Cerpen Novaldi Herman (Republika, 07 Februari 2016)
“Iah? Jariah? Ada apa?” Lamunan Jariah tampak menerawang. Sepikir baginya berlalu begitu saja. Ia tengah mengingat-ingat masa silam. Panggilan Putri Nolita membuyarkan itu.
“Ah! Tidak, tidak, Put,” ia menjawab sedikit tersenyum. “Hanya teringat beberapa kenangan, tak begitu berarti. Mari, kita lanjutkan. Sudah selesai rajutan yang engkau buat?”
“Belum. Masih sepintalan benang lagi. Ini, kerjakan saja dulu. Pasangkan sarong ke busa.”
Kedua gadis itu sibuk menyisihi satu per satu tumpukan kain dan buntalan benang blanket. Menjadi pengrajin selimut sepertinya akan dilakukan mereka selepas keluar nanti. Terlalu dingin untuk menghabiskan masa kegadisan mereka di dalam sana. Terlalu manis pula wajah dara mereka untuk dibuang lama-lama di balik jeruji lembaga permasyarakatan. Mereka harus segera kembali menjadi masyarakat yang sebenarnya.
***
Sudah tiga tahun sejak kejadian buruk itu tak sengaja diperbuat Jariah. Tak ada kesengajaan, kedua tangannya yang masih polos tak habis dipikirnya bisa melakukan itu. Seolah memang rencana takdir, ia pun tak sangka bisa jadi seperti ini.
Ia masih ingat saat mentari di ufuk timur pagi itu perlahan menyingsing. Selepas subuh dan membaca beberapa ayat, Jariah bergegas menuju dapur beratap rumbia di belakang rumah. Ia lumuri selembar kain dengan air hingga basahannya dirasa cukup menutupi tiap pori-pori. Basah dengan kadar yang cukup.
Ia lipat, ia bentuk sedemikian rupa dan menutupkannya ke mulutnya yang tipis dan hidungnya yang sedikit mancung, tampak bangir. Menjadi cara jitu mencegah masuknya bau menyengat dari asap ikan salai panggangannya. Ia masih memanggang dengan tungku kayu.
Ada dua alasan Jariah melakukan itu. Pertama, ia tak mau paru-parunya sesak oleh asap salai yang akan ia kerjai, meski kata orang salai buatannya tercium harum. Itu menurut orang saja. Baginya baunya terlalu menyekat. Membuat sakit hidung dan memancing lendir saja.
Kedua, ia tak mau wajah yang kata orang-orang, terutama beberapa pemuda kampung tampak mulus dan bersih itu hitam tersebab ditimpali asap tebal. Mengepul-ngepul adalah ciri khas tungku kayu. Ia sudah hafal betul betapa pekatnya asap.
Apalagi bila kayu pembakarannya lembab. Bisa jadi akan dilapisduanya kain penutup wajahnya.
Ia sibuk, sesekali merayu diri sendiri bahwa bersusah-susah seperti itu hanya sementara. Tak akan lama. Nasib akan berputar bak roda pedati. Turun-naik, berputar ganti berganti. Sabar beberapa waktu lagi, paling tidak dengan mempertahankan parasnya saat ini akan ada seorang kaya, muda atau pun duda yang datang melamarnya. Sebentar lagi.
Walau terkadang ia iri melihat Sumarni, Mala, Nurjani, Pitaloca atau beberapa kawan gadis seumurannya sudah ada saja yang melamar. Bahkan, Pitaloca sudah dua kali cerai, kedua mantan suaminya kaya. Tak sampai dapat anak, cerainya ia justru membuat Pitaloca menjadi janda banyak harta.
“Aku menikah itu, ya buat cerai lagi. Dapat gono-gini, kayalah aku,” celoteh Pitaloca saat mereka berkumpul sesama teman sebaya. Membuat iri Jariah semakin membuncah saja.
