Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 30-31 Januari 2016)
PELAJARAN pertama agar kau bisa bekerja dengan baik di kebun binatangku, Kalam, adalah mengetahui dengan saksama satwa apa yang bersemayam di dalam jiwamu,” kata Nuh, Direktur Kebun Binatang Halasnom berkaki pincang berusia 54 tahun itu, pada hari kelima aku bekerja.
Mematuhi anjuran itu, aku melihat dengan sangat serius aneka satwa berenangan di kolam, burung-burung di pepohonan, dan binatang-binatang laut yang dipelihara di akuarium raksasa.
“Menurutmu binatang apa yang bersemayam di jiwaku? Harimau, singa, kuda nil, monyet, kecoa, atau anjing?”
“Tak seorang pun tahu binatang apa yang merasuki jiwamu. Hanya kau yang bisa merasakan,” kata Nuh seperti menirukan ayat-ayat di sebuah kitab yang disucikan, “Kau hanya perlu bergaul dengan mereka, maka salah satu satwa akan menunjukkan betapa ia adalah kembaranmu di dunia binatang.”
Tentu tidak mudah mencari siapa diri kita di dunia binatang. Bisa saja aku menganggap diri sebagai jerapah, tetapi ternyata hanya siput. Bisa saja merasa lebih menyerupai kambing, tetapi ternyata aku dinosaurus.
Bukan tidak mungkin aku hanya seekor tungau.
PADA hari pertama bekerja, aku sebenarnya berusaha mengenal apa pun yang hidup dan mati di Halasnom. Akan tetapi karena datang pada pukul 21.00 saat listrik padam, aku hanya berhadapan dengan langit dan bumi. Agak gelap. Dari semacam asrama di kebun binatang itu, aku melihat bulan redup dan sedikit bintang. Angin dingin menusuk-nusuk tubuhku yang ringkih dan menggigil.
“Malam ini, kalau tidak bisa tidur, bacalah Kitab Kekejaman Para Binatang. Buku itu akan mengajarimu memahami kemarahan para satwa dan tindakan-tindakan yang harus kaulakukan ketika hewan-hewan itu ingin membunuh pengunjung kebun binatang,” Nuh mendesis sambil memberiku senter.
Dalam cahaya senter yang minim itu, aku membaca buku itu dan kusimpulkan: singa hanya mencabik-cabik tubuh manusia jika mereka terlebih dulu disakiti; ular kobra tidak akan menyemburkan bisa jika manusia tak memusuhi binatang berkepala seperti sendok itu.
Pada hari kedua Nuh masih mengurungku di perpustakaan. Aku masih belum melihat binatang-binatang yang bertengger di pepohonan atau bergelantungan dari dahan ke dahan. Aku belum bisa menatap buaya menghantamkan ekor ke tubuh anak sapi malang. Aku belum bisa mengamati ikan-ikan tersesat di rerimbun ganggang. Dari jendela, aku bisa melihat cakrawala. Ada gelap dan terang yang dipisahkan oleh cakrawala itu.
“Kau harus membaca buku Tak Ada Agama untuk Binatang Pertama. Banyak orang menganggap binatang pertama yang diciptakan Tuhan adalah kuda nil. Ada pula yang ngotot bilang: dinosauruslah nenek moyang seluruh binatang di dunia. Jangan percaya! Di buku ini kau akan tahu: hanya ularlah yang layak disebut sebagai hewan pertama. Ular tentu saja tidak beragama. Jika beragama, ia tak mungkin mau bersekutu dengan iblis.”
Tak tuntas aku membaca buku itu. Sementara kusimpulkan: jika para binatang diberi kesempatan memeluk agama, sebaiknya mereka tidak memeluk agama manusia. Agama para binatang—apa pun namanya—mungkin lebih bisa menjadikan hewan-hewan saling mengasihi, tidak baku bunuh, dan memuliakan sesama.
PADA hari ketiga Nuh mengajakku mengenal seluruh lokasi kebun binatang. Ia juga memperkenalkan kepadaku nama-nama pohon, bunga-bunga, jamur-jamur, benalu, dan tumbuh-tumbuhan kecil lain yang sangat sulit kusebut namanya. Ada yang bernama zigaregore. Ada yang bernama sosopapata. Aku tidak tahu dari bahasa apa nama-nama tumbuhan itu. Mungkin dari bahasa yang hanya diketahui oleh Nuh atau karangan belaka.
