orang lagi masuk ruang, memegang pelepah pisang. Lelaki Peci Hitam mengambil air dari ngaron dengan gayung dan satu per satu dituang pada pelepah pisang. Aku berdiri, menyaksikan air mengaliri telanjang tubuhku dan entah bagaimana diriku terasa basah dan kedinginan. Beberapa saat setelah itu, Lelaki Peci Hitam mengelap dan menyumpal sembilan lubang tubuhku dengan kapas kemudian menutupkan jarik yang lain. Tiga lelaki tetangga rumah—Wak Supri, Kang Wiji dan Lek Kirman—menggantikan bapak mertua, sepupu dan kakak ipar, mengangkat dan membawa mayat ke ruang tamu. Orang-orang di samping rumah masih riuh. Mereka berebut sisa air mandiku untuk cuci muka, tangan dan kaki. Dulu, aku juga melakukan apa yang mereka lakukan. Tapi saat itu, aku hanya berdiri; tak percaya bahwa mereka berebut sisa air mandi mayatku.”

Kopi di cangkir hampir habis dan aku belum beranjak dari hadapan Suman.

“Aku kembali ke ruang tamu, berdiri di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang tengah. Menyaksikan mayat diletakkan di atas selapis kafan di atas bale kayu beralas tikar pandan baru. Di ruang sebelah, beberapa perempuan menjalin bunga-bunga dengan benang. Mawar, melati, sepatu, bougenfil, gembong, kenanga dan bunga-bunga lain yang tak kukenal terjalin seperti kalung bunga. Sebagian bunga itu, mawar, melati dan bougenfil adalah tanaman pagar halaman rumah yang ditanam sendiri oleh istriku. Aku merasakan sesuatu yang entah apa membuat tubuhku terasa sesak saat mengalihkan pandang ke mayat yang telah rapi terbungkus kafan. Aku tak bisa lagi melihat wajah sendiri.”

Suman menundukkan kepala. Ia menarik napas dalam dan melepas keras-keras. Ia terus saja bercerita, seperti memaksaku membayangkan sebagai dirinya dalam cerita itu.

“Keranda tiba. Mayat dipindahkan ke tandu bambu dan rakitan bambu berbentuk setengah silinder menutupi tandu. Atapnya dilapisi tiga lapis jarik batik dan diikat dengan sisa kain kafan. Jalinan bunga melintang di atasnya. Kemudian, para pelayat silih berganti memenuhi ruang, menyalati dan membaca tahlil serta doa-doa. Di barisan paling depan, tepat di sisi kiri kepala mayat, istriku duduk menunduk sedari tadi tanpa berganti posisi.

Selanjutnya, enam orang laki-laki mengangkat keranda hingga di halaman. Bapak mertua memekarkan payung di atas keranda bagian depan. Semua orang berdiri. Lalu, Lelaki Peci Hitam tadi muncul mengucapkan beberapa kata maaf dan permintaan persaksian bahwa almarhum adalah orang yang baik. Kepada pelayat, ia juga memberitahu bila ada urusan penting lain untuk segera diselesaikan dengan keluarga duka. Sesaat kemudian, mereka memberangkatkan keranda. Punggung-punggung itu menjauh bersama gemuruh tahlil. Pada saat itulah, aku mulai percaya bahwa yang mereka antar adalah mayatku. Aku duduk memukuli tanah dan menangis dan berteriak keras, namun tak kudengar suaraku sendiri.”

Baca juga  Kitab Ular

“Sudah, cukup. Tolong, jangan dilanjutkan” potongku.

“Tapi, ini bagian penting dan kau harus mendengarnya. Biar aku persingkat ceritanya.” bujuk Suman diikuti tindakan meminum wedang jahe yang tak lagi hangat. Ia menghabiskannya sekali teguk dan meletakkan gelas dengan agak keras sehingga bunyi benturan lepek dengan gelas terdengar cukup keras.

“Setelah mereka meletakkan mayat, mengumandangkan azan serta iqamat, menutupi dengan papan satu-satu. Apa kau tahu apa yang terjadi berikutnya?”

“Orang-orang menutup lubang kubur dengan tanah.”

“Nah. Saat itulah, ruhku ikut terkubur. Dan, kau tahu, betapa gelap di dalam sana. Gelap, kedap, sempit dan amat pengap. Saat Lelaki Peci Hitam membaca talkin,” ia diam sejenak, “sungguh, betapa amat lamat suaranya. Padahal, biasanya ia membaca talkin dengan lantang.”

Inikah bagian penting itu? Batinku kesal. Akhirnya aku memotongnya lagi, “Sudah?” tanyaku tak betah.

“Belum.” Keheningan merebak sejenak. “Tak lama kemudian, pelayat bubar dan tinggal satu orang. Orang itu, kau!”

Aku mencoba tidak kaget mendengar akhir cerita Suman malam itu. Sekali lagi aku baca tulisan pada nisan kayu jati di depanku. Tak kusangka mimpinya bereaksi secepat ini.

Tiba-tiba aku dilumuri merinding. Aku sama sekali bukan siapa-siapa Suman. Aku hanya orang yang secara (tidak) kebetulan ia percaya sebagai tempat bercerita. Tapi, justru karena aku merasa bahwa tak ada yang kebetulan di dunia ini, aku jadi kian merinding, mengapa Suman memilih aku sebagai tempat ia bercerita?

Kugeser pandanganku ke arah bawah tulisan “Suman”. Melihat tanggal lahir itu seolah leherku tercekik kuat. Dadaku sesak. Tanggal lahir Suman beda hanya satu hari lebih tua dariku. (92)

 

Makam Agung, 2015

Umar Affiq lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 14 Desember 1992. Kini ia nyantri di Ponpes As-Somadiyyah Tuban dan bergiat di Komunitas Sanggar Sastra (Kostra). April 2015, cerpennya mendapatkan anugerah Cerpen Terbaik ajang kompetisi Gerakan Tuban Menulis dan terkumpul dalam antologi cerpen Senja di Ujung Pantura (GTM, 2015). Cerpen dan puisinya dimuat di berbagai media local maupun nasional, juga di beberapa antologi. Di antaranya Puisi Ibu (GP Publishing, 2012), Mengeja Hujan (Lentera Ilmu Jogyakarta, 2013), Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel (DK Kudus, 2013), Orang Bunian (Cerpen Pilihan UNSA Press, 2016), dll.

 

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!