Lain lagi Mala. Tiap saat berganti mobil yang mengantarjemputnya. Apalagi hampir tiap pekan pula tasnya selalu baru. Mahal-mahal pula. Jelas itu bukanlah tas yang dijual di pasar malam yang sering Jariah sok pilih dan tawar harga, tapi ujung-ujungnya tak dibeli juga.
Begitulah, beragam perangai kawan-kawan seumuran Jariah. Ada-ada saja. Memang masih ada satu-dua orang yang mendapat jodoh dan kawin secara benar. Tapi, dasarnya Jariah menaruh prasang kalah yang menjadikan ia berpikiran curiga dan menduga-duga selalu pada kawan-kawannya. Tak peduli siapa, ia terus menuduh. Paling tidak, ia menuduh dalam hati.
***
Jariah masih sibuk duduk di bangku kecil bak pelana sambil menyiangi deretan salai yang ia susun rapi di depan panggangan. Asap yang mengepul perlahan, menerpa langit-langit dapur beratap rumbia. Ia tak mau dibilang miskin, hanya saja itulah tempat yang paling pas untuk mengasap. Paling pas untuk memperjuangkan paras manisnya di balik kain lembab yang diikatkan di depan mulut.
Satu per satu, daging-daging salai sudah kering. Ia bangkit, tak perlu ditiris tersebab sudah kering. Kelakuan si gadis muda ini, ia tunjuk-tunjuk kepala ikan itu dengan ujung telunjuknya sambil berujar, “Engkau ini hanya sementara. Aku akan cari sesiapa pemuda atau pun duda yang siap melamarku. Memangnya aku mau seumur hidup jadi perawan tua yang mengurusi kalian-kalian ini? Sebelum muncul keriput di sekitar pinggir luar mata, dahi dan pipiku, aku harus kawin.”
Benar. Sehari itu tiba-tiba saja muncul keajaiban. Siapa menduga, ia pun tak sempat menaruh harap kata-katanya segera terkabul. Takabur yang membawa berkah, bisa jadi seperti itu.
“Iah! Jariah! Ke sini lekas. Pakai kerudungmu. Ada tamu yang mencarimu,” usai ia beresi semua salaian yang ia kerjakan, panggilan itu keras datang dari arah rumah. Ibu memanggilnya.
“Iya! Sebentar, Bu. Ini Iah mau matikan tungku dulu.
“Ya sudah. Engkau sekalian buatkan teh manis hangat, ya. Pokoknya lekas, rapikan juga pakaianmu!”
Sorak dan panggilan di antara mereka saling bergantian satu sama lain. Di antara mereka berdua itu adalah hal yang biasa. Walau lebih sering ibunya yang kerap menyusulnya ke dapur untuk memberitahu walau sudah diteriaki sebelumnya. Langkah lembut kaum ibu seperti biasanya, segegas apa pun menyusul tetap saja terdengar ramah.
Kali ini giliran Jariahlah yang memenuhi panggilan. Segan, tiada mungkin tamu di depan rumah terpaksa ditinggali ibu. Setelah selesai, ia susul ke ruang tengah.
“Bu, ini tehnya. Taruh di mana?”
Ibunya tersenyum. Tamunya juga turut melempar senyum ke arah Jariah. Sedikit heran, lebih banyak kaget, sebagian berdebar dalam hati melihat tamu yang datang.
“Siapa dia?” Jariah melempar tanya dalam batin.
“Iah. Ini anak Pak Mulya, namanya Restu. Kenalkan, sana salaman dulu,” terang ibunya.
Ia taruh gelas itu di atas meja. Tiada tumpah, memang sengaja ia isikan gelas itu tak sampai terlalu penuh. Ada sebuku ujung jari bagian kosongnya. Bila ia gugup menaruh gelas seperti itu, meski gelas yang ia bawa bergetar hebat, tak keluar airnya dari sana sehingga tumpah. Cakap juga ia, walau dalam gugup.
“Jariah,” ujarnya sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada. Sepertinya bersalaman dengan yang bukan, ah, yang belum menjadi seorang yang boleh baginya adalah hal yang tak pantas. Pengajaran yang baik dari seorang ibu. Ibunya.
