Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 24 Januari 2016)
Waktu cepat tergelincir ketika ia mulai merancang sebuah rumah yang kelak akan ditinggalinya bersama sang istri. Sebuah tempat yang dapat membuatnya memiliki alasan untuk pulang; tinggal di dalam dan menghabiskan masa tua hingga malaikat maut mengetuk pintu rumah; menjemput pada batas waktu yang telah ditentukan. Maka, sebelum semua itu terjadi, ia tidak ingin serampangan merancang sebuah rumah. Karena, selain nyaman untuk ditinggali, rumah baginya juga harus mampu menyimpan seluruh harap sepanjang hidup.
Mula-mula, ia mencari sebuah tanah. Dengan berkendara motor, ia mengelilingi kota bersama istri yang baru dinikahinya lima bulan. Setelah mengitari tempat-tempat; menyusuri gang-gang sempit; lantas jauh meninggalkan kota, akhirnya Tarno menemukan sebuah tanah yang sesuai. Memang, terletak jauh dari kota. Nyaris memasuki perbatasan. Ia pun lekas merundingkan dengan istrinya. Wanita itu sempat menolak karena lokasi yang terlalu jauh. Akan tetapi, hati istrinya melunak saat tahu bahwa suaminya membutuhkan ketenangan saat bekerja.
“Baiklah! Aku mengalah demi kamu, sayang!” Tukas istrinya mesra. “Semoga, di tempat ini kelak kamu bisa melahirkan karya-karya yang bagus.”
“Terima kasih, sayang,” ucap Tarno lembut. “Kau memang pengertian!”
Sudah sepuluh tahun memang Tarno bekerja sebagai seorang penulis. Dan, telah banyak ia mencetak buku. Keberhasilanya ini tak lepas dari kejadian-kejadian bodoh di masa lalu; kesadaran mutlak yang secara tak langsung dibawanya saat membangun rumah ini. Pada masa muda, ketika ia memilih karier menjadi seorang penulis, ia memutuskan mengembara. Hal itu ia lakukan setelah terinspirasi sebuah film berjudul: On the Road [1]. Ia ingin melihat dunia langsung dengan matanya. Seluruh kejadian nyata yang tidak ditutup-tutupi atau digubah, sehingga menjadi enak dipandang. Ia tidak mau menjadi manusia munafik yang hanya berbicara pada hal- hal baik. Karena, ia ingin bicara dengan jujur apa-apa yang terjadi di sekitanya.
Tarno muda menjadi seorang musafir, tidur di emperan toko, makan ala kadarnya, dan terus melangkah semabari mencatat hal-hal yang terjadi di sekitar. Bahkan, pernah terselip di dalam pikirnya: Ia bagai menjadi salah satu dari empat manusia pertama tinggal di bumi. Zaman di mana hanya ada Adam, Hawa, Kain, dan Habil [2]. Sebagai seorang pengembara ia merasa menjadi Habil-Homo Ludens—manusia petualang yang jauh mencari rumah; menciptakan satu sistem lingkaran hubungan antara alam dan kehidupan.
Tebersit pula di kepalanya: Ia berhak atas segala yang ada di muka bumi ini. [3]
Sepanjang pengembaraan, ia melihat tempat-tempat baru, orang-orang asing, peristiwa demi peristiwa yang terjadi begitu cepat. Tak terbendung. Tak mudah direkam begitu saja. Ia, sebagai seorang penulis, menafsirkan semua itu sebagai sebuah bentuk ruang artistik yang tak tetap; dinamis; dan sulit dikekalkan. Beberapa kali saat perjalanan ia merasa depresi; melihat segalanya cepat berlalu; melompat dari satu waktu ke waktu yang lain; bergerak dari satu momentum ke momentum yang lain. Ia berpikir: Manusia kini seperti tak berumah. Manusia hidup tanpa meninggalkan makna.
Dan, ia tak mau menjadi orang-orang yang dahulu ditemukannya itu. Ia tidak ingin terjebak di dalam ruang-ruang transit yang kabur. Pun, pernah Tarno menyesal mengetahui semua itu. Ia tidak menyangka bahwa sebuah banguan yang bagus tidak melulu dapat membuat seorang nyaman tinggal di dalamnya. Ikatan batin lepas dari setiap individu dengan yang lain. Maka, akhirnya dengan sengaja ia memilih tempat yang jauh dari keramaian; ingar-bingar yang sering membuat seorang mabuk untuk larut di dalamnya. Tarno hanya butuh sebuah rumah kecil, sederhana dengan seorang hangat menyambutnya ketika lelah pulang bekerja. Dan, menunggu dengan sabar pada masa tua yang rakus menggerogoti usia.
“Kita akan memulai menanam harapan dan mimpi di sini, sayang,” kata Tarno meraih telapak tangan istrinya.
***
Dua pekan kemudian, ia sudah menebus tanah itu. Cukup mahal. Namun, Tarno tidak begitu memikirkan pengeluarannya. Mantap hatinya seperti awal menemukan tempat tersebut. Beberapa bulan setelahnya, ia mulai memilih orang-orang untuk mengerjakan rumah yang diimpikannya. Tarno sudah merancang sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Sudah puas ia dengan rumah mungil dengan beberapa kamar yang setidaknya dapat menjaga keintiman keluarga kelak di dalam.
Rumah bagi Tarno juga seperti samudra; menyatukan sungai-sungai kecil di dalam.
Betapa malang seandainya memiliki rumah besar, tapi penghuninya tak pernah memiliki ikatan dan kehangatan. Pun, ia tidak sudi mengulang kegagalan orang tuanya membangun rumah secara harmonis. Karena, dahulu, rumah baginya hanya tempat bersemayam kemalangan dan dusta. Rumah masa kecilnya yang megah dengan bingar lampu-lampu keemasan terasa majemukan. Setiap penghuni di dalamnya sibuk, hingga akhirnya mereka mencari pelampiasan masing-masing. Seperti, ayahnya yang main serong dengan gadis muda. Dan, begitu juga dengan ibunya. Tarno hidup dalam sebuah keramaian yang sunyi.
Berat ia mengingat itu semua. Tidak sampai hatinya menelantarkan keluarganya kelak. Dan, rumah yang mungil dengan tata ruang yang tak terlalu mewah ini sudah cukup bagi Tarno untuk merapatkan kehangatan; mengikat keharmonisan.
“Dapur dan meja makannya kita jadikan satu saja, sayang?” Cetus Tarno.
“Duh, nanti bukannya terasa sempit, sayang?” Istrinya tak setuju.
“Karena terasa sempit itu, jadi kebersamaan kita tidak lari ke mana-mana,”
dengusnya mesra.
Hati istrinya melunak. Wanita itu tidak protes. Dan, karena hal itulah Tarno begitu cinta dengan istrinya; selain masakan yang nikmat yang dapat terus mengikatnya untuk pulang dengan perut lapar di meja makan. Ya! Sebuah keluarga yang sehat dan bahagia selalu berawal dari dapur dan meja makan yang bahagia.
***
Sejak awal membangun rumah, Tarno juga sudah berencana untuk tidak merusak alam di sekitarnya. Sebisa mungkin, ia tidak merusak ekosistem hayati yang sudah terbentuk terlebih dahulu. Banyak pohon yang tidak ditebang. Tarno berpikir: Tak elok rasanya ia mengusir kehidupan yang sudah hidup lebih dahulu darinya di tanah tersebut. Ia mencoba menyesuaikan dirinya dengan alam. Bukan malah sebaliknya! Tarno percaya: Alam yang dihargai dengan baik, suatu saat akan menghargainya. Dan begitulah. Hal itu terbukti. Belum genap enam bulan pengerjaan rumah, pohon- pohon itu memberikan berkah.
Pohon mangga, rambutan, dan jambu air yang ia pertahankan mulai berbuah. Para tukang bangunan pun ia bebaskan untuk memetik. Ia tidak melarangnya. Sebisa mungkin, Tarno membagi kebahagian tersebut.
“Bukannya kalau kita jual bisa sedikit mengurangi biaya hidup kita, sayang?” Kata istrinya.
“Segala sesuatu yang berlebihan tak bagus. Nikmat terasa enak bila sedikit,” leram Tarno.
Dan benar! Buah-buah itu terasa jauh lebih manis daripada buah-buah yang pernah mereka beli di pasar. Bahkan, ketika musim buah usai, pohon-pohon di kebun rumah Tarno masih bermekaran. Sampai pembanguan usai, para tukang dan beberapa warga sekitar takjub dengan hal itu.
***
Rumah bukan saja tempat untuk tinggal. Rumah merupakan tempat bagi ‘Tuhan beristirahat’. Sebelum semua tempat usai dikerjakan, Tarno menyuruh para tukang yang disewannya untuk sedikit memperluas ruang tengah; ruang keluarga. Ia merasa, ketika berkumpul atau berdua dengan istrinya; Tuhan juga ada di sampingnya.
Tuhan mendengarkan setiap keluh yang langsung dan tak langsung. Menjadi sesuatu yang ada, tetapi tak berbentuk nyata. Tuhan mengawasi setiap tingkahnya di dalam rumah; perkataan dan apa-apa yang terjadi, atau belum sempat terjadi. Tuhan tinggal di dalam rumah bersama manusia yang sering merasa hampa dan sendiri.
Selain itu, ia pun membuat satu tempat ibadah khusus di rumah itu. Tarno letakan di depan. Persis di dekat ruang keluarga. Rasanya tidak pantas meletakkan ruang khusus itu di belakang; seperti yang sering ia temukan di rumah makan atau tempat-tempat lainnya. Yang sering menempatan Tuhan jauh setelah segala ingar-bingar hidup. Begitulah. Delapan bulan berlalu. Rumah tersebut kini berdiri kokoh. Malam harinya, mereka menginap di rumah tersebut.
Sejenak-sebelum tidur-istrinya meremang. Ada raut kesedihan di sana. “Mengapa kau menikah denganku, sayang?”
“Maksudmu?” Tarno kebingungan dengan pertanyaan itu.
“Bukankah kau sudah tahu!” Air mata menetes. Dan kebahagian memiliki rumah baru pudar. “Sebelum menikah, rahimku telah diambil. Aku tidak akan bisa mengandung. Kau tidak akan memiliki anak.”
“Sudahlah, lupakan!” Tarno menenangkan.
“Bukankah sebuah rumah akan lengkap bila ada seorang anak!” Kalimat itu tajam menusuk. “Dan, aku tidak akan membuat rumah baru ini lengkap!”
Tarno tertohok. Ia pandang wajah istrinya. “Rumah bagiku adalah tempat untuk pulang. Tetapi, tanpa ada seorang memikirkan atau mencemaskanku, tak ada artinya aku pulang. Rumah bukan sekadar untuk transit melepas lelah, tetapi juga melepas rindu. Dan, kau alasanku untuk terus pulang, sayang!”
Istrinya terdiam. Tak tahu apalagi yang ingin ia ucapkan kepada suaminya. Ia hanya memeluk erat. Tak mau terlepas. (*)
Keterangan:
[1] On the Road merupakan film drama petualangan sutradara Walter Salles;
adaptasi novel On the Road, penulis Jack Kerouch.
[2] Sebelum kehidupan manusia dimulai secara seutuhnya di bumi hanya hidup empat manusia pertama, yaitu Adam, Hawa, Habil, dan Kain.
[3] Dalam pandangan filsafat arsitektur, Habil adalah seorang petualang, pengembala ternak yang mengembara; ia menemukan tempat-tempat baru dan cara hidup baru.
Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.
Leave a Reply