Cerpen Sungging Raga (Media Indonesia, 07 Februari 2016)
GADIS itu sedang mengamati deretan bunga Peony yang berbaris di halaman kuil ketika seorang lelaki muda menyentuh pundaknya.
Sore itu adalah awal musim semi, setelah bulan-bulan dengan suhu setajam jarum es, kini bunga-bunga mulai bermekaran, kuncup bunga Peony adalah yang pertama menarik perhatian gadis itu.
“Aku membayangkan mereka berbaris menyambut keberuntungan tahun baru. Kelopaknya lebar dan berdesakan.”
“Bunganya lebih lebat dari tahun lalu. Mungkin Nenek Shin menanam yang baru.”
Lelaki muda itu senang karena si gadis tidak mempermasalahkan keterlambatannya. Padahal ia sudah terburu-buru karena sempat tertidur setelah menjaga ibunya yang sakit semenjak beberapa hari ini.
“Oh, apakah Ibumu sudah lebih baik?” tanya gadis itu, ia membersihkan telapak tangannya dari jejak tanah basah, kemudian bangkit dan mengibaskan ujung pakaiannya.
“Masih seperti kemarin.”
“Seharusnya kita bertemu di rumahmu.”
“Untuk apa? Kita sudah berjanji untuk membantu Nenek Shin. Sekarang kakakku yang menjaga Ibu. Jadi, tidak masalah.” Lelaki itu berdiri di bawah lonceng yang baru saja berbunyi karena angin yang tiba-tiba bertiup.
“Kau sudah bertemu Nenek di dalam?” tanya lelaki itu lagi.
“Belum. Ayo!”
Keduanya kemudian masuk ke bagian utama kuil. Ornamen merah terpasang merata hampir di setiap dindingnya. Aroma hio yang tengah menyala tercium hampir di seluruh ruangan, sebagian hio tersimpan di sebuah wadah bambu. Di samping altar, ada seorang wanita tua yang sedang duduk sambil membungkus sebuah lampion.
“Ah, kukira kalian tidak akan kemari,” ujar wanita tua itu ketika melihat si gadis menggandeng tangan lelaki muda itu. Pekerjaannya hampir selesai, tinggal beberapa gulung kertas lagi.
“Besar sekali lampion yang ini dibanding yang lainnya.”
“Ini akan digantungkan di tengah langit-langit.”
“Apa tidak ada yang membantu Nenek sejak tadi?”
Jasmine
Tumben tak ada kereta api, Kang Sungging…
jasminehandayani
Reblogged this on hanihandayani779.