Sembari menunduk, ia betulkan kerudung yang terpasang di kepalanya yang sedikit terurai setelah sikapnya itu. Asyik saja ia benahi, lalu pergi ke belakang dengan langkah malu-malu. Ia coba mengendap. Menunggu, apakah obrolan ibunya dan Restu akan berlanjut.
***
Pagi itu tampak begitu menggusarkan jiwa. Setahun sudah sejak Jariah tak lagi gadis. Walau sudah menjadi seorang istri, tapi itu bukanlah seperti yang diidam-idamkannya. Bukan seperti yang ia cemburui dari Sumarni, Mala, Nurjani, Pitaloca, atau beberapa kawannya.
“Iah! Lekas engkau buatkan teh itu! Seduh lekas! Tak engkau lihat aku lelah dari semalam!”
“Lelah apanya? Bang! Abang selalu saja pulang larut. Tak berpikirkah abang sudah habis emas Iah digadai di meja tuak itu?”
“Ah! Kau tahu apa? Ha!” Tangan Restu hampir saja mendarat di pipi Jariah yang layu.
Hampir tiap pagi pula keributan itu mengisi rumah mereka. Memang tak lagi muka Jariah ditimpali asap salai. Tapi kali ini lebih sering telapak tangan lebar milik suaminya itu yang mengelus, bukan, menampar kasar mukanya. Lebih sering perih.
Jariah menangis. Berurai air matanya. Restu melihatnya sinis, berkerut dahinya ke mana-mana. Ia tinggal Jariah sendiri di dapur itu. Dapur yang memang sudah berdindingkan tembok dan beratapkan seng, tak lagi rumbia. Tapi bagi Jariah, itu tak lebih baik dari dapur yang pernah ia huni sebelumnya.
Jariah menyeduh. Tak banyak pikirnya. Ia taruh di atas nampan yang besertakan sendok dan pisau kecil. Ia bawa perlahan, ia hantar ke tempat Restu yang tengah duduk memantik-mantik korek.
Perlahan ia menunduk. Restu memalingkan muka, membuang jauh-jauh pandangannya dari si istri. Jariah lebih menunduk lagi. Diletakkannya perlahan, tak ada tumpahan teh yang keluar dari bibir gelas seperti biasanya.
Jariah masih menunduk. Diambilnya lekas pisau dapur yang turut dibawa. Jariah memantapkan genggamannya di ganggang pisau. Ia coba agak-agak, lekas, ia hujamkan tepat dan serta-merta ke dada Restu. Dua tangan.
“Ah!” Teriakan terdengar.
“Ah!” Jariah juga ikut berteriak.
***
Tetesan air keluar dari pinggiran matanya. Ia mulai meneteskannya tanpa sadar. Ia menangis.
“Iah? Jariah? Hai, Jariah?” Putri Nolita lagi-lagi membuyarkan lamunan Jariah.
“Ada apa? Sejak tadi engkau melamun, ada apa?”
“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa,” Jariah menjawab gelagapan.
Kenangan masa silam yang luar biasa ia sesali muncul kembali. Sedih, ia usapi air mata yang tak sengaja keluar itu. Ia tarik nafas dalam-dalam.
Ia ambil, ia kenakan kerudung yang ia jahit dari kain perca yang ada. Ia pasang rapi, ia benarkan sesekali saat kerudung itu menyibak, tak sengaja. (*)
Pekanbaru, 1 Januari 2016
Alumnus Universitas Riau ini menggemari karya sastra fiksi, terutama cerita pendek dan novel. Beberapa cerpennya meraih posisi puncak dalam beberapa perlombaan tingkat nasional serta diterbitkan di media massa, baik lokal dan nasional.
Novaldi Herman
Assalamualaikum. Baru pertama kali masuk ke lakonhidup.wordpress.com ini. Semoga berkelanjutan dan bermanfