Cerpen Syafaati Suryo (Republika, 31 Januari 2016)
Lelaki itu selalu terjaga sepanjang malam. Duduk di ubin sudut ruangan dengan terpaan cahaya bulan yang menyelinap melalui lubang udara. Didekapkan kedua kakinya hingga menyentuh dada. Bulir-bulir keringat meluncur di balik kausnya. Pikirannya kocar-kacir. Pandangannya tertuju pada pasukan semut di dinding. Semut-semut itu seakan menggerogoti isi kepalanya.
Saban kali pintu berderit, irama jantungnya seumpama letusan perang. Tingkat ketakutannya menukik tajam. Berharap orang-orang itu tak lagi datang. Di saat-saat inilah ia rajin menyapa Tuhan yang dulu sempat terlupakan.
***
Pagi ini adalah pagi yang biasa bagi sebagian orang. Matahari menepati janjinya seperti biasa terbit di ufuk timur. Namun, bukan pagi yang biasa bagi Arumi. Perempuan beranak dua yang tinggal di dekat ngarai, persis di perbatasan kampung.
Pada hari paling kelam dalam hidupnya, Arumi tak kehilangan gairah memasak.
Ia mulai menata rantang bundar bersusun empat yang kedua. Bekal yang ia siapkan sejak azan Subuh belum berkumandang. Di susunan pertama paling bawah, tampak setumpuk nasi putih mengepulkan uap hangat.
Di bagian kedua, aroma lezat daging rendang khas tanah Minang menguar di langit-langit dapur. Adapun di dua lapisan berikutnya, dijejali oleh tumis sayuran, tempe mendoan, dan bihun goreng. Belum pernah ia memasak senikmat dan sekhidmat ini.
Lalu dengan hati-hati ia mengemas selembar sajadah, dua buah buku, dan beberapa helai pakaian. Hantaran itu akan ia persembahkan kepada sang suami.
Makan siang kali ini bukanlah makan siang biasa. Arumi mengenakan pakaian terbaiknya. Memoleskan sedikit make up di wajahnya yang kuning langsat dan sehalus sutra. Ia memang jarang bersolek, kecuali di hari-hari tertentu.
Sejenak ia tercenung seorang diri di meja makan. Merengkuh kesunyian yang telah lama jadi teman. Pandangannya tertancap pada sebuah kursi kayu reyot di hadapan. Bangku yang dulu acap diduduki suaminya saat sarapan dan makan malam. Suami yang manis, setia, lagi jenaka. Seketika bayangan lelaki itu kian nyata. Menatapnya dan tersenyum lembut. Senyum yang dulu berhasil memikat hatinya. Ah, mengapa rindu ini jadi berkali-kali lipat agungnya? Arumi melenguh, menyeka air mata.
“Amanda, Juwita, ayo lekas bergegas! Paman Maskur sudah datang,” seru Arumi seraya berjingkat. Bunyi klakson memecahkan lamunannya. Ia lantas memanggil kedua buah hatinya yang masih duduk di sekolah dasar. Dua pucuk surat izin telah dikirimkan kepada wali kelas mereka masing-masing sejak kemarin.
Sesuai janjinya, Maskur, adik Arumi satu-satunya, menjemput mereka di pekarangan rumah. Maskur mengemudikan sebuah minibus. Istrinya, Marni, berbaik hati membawa dua kotak kue aneka jenis dan rasa.
“Kau sudah siap?” tanya Maskur pada Arumi setibanya di ambang pintu.
“Aku memang harus siap. Tak ada jalan lain. Semuanya harus terjadi,” tutur Arumi lirih sembari tersenyum. Mencoba terlihat biasa saja. Namun, selebar apa pun bibir mungilnya direkahkan, mata bulatnya tetap menerbitkan kesedihan. Kepasrahan.
Kendaraan yang menggiring mereka lantas melenggang meninggalkan desa itu.
Menuju tempat paling suram yang pernah mereka singgahi.
***
Desir angin bergerisik di tepi pelabuhan. Menerpa jilbab Arumi yang panjang terurai. Bulu kuduknya sontak berdiri. Getir pahit kehidupannya terus bergetar. Ibarat tanaman, racun kepedihan telah menjalar sampai ke akar-akar. Tapi, Arumi selalu tegar.
Pengamanan di area itu diperketat. Karpet merah seolah telah tergelar guna menyambut kedatangan malaikat maut. Arumi berkata dengan tenang tatkala puluhan jurnalis dari berbagai negara mengerubunginya, melontarkan ragam pertanyaan padanya. Maskur yang berprofesi sebagai advokat menjawab berapi-api. Maskur telah setia mendampingi Arumi selama tujuh tahun terakhir tanpa upah jasa.
Satu jam kemudian, kapal kayu yang mengangkut mereka bersandar di sebuah dermaga. Inilah kali pertama Arumi menapaki kakinya di tanah yang teramat mencekam. Biasanya Arumi kerap menjenguk suaminya paling tidak sepekan tiga kali di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Cilacap.
Suaminya, Salman, telah sepekan diasingkan di sebuah pulau mengerikan bagi para pesakitan. Kabarnya, regu tembak telah siap untuk mengokang senapan.
Benci dan amarah sempat ia muntahkan pada Salman saat polisi membekuk lelaki kebanggaannya itu, tujuh tahun silam. Betapa pun, peredaran narkotika ialah kejahatan mahadahsyat. Masa depan generasi muda bisa lenyap. Jutaan orang telah dibuatnya sekarat. Rasa malu harus Arumi telan bulat-bulat.
Namun, belakangan, cinta Arumi yang sedemikian tulus pada lelaki itu mengampuninya. Arumi dibuat mafhum, Salman terpaksa memilih jalan haram itu akibat harga segala kebutuhan pokok kian mencekik leher. Sementara, Salman harus menelan kenyataan pahit lantaran jadi korban PHK oleh perusahaannya yang gulung tikar. Anak-istrinya butuh makan. Ibunya yang renta sakit-sakitan. Salman tetap mendambakan pengakuan dan penghargaan.
Upaya hukum luar biasa sudah ditempuh. Grasi ditolak. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara tiada dikabulkan. Arumi pasrah. Arumi bukannya tidak setuju pada hukuman mati. Apalagi, perintah itu termaktub dalam konstitusi serta Kitab Suci yang Arumi baca saban hari. Tapi, Salman hanyalah seorang kurir, pikirnya. Salman bukan teroris yang meluluhlantakkan seisi kota. Salman bukan pembunuh berdarah dingin yang merenggut banyak nyawa. Salman adalah lelaki yang paling dicintainya.
Di luar sana, bos-bos besar juragan narkoba justru kian liar. Sebagian lagi menyuap oknum aparat agar tak terjerat. Atau setidaknya terhindar dari pidana mati. Tak seburuk Salman yang sesaat lagi akan meregang nyawa oleh lesatan peluru. Lantaran terlibat penyelundupan heroin dan sabu-sabu.
***
Bagi Arumi dan Salman, siang itu merupakan pertemuan yang paling terasa singkat sepanjang hayat. Maka di sanalah mereka, duduk berhadapan di sebuah meja. Sesuai permintaannya, Salman ingin sekali menyantap daging rendang yang bertahun-tahun lalu sukses membuatnya semakin bertekuk lutut pada sang istri. Seperti ada bumbu rahasia yang Arumi gunakan. Sehingga terasa berbeda dengan daging rendang yang dijual di restoran Padang manapun.
Jam makan siang berlangsung hangat. Semua lahap. Maskur dan Marnilah yang berkontribusi menghidupkan suasana. Amanda dan Juwita yang belum memahami seratus persen apa yang terjadi terlihat ceria. Hanya Arumi yang irit bersuara.
Beberapa saat kemudian, keheningan menggelayut di ruangan itu. Hanya ada Salman dan Arumi di sana. Petugas memberi sedikit waktu pada mereka berdua usai makan siang. Dan kata-kata mengalir begitu saja serupa air sungai. Seirama jarum jam penunjuk detik yang tak pernah mengambil jeda.
“Biarlah kematian menjadi sebuah misteri atau semacam kejutan. Bukan waktu yang bisa manusia tentukan.”
“Kematian tetaplah kematian. Kita sudah berikhtiar melebihi batas kemampuan.”
“Aku takut, Arumi…”
“Siapa yang tak takut dengan kematian? Setiap orang akan kembali pada-Nya.”
“Giliranku telah tiba. Mereka… Peluru itu… Aku takut neraka.”
“Kau sudah bertobat. Kau harus ikhlas. Percayalah akan rahmat Tuhan. Doa kami menyertaimu.”
“Aku menyesal, Arumi. Sungguh.”
“Bila seandainya kau memang ditakdirkan mati esok hari, di manapun kau berada, kau tak bisa menghindar dari ajal. Mas, kau bukan orang jahat.”
“Arumi, maafkan aku…”
“Aku sudah memafkanmu sejak dulu.”
Salman mulai terisak. Sesak memuncak. Ia menundukkan kepala. Bahunya bergetar. Sedang Arumi berusaha kuat mengumbar senyuman. Meski sesungguhnya ia belum siap kehilangan.
“Tolong jaga anak-anak kita.”
“Tak ada yang lebih berharga untuk kujaga selain mereka.”
“Jaga dirimu baik-baik.”
“Mas, kau hanya pergi lebih dulu. Suatu hari, kami akan menyusulmu.”
“Terima kasih untuk cinta dan kebaikanmu.”
“Aku ikhlas, Mas. Sungguh, aku ikhlas…”
“Betapa beruntungnya aku pernah hidup bersamamu.”
“Aku bahagia hidup bersamamu…”
Boleh jadi kematian yang sudah diketahui waktunya lebih menguntungkan.
Persiapan lebih matang. Wasiat benar-benar tersalurkan. Mereka yang hendak ditinggalkan mempunyai kesempatan untuk memohon maaf dan mengungkap segenap perasaan.
Seperti kedua pasangan itu yang kini berpelukan erat sekali. Rasanya tak sudi dilepaskan barang sekejap. Tangis mereka akhirnya pecah. Kenangan saat pertama kali bersua, saling jatuh cinta, berkencan, hingga akhirnya memutuskan hidup bersama, bak sebuah film yang kembali diputar di kepala. Dalam hati mereka meminta agar Tuhan berkenan memperpanjang waktu di dunia.
Cakrawala tak lagi biru. Giliran warna jingga kemerahan mendominasi langit yang sendu. Dengan hati yang termiuh-miuh, Arumi meninggalkan dermaga itu. Sebelum memasuki geladak kapal, ia menoleh ke arah pulau selama beberapa detik. Terpaku ke sebuah bangunan megah dan tua. Seekor burung gagak terbang rendah di atas barisan pohon rimbun. Ia seperti melihat suaminya tengah berdiri melambaikan tangan ke arahnya. Berjalan mendekatinya. Wajahnya teduh dan menenangkan.
***
Malam itu hampir seluruh layar televisi kompak menyiarkan sabda Sang Pemimpin.
Katanya, ini bukanlah keputusan arogan, melainkan berdirinya kedaulatan. Roh-roh berterbangan demi hukum yang wajib ditegakkan.
Tangan Salman terikat pada tiang besi sedingin es batu. Seorang rohaniwan membantu menanggalkan sepatu yang Salman kenakan. Kemudian melantunkan tausiyah penyejuk iman. Salman lantas mengatupkan mata ketika timah panas menembus jantungnya. Ada waktu sekitar lima sampai tujuh menit di mana Salman mengerang kesakitan. Kerongkongannya tercekat. Nama Tuhan terus ia agungkan. Kemudian, pekatnya malam semakin benar-benar gulita.
Sejak saat itu, Arumi tak pernah lagi memasak daging rendang. (*)
@syafaatisuryo. Gadis kelahiran Bogor, 5 November 1989 ini berprofesi sebagai jurnalis di sebuah stasiun televisi berita nasional.
Leave a Reply