“Lian yang mengerjakan lampion-lampion ini, tapi dia sedang ke kota mengirim surat.”
Di sisi kiri ruangan itu ada jendela yang terbuka, matahari sore membuat kotak cahaya sesuai bingkai jendela di permukaaan lantai yang terbuat dari papan kayu berwarna kecokelatan.
“Sebentar lagi senja selesai,” gumam gadis itu, ia menekan-nekan dagunya.
“Tinggal satu lampion ini. Tolong,” ucap Nenek Shin.
Gadis itu menarik sebuah kursi, menggesernya ke tengah. Lelaki itu kemudian naik. Namun tangannya tidak sampai.
“Bisa kau ambil kursi kecil yang di ujung itu? Kita harus menyusunnya.”
“Hati-hati, kau bisa jatuh…”
“Tidak, Nek, dia lelaki yang kuat. Aku yang menjamin masa depannya,” ucap si gadis.
Lelaki itu langsung tertawa sampai-sampai hampir kehilangan keseimbangan.
Gadis itu sangat mencintai kuil ini. Kuil yang hanya dijaga oleh Nenek Shin. Ketika pertama kali melihat kuil ini bersama ayahnya, gadis itu sudah jatuh cinta dengan suara lonceng lonceng kecil yang berpadu dengan suara angin yang diusik aliran sungai di belakangnya. Ada rumpun bambu dan hamparan rerumputan setinggi pinggangnya, disibak oleh jalan setapak yang berkerikil. Juga sepasang pohon Mei Hwa yang bisa berbunga sepanjang tahun. Ia seperti menemukan istana kecil di pedalaman.
Ketika itu ia masih berusia tujuh tahun. Saat itulah ia bertemu lelaki muda itu, yang usianya setahun lebih tua. Keluarga mereka sangat dekat, sebab memang tidak banyak keluarga yang menghuni daerah terpencil Changshu, desa yang dilingkari oleh busur bukit. Gadis kecil dan lelaki itu pun bersahabat. Namun mereka hanya berkunjung ke kuil ini pada tanggal 15 setiap bulan, juga saat menjelang tahun baru seperti sekarang. Itu pun mereka selalu datang bersama orangtuanya. Barulah di tahun ini, ketika si gadis telah berusia enam belas tahun, mereka untuk pertama kalinya datang ke kuil Nenek Shin berdua saja.
Di masa lalu, ketika banyak keluarga belum memiliki kuil sendiri, kuil ini begitu ramai. Nenek Shin bersama suaminya selalu sibuk menata tempat ini sehingga siap untuk menyambut keluarga yang hendak sembahyang. Beberapa di antara mereka bahkan menitipkan abu leluhur di sini. Namun sekarang banyak yang telah membuat kuil keluarga. Kuil ini makin sepi. Setelah suami Nenek Shin meninggal, praktis hanya dia dan Lian, anak semata wayangnya, yang selalu mengurus kuil.
Jasmine
Tumben tak ada kereta api, Kang Sungging…
jasminehandayani
Reblogged this on hanihandayani779.