“Pohon-pohon ini akan menjadi tempat persembunyian terbaik jika sewaktu-waktu ada binatang yang hendak membunuhmu. Karena itulah, jangan lupa, sapalah mereka setiap kau lewat atau merawat mereka. Ajaklah mereka berbicara. Pelajarilah bahasa bunga-bunga dan tetumbuhan.”
“Kau sering bercakap-cakap dengan mawar atau pohon durian?”
Nuh mengangguk. Saat itu pula Nuh tampak berbicara dengan pohon kelapa.
“Apa yang dikatakan pohon kelapa kepadamu?”
“Ia ingin agar kau memeluknya.”
Tak menunggu perintah, aku pun memeluk pohon kelapa itu.
“Ciumlah!”
Aku pun mencium pohon itu sepenuh hati.
“Jangan sampai pohon itu hamil!” Nuh bercanda.
Tidak! Tidak! Mungkin Nuh memang tahu pada suatu saat pohon kelapa itu akan melahirkan sesuatu yang tak terduga. Mungkin Nuh paham pada suatu ketika pohon kelapa itu bilang, “Aku sedang mengandung malaikat berkepala kelinci. Karena itu, jangan pernah menganggap aku sebagai pohon majal yang terlunta-lunta….”
Jadi, kupastikan Nuh tidak sedang bercanda.
PADA hari keempat aku tidak melakukan tindakan-tindakan penting. Bersama Nuh, aku berjalan di antara pepohonan, tetapi lebih sering mencuri-curi pandang pada matahari. Matahari yang entah mengapa bias sinarnya berubah jadi ungu semua. Aku juga memandang bulan. Bulan tak gaib. Bulan biasa. Bulan yang lebih tampak sebagai punggung mangkuk berukir kepala naga. Aku juga menatap bintang-bintang. Bintang-bintang biasa. Bintang-bintang berbentuk kalajengking tanpa mata.
“Kebun binatang ini tidak berarti apa-apa tanpa matahari, bulan, dan bintang. Tanpa benda-benda yang bertebaran di tatasurya kita itu, dunia akan gelap. Dalam kegelapan, tak akan ada apa-apa yang bisa kita lihat, bukan?” kata Nuh sambil mengajakku berjalan ke arah kolam.
“Mengapa kau mengajakku ke sini?”
“Aku ingin kau memandang bulan dan bintang di keheningan dan kebeningan kolam. Ini keindahan yang sekali waktu perlu dirasakan saat kau mulai jenuh bekerja di kebun binatang.”
“Kau pernah merasa bosan mengelola kebun binatang ini?”
Nuh menggeleng.
“Mengapa?”
“Karena ada sesuatu yang masih ingin kucari di sini. Besok, kau akan tahu, apa yang seharusnya kita cari di kebun binatang.”
PADA hari kelima, kau sudah tahu, Nuh bercerita tentang hewan yang bersemayam di jiwa dan bagaimana keharusan bergaul dengan para satwa.
“Apakah kau masih ingin mencari binatang apa yang bersemayam di jiwamu?”
“Masih,” kata Nuh.
“Selama ini belum pernah bertemu dengan hewan yang kaumaksud?”
“Hampir?”
“Hampir?”
“Ya,” kata Nuh, “Semula aku menganggap gajahlah binatang yang melekat di jiwaku. Tidak ada binatang, kecuali gajah, yang begitu dekat denganku. Karena itu saat mengawasi kebun binatang yang sangat luas ini, aku selalu menunggang gajah. Kuajak gajah itu bercakap-cakap. Ia seperti mengerti bahasaku. Aku seperti mengenal bahasa gajah. Kami begitu intim. Kami begitu tak terpisahkan. Aku percaya pada apa pun yang dikatakan sang gajah. Gajah percaya pada apa pun yang kukatakan. Para karyawan bilang, ‘Pak Nuh telah berpacaran dengan gajah molek.’”
“Dan kau kemudian menikahi gajah itu?” aku bercanda sambil menghindar dari kemungkinan bertabrakan dengan sepasang monyet yang berkejaran memperebutkan setandan pisang.
“Tentu saja tidak. Gajah ternyata bukan kembaranku di dunia binatang. Pada suatu hari ia menendangku dan menginjak kakiku. Kakiku remuk. Kakiku pincang permanen hingga sekarang. Kembaran tak akan pernah melukaimu dalam situasi apa pun. Seintim apa pun kau dengan hewan kesukaan jika satwa itu melukaimu, tidak perlu ia kauanggap sebagai kembaran,” kata Nuh bercerita lagi, “Sejak itu, Kalam, aku terus mencari kembaranku di dunia binatang. Aku pernah intim dengan buaya, kuda nil, merak, rusa, kepiting, dan ular, tetapi semuanya belum menunjukkan tanda-tanda sebagai kembaranku.”
“Kau tidak putus asa mencari kembaranmu?” aku bertanya sambil menyaksikan dua badak bermain-main di kubangan dangkal.
“Aku tidak pernah putus asa. Kini aku sedang sangat intim dengan seekor macan tutul.”
“Ia telah menjadi hewan yang sepenuhnya jinak?”
Nuh menggeleng. Gelengan itu membuat aku membayangkan di tengah-tengah auman singa, jerit monyet, cuitan burung jalak, kekacauan berang-berang, kecerewetan kodok-kodok hijau, meong kucing-kucing kecil, selak anjing-anjing berbintik hitam, keributan unta, dan lalu lalang manusia yang berisik, macan tutul itu bisa saja mengoyak-ngoyak tubuh Nuh di dalam kerangkeng. Kemarahan binatang tak bisa kita duga bukan?
“Kau tidak takut bergaul dengan macan tutul?”
“Aku tak pernah memiliki rasa takut,” kata Nuh pelan.
Nuh memang tak punya rasa takut. Hari itu, ia tampak bisa bergaul dengan singa, beruang, ular kobra, dan buaya yang senantiasa menyeringai dengan tanpa melibatkan pawang.
“Kau hanya perlu bergaul dengan mereka. Kau jangan menganggap satwa-satwa itu sebagai makhluk lain!” kata Nuh mengulang nasihat sebelum makan siang.
Setelah itu aku melihat para pengunjung kebun binatang menatap takjub hewan apa pun yang mereka temui.
“Kalau di kehidupan kedua diberi kesempatan menjadi hewan, kau ingin jadi apa?” Tanya seseorang pemuda kepada mungkin pacarnya.
“Cumi-cumi,” jawab sang perempuan mungil.
“Cumi-cumi kurang keren. Bagaimana kalau jadi tapir?”
“Tapir juga kurang keren. Bagaimana kalau babi?”
Tak ada jawaban yang memuaskan. Kedua makhluk itu mungkin akan bertanya jawab sampai mereka menemukan satwa apa yang paling diidolakan.
HARI kelima bekerja di Halasnom ditutup dengan nasihat Nuh kepadaku. Nasihat itu jika dibuat buku kira-kira bisa diberi judul Sepuluh Ciri-ciri Kembaran Manusia di Kebun Binatang. Kata Nuh, “Pertama, kembaranmu tidak akan pernah melukai atau membunuhmu. Kedua, ia akan senantiasa mengajakmu bercakap-cakap jika kau menginginkan. Ketiga, ia akan mengajarimu untuk lebih percaya kepada Tuhan. Keempat, kembaranmu mengajakmu memuliakan persahabatan. Kelima, ia tidak akan mengajakmu melakukan tindakan-tindakan buruk. Keenam, kembaranmu tidak akan pernah mengencingi wajahmu. Ketujuh, ia selalu mengajak berak bersama agar mendapatkan kebahagiaan bersama. Kedelapan, ia tidak mengajak ke jamuan makan malam di comberan. Kesembilan, ia tidak mengajak kentut bersama-sama meskipun hal itu mungkin bisa menjadi orchestra terindah. Kesepuluh, kembaranmu tidak akan mengajari kamu mencuri apa pun yang dimiliki makhluk lain. Tak ada korupsi meskipun hanya mencuri sedikit jatah daging sang macan.”
Menurutku nasihat Nuh berlebihan. Nuh seakan-akan menganggap para satwa sebagai makhluk kelas tinggi. Dalam pemahaman Nuh, para hewan tampak menguasai manusia, dan bukan sebaliknya. Nuh menempatkan hewan sebagai makhluk mulia dan manusia sekadar hewan bertulang belakang penuh dosa.
“Apakah dalam setiap jiwa satwa ada citra Tuhan?” aku menggoda Nuh dengan pertanyaan konyol, sebelum kami berpisah.
“Aku tidak pernah melibatkan Tuhan dalam urusan satwa dan manusia.”
“Apakah ada citra malaikat?”
“Aku juga tidak pernah berurusan dengan malaikat.”
“Kau menganggap Tuhan dan malaikat telah mati?”
“Kau tidak perlu memaksaku mencampuradukkan persoalan surga dan kebun binatang, Kalam.”
“Apakah Tuhan terlepas dari persoalan kebun binatang?”
“Apakah kau menganggap akan ada kekacauan dan dosa di dunia binatang? Apakah pada saat kiamat tiba akan muncul semacam juru selamat yang menggiring para satwa ke surga Tuhan?” Nuh balik bertanya.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku melongo. Aku terpana pada pertanyaan tidak terduga itu.
Karena pertanyaan itu masih menggantung, aku tergoda melanjutkan pertanyaan Nuh, “Apakah Tuhan juga akan mengirim banjir besar untuk para binatang? Apakah Tuhan akan membakar kebun binatang ketika para satwa itu ingin bercumbu dengan sesama atau memiliki berahi tak tertahankan kepada para malaikat?”
Tentu saja Nuh tidak akan menjawab karena aku melontarkan pertanyaan itu dalam hati. Mungkin karena tahu aku gelisah, Nuh menepuk-nepuk pundakku. “Usiamu masih 20 tahun, Kalam. Cepat atau lambat kau akan bisa menjawab pertanyaan apa pun dari orang lain ataupun dirimu sendiri. Aku hanya ingin mengatakan kebun binatang itu bukan Taman Eden. Karena itu, tidak perlu kau percakapkan tentang dusta ular, kejatuhan manusia, atau hukuman Tuhan kepada para makhluk. Kebun binatang ini, jika kau tidak hati-hati, justru bisa jadi neraka. Ibarat singa, ia akan bisa mengerkah kepalamu.”
Tak kudebat perkataan Nuh. Aku percaya Nuh berkata benar.
Kini aku berdebar-debar menunggu apa pun yang bakal terjadi pada hari keenam aku bekerja di Halasnom.
“KALI pertama aku merasa bertemu dengan kembaranku terjadi pada hari keenam aku bekerja,” kata Nuh, “Aku mengira, kau juga akan menemukan kembaranmu pada hari keenam kau berada di Halasnom.”
“Pagi ini aku belum bertemu satwa apa pun,” kataku.
“Dulu aku juga begitu. Namun tepat pukul 12.03 pada hari keenam aku bekerja, puluhan gajah mengepungku. Tentu saja aku panik. Semula aku mengira mereka akan meremukkan tubuhku dengan kaki-kaki yang kokoh atau membanting dengan belalai yang panjang. Namun, ternyata gajah-gajah itu justru seakan-akan menyembahku. Saat itu, mungkin saja mereka bilang, ‘Kaulah kembaranku! Kaulah kembaranku!”
“Kau yakin hari ini aku akan bertemu dengan kembaranku?”
Nuh mengangguk.
Entah mengapa kali ini aku tidak percaya kepada Nuh. Karena itulah, kubiarkan Nuh tetap berada di perpustakaan, sedangkan aku memilih berkeliling dari satu kandang ke kandang lain di Halasnom. Aku tertarik untuk bergaul dengan hewan-hewan yang dianggap liar. Aku berharap salah satu dari hewan liar pemuja kebebasan itu merupakan kembaranku di dunia binatang.
Pagi itu sebelum Halasnom diserbu pengunjung, aku mencoba mengamati sepak terjang kuda-kuda nil, buaya-buaya, hyena-hyena, bison-bison, beruang-beruang, dan singa-singa.
Kepada bison-bison aku bilang, “Kalian pasti bukan kembaranku. Wajah kalian tidak cukup tampan.”
Kepada beruang-beruang aku berteriak, “Kalian satwa pemalas yang lamban. Kalian pasti bukan kembaranku.”
Kepada singa-singa aku bergumam, “Kalian memang perkasa. Siapa pun gampang kalian bunuh. Kalian pasti bukan kembaranku. Lihatlah, aku tak punya taring kuat, aku tak punya kuku runcing, badanku teramat kerempeng.”
Kepada hyena-hyena aku tak berani berkata apa-apa. Aku hanya membatin, “Andai saja kalian adalah binatang-binatang kembaranku, tentu aku akan jadi makhluk paling perkasa di Halasnom. Aku akan bisa memangsa siapa pun hidup-hidup.”
Hingga pukul 11.00 belum ada tanda-tanda aku bakal bertemu dengan binatang kembaranku. Masih ada waktu satu jam untuk secara acak mengunjungi binatang-binatang yang mungkin saja merupakan kembaranku di dunia satwa. Karena itulah, aku pun bergegas menuju ke lokasi angsa-angsa yang berkejaran dengan burung unta, rusa-rusa, orangutan yang bercanda dengan aneka monyet, babi-babi liar, macan tutul, kijang yang melamun, bebek-bebek pesolek, kucing-kucing besar, dan katak-katak hijau.
“Ternyata tidak ada kembaranku di dunia binatang. Mungkin kembaranku telah jadi fosil. Mungkin kembaranku adalah makluk-makhluk yang sudah punah pada masa purba,” aku membatin ketika kulihat arloji menunjuk pukul 11.59.
Aku salah duga. Pada pukul 12.03 dari semak-semak dan tanah-tanah berlubang muncul begitu banyak cacing. Cacing-cacing berlendir dari tanah becek berair itu bergerak begitu cepat dan segera mengepungku.
“Kembaranku hanya seekor cacing?” aku membatin.
Bisa ya bisa tidak. Aku harus menguji apakah hermafrodit berotot melingkar dan longitudinal memenuhi kriteria sebagai kembaran. Aku harus mengajak cacing-cacing itu bercakap-cakap. Bercakap-cakap, kau tahu, adalah penguji paling sahih.
“Siapakah tuhanmu?” aku mendesis.
Cacing-cacing itu tidak menjawab. Mungkin memang mereka tidak bisa bicara.
“Apakah malaikat di dunia cacing juga memiliki sayap?”
Cacing-cacing itu tetap bungkam.
“Apakah cacing juga bisa jatuh ke dalam kubangan dosa. Kalian menggerogoti apel juga?”
Cacing-cacing itu tetap membisu.
“Apakah dunia cacing mengenal reinkarnasi?” aku terus mencecar dengan pertanyaan kunci, “Apakah jika diberi kesempatan hidup kali kedua dan seterusnya, apakah kalian ingin jadi cacing lagi?”
Cacing-cacing itu mulai merespons dengan cara lain. Mereka melakukan gerakan sama. Mereka seperti menggeleng bersama.
“Jadi kuda?”
Cacing-cacing itu terus bergerak-gerak.
“Jadi rajawali?”
Cacing-cacing mulai berjuang menirukan bahasa manusia.
Aku jijik dan geli membayangkan cacing-cacing itu sebagai kembaranku di dunia binatang.
“Apakah kau tidak ingin jadi manusia?”
Cacing-cacing itu tak menjawab. Cukup lama aku menunggu apa yang akan dikatakan oleh para cacing. Mereka tampak bercakap-cakap sendiri kemudian berbalik meninggalkan aku. Mereka bersama-sama menyusup ke tanah becek dan menghilang.
“Menghilang? Tidak! Tidak!” kata Nuh setelah kuceritakan kisah para cacing itu di perpustakaan, “Mereka menyusup ke kubangan-kubangan kecil di kepalamu. Mula-mula mereka menempel di kakimu lalu bergerak pelan-pelan ke kepala, setelah itu satu per satu menyelinap ke dalam liang hidungmu.”
Aku tidak percaya pada penjelasan Nuh. Aku masih cukup waras untuk memahami betapa setiap ucapan Nuh hanyalah sebuah khayalan. Akan tetapi kenyataannya, aku merasa cacing-cacing itu makin karib dengan seluruh bagian tubuhku. Cacing-cacing itu tak hanya berdiam di kepala, tetapi menyebar hingga ke kemaluan hingga ke lubang anus. Mereka tak hendak membunuhku. Mereka hanya melata ke sana kemari. Merasuk ke dalam tubuhku. Merasuk ke dalam pikiranku.
“Kau tidak perlu kaget jika nanti malam cacing-cacing itu bilang, ‘Kami tidak mau menjadi manusia. Manusia itu makhluk paling konyol sedunia. Sok kuasa. Sok pandai. Sok buas. Sok segalanya.’ Dulu para gajah juga mengucapkan kata-kata semacam itu kepadaku,” kata Nuh.
Aku terdiam. Jika para cacing—dan mungkin binatang-binatang lain—menganggap manusia hanyalah monster ganas, maka sesungguhnya mereka itu berada dalam situasi sesat pikir yang luar biasa.
Atau jangan-jangan manusia memang makhluk berkasta terendah di dunia? Aku—dengan kemungkinan kembaran seekor cacing—tidak akan menjawab pertanyaan yang meledek kekerdilan manusia.
Semarang, Januari 2016
Triyanto Triwikromo memperoleh Penghargaan Pusat Bahasa 2009. Telah menerbitkan, antara lain, Surga Sungsang (buku cerita, 2014) dan Kematian Kecil Kartosoewirjo (buku puisi, 2015).
Leave a Reply