Cerpen Leo Agung Srie Gunawan (Media Indonesia, 31 Januari 2016)
SEJAK kecil Paijo menyukai suara jangkrik. Saat liburan Paijo sering tidur di rumah kakek-neneknya. Malam hari mereka duduk di serambi rumah, bercengkerama sambil mendengarkan suara cangkrik. Aneh, suara cangkrik jadi perhatian mereka. Paijo suka memperhatikan mereka. “Apa untungnya mendengarkan suara jangkrik?”
Malam Minggu ketika keluarganya berkumpul, Paijo memperhatikan orangtuanya. Bapak-ibunya suka keluar dan duduk di halaman depan. Bapak merokok. Ibu minum teh. Mereka betul-betul menikmati malam. Mereka membiarkan suara jangkrik menguasai jiwa. Setelah puas mendengarkan suara jangkrik, mereka masuk. Paijo mengintip melalui jendela kamarnya. Kenapa mereka begitu terpesona dengan suara jangkrik? Apa hebatnya suara jangkrik?
Paijo mempelajari kekuatan suara jangkrik. Suara jangkrik mempengaruhi suara keluarga. Bila ibu-bapak tak mendengar suara jangkrik, mereka ribut. Bapak marah, ibu ngomel-ngomel, anak-anak menuntut. Barang-barang rumah tangga ikut bising. Suara jangkrik berganti suara egoisme. Bapak haus dihormati. Ibu haus didengarkan. Anak-anak mau menang sendiri. Suara-suara egoisme membuat bencana keluarga.
Ketika suara jangkrik didengarkan, bapak mudah tertawa. Ibu mudah bercanda. Anak-anak mudah gembira. Bapak-ibu mudah bekerja sama. Anak-anak mudah membantu keluarga. Kalau ada kesalahan, suara minta maaf mudah muncul. Kalau ada sedih, suara menghibur mudah diucapkan. Suara kasih benar-benar dipancing dari suara jangkrik.
Demikianlah Paijo belajar dari keluarganya. Kesimpulannya, suara jangkrik mesti didengarkan. Tiap malam Paijo merindukan suara jangkrik. Jiwanya belum puas bila belum mendengarkan suara jangkrik. Suara jangkrik suara tersembunyi. Dalam gelap malam suaranya menyembul entah dari mana. Dalam terang bulan suaranya dibaluti suara burung-burung malam. Suara jangkrik sudah tak diperhitungkan. Telinga manusia sudah ditulikan oleh teknologi. Tapi Paijo mau mendengarkan suara jangkrik. Meski suara itu makin tersembunyi. Keberanian menelusuri suara itu berkah.
Inilah berkah itu. Ketersembunyian jika didengarkan akan mewahyukan sesuatu. Suara jangkrik menyingkap kesunyian, dan membawa kedamaian. Suara jangkrik suara kedamaian. Suara yang tak diperhitungkan ternyata suara kedamaian. Paijo harus memetik berkah suara jangkrik. Itu keyakinan Paijo.
***
Saat masih pacaran dengan Silvia, Paijo menjelaskan makna suara jangkrik. Suami-istri harus mendengarkan suara jangkrik. Kebahagiaan hanya lahir dari suara jangkrik. Tentu tidak hanya suami atau istri saja yang mendengarkannya. Kalau hanya salah satu, tidak akan seimbang. Mendengarkannya harus berdua. Kata Paijo pada Silvia.
“Dek, suara jangkrik itu penting. Harus didengarkan.”
“Ya, Mas. Tapi apa nggak ada yang lebih penting dari suara jangkrik?”
“Jangkrik itu serangga tersingkir. Serangga yang jadi korban. Jangkrik itu makanan burung. Supaya burung-burung bisa bernyanyi merdu. Jangkrik juga alat kepuasan orang-orang. Jangkrik diadu. Tanpa permusuhan, jangkrik harus baku hantam. Jangkrik menyabung nyawa demi kepuasan orang-orang. Di arena jangkrik yang tersiksa, orang-orang tertawa. Orang senang, jangkrik tegang. Mereka bersorak, jangkrik terisak. Pengorbanannya tak pernah dipuji, tak pernah dibayar. Kalau jangkrik mati, orang-orang tak peduli. Hanya semut yang menggotong mayat jangkrik untuk dijadikan makanannya.
Ada orang yang suka suara jangkrik. Tapi jangkrik harus dikurung di kandang bambu. Itu sama dengan penjara. Itu juga membuat penderitaan. Nah, sekarang kita belajar menghargai jangkrik. Jangkrik punya harga diri. Jangkrik harus didengarkan tanpa mengurangi kebebasannya. Biarlah jangkrik bersuara di alam bebas. Kita hanya dipanggil untuk mendengarkan tanpa mengurangi kemerdekaannya. Bukan memperalatnya demi egoisme dan keserakahan.”
“Mas, aku ngerti. Tapi suara jangkrik itu tak menambah apa-apa. Menghibur tidak. Menambah wawasan tidak. Malah bisa membahayakan. Kalau malam kita keluar rumah, bisa digigit ular. Kalau malam kita keluar, rumah dimasuki orang jahat. Kita jadi rugi. Bagiku TV itu yang terpenting. Kalau orang enggak nonton TV akan ketinggalan banyak hal.”
“Suara jangkrik suara kedamaian. Aku sudah mempelajarinya bertahun-tahun. Aku sudah merasakannya. Nenekku, kakekku, ibuku, bapakku sudah mengalami. Dari suara binatang terkucil, ada kedamaian. Ini penting Dek!”
“Mas, kalau aku tak suka, jangan paksa aku. Aku tidak berasal dari keluarga jangkrik!”
***
Berkali-kali Paijo meyakinkan pentingnya suara jangkrik. Tapi Silvia selalu berargumen, TV lah yang terpenting. Katanya di TV, ada pengetahuan, film, sinetron, iklan, hiburan, lagu-lagu, olah raga. Dengan TV kita dapat melihat sudut-sudut dunia. Suara jangkrik tak ada apa-apanya. Tak didengarkan juga tak rugi. Paijo mengusap dada. Sulit meyakinkan orang jika ia belum mengalami.
“Mau dengarkan suara jangkrik?” tanya Silvia mengejek.
“Kakek-nenekku dulu selalu mesra mendengarkan suara jangkrik. Bapak-ibuku bercengkerama sambil mendengar suara jangkrik. Aku ingin kita juga mendengarkan suara jangkrik. Karena suara jangkrik adalah suara kedamaian. Aku selalu bermimpi tentang kedamaian. Suara jangkrik itu pemicu mimpi kita. Ini penting sekali!”
“Mas, jangan paksa aku. Aku tak bisa menikmati suara jangkrik. Suara itu justru mengganggu telingaku. Kedamaian bagimu, gangguan bagiku. Bagiku suara TV lebih penting. Kau tak bisa melihat pentingnya suara TV ketimbang suara jangkrik?”
“Suara TV tak bisa menggantikan suara jangkrik. TV tidak membawa kedamaian. TV justru mengancam kedamaian keluarga. TV berbahaya. Acara dunia dalam berita sering menjadi dunia dalam derita. Coba lihat film-film. Banyak muatan kekerasan, horor, seks serba boleh. Lihat sinetron-sinetron. Isinya perselingkuhan, kekerasan, anak ingusan bermain cinta, dunia mistik merusak iman, cara mudah untuk kaya. Bagiku tak masuk akal.”
“Aku tak butuh ceramahmu. Kalau kau suka suara jangkrik, dengarkan saja.”
“Silvia, kupikir dulu kau orang yang paling mengerti. Kau akan hidup seperti keluargaku. Kita bisa duduk berdua menikmati suara jangkrik. Dan, hati kita penuh kedamaian. Baru aku tahu sekarang, kau sungguh berbeda.”
“Tak usah mengungkit-ungkit pribadiku. Kalau suka suara jangkrik kenapa tidak menikah saja dengan jangkrik?”
Ternyata selama ini Paijo belum mengenal Silvia. Lamanya perkawinan tidak otomatis mampu mengenal kedalaman hati pasangan. Silvia tetap asing baginya. Di halaman rumah Paijo melamun. Pikirannya tertelan malam. Suara jangkrik tertelan pikiran dan hatinya.
***
“Dek, cobalah sekali ini saja kita dengarkan suara jangkrik,” mohon Paijo pada Silvia.
“Aku enggak bisa menikmati suara jangkrik. Meski kau bilang itu suara kedamaian, bagiku itu suara paksaan. Bagiku suaramu adalah suara kekerasan. Karena jangkrikmu aku justru tidak damai.”
“Sekali ini saja. Kalau sudah, aku tidak akan meminta lagi.”
“Jangan paksa aku. Meski aku istrimu, aku tetap bebas!”
“Jadi, kau melawan suamimu. Suami itu kepala keluarga. Kau harus patuh padaku. Kalau tidak, kau bukan istri yang baik.”
“Kepatuhan itu ada tempatnya. Suami-istri itu sejajar. Kita sama-sama manusia. Tak ada yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.”
“Jadi, kamu sudah berani melawan suamimu. Kau istri yang tak berbakti. Istri durhaka. Baik. Kalau begitu mulai sekarang urusanmu-urusanmu, urusanku urusanku. Titik!”
***
Paijo sudah menyerah. Silvia tak bisa ditaklukkan. Mimpi Paijo kandas. Dulu saat menikahi Silvia, ia berharap Silvia bisa diajak bercengkerama sambil mendengarkan suara jangkrik.
Pikiran Paijo berlari ke masa lampau.Ia mengenang pacar-pacar lamanya. “Andai saja aku menikah denganmu Umi. Wajah umi memang tak terlalu cantik. Tapi Umi penyabar. Mungkin kalau kita menikah, kau akan sabar bersamaku mendengarkan suara jangkrik. Sabar menelusuri kedamaian suara jangkrik. Sabar menghabiskan malam bersamaku dengan suara jangkrik. Tapi kini kau di mana?” desah Paijo.
“Nining. Aku kangen candamu. Kau selalu membuat suasana hidup. Kau selalu ceria. Seolah tak ada kesedihan dalam jiwamu. Saat aku sedih, tawamu menghapus kesedihan. Saat aku murung, candamu mengusir kemurunganku. Andai malam ini kau bersamaku, pasti tawamu menghiasi malam ini. Pasti candamu membuat batin merekah. Suara jangkrik akan lebih merdu. Mungkin sekarang suamimu begitu menikmati candamu, hingga ia tak pernah mengenal kesedihan. Tapi, aku sendiri. Aku kesepian, Nining,” Paijo melenguh.
Sayap-sayap lamunannya terbang kian ke mari. Paijo lebih banyak melamun daripada mendengar suara jangkrik. Kedamaian suara cangkrik yang mestinya menyejukkan tak ada lagi. Sampailah Paijo pada wajah Dewi. “Wajahnya memang bagai Dewi dari kahyangan. Dewi, kau adalah dewi di desaku. Banyak lelaki tergila-gila padamu. Tapi kau jatuh hati padaku. Aku heran. Aku bangga. Andai kita menikah, betapa bahagianya aku. Malam-malam seperti ini kau duduk di sampingku. Aku tak jemu-jemu menikmati wajahmu diiringi senandung suara jangkrik. Aku akan memelukmu. Jiwa kita berselimut suara jangkrik.”
“Mas, suara jangkriknya sudah memberi kedamaian?” teriak Silvia dari dalam rumah. “Sudah malam, kita harus tidur. Kita harus kerja besok. Kedamaian ada di mana-mana. Hati kita sumber kedamaian,” suara Silvia makin keras.
“Jangkrik!!!” teriak Paijo, kesal.
“Suaramu sudah merusak kedamaianku.” (*)
Leo Agung Srie Gunawan SCJ, rohaniwan asal Palembang. Sedang Studi S-2 Filsafat di Universitas Gregoriana, Roma, dan tinggal di Italia sejak 2013.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI
Leave a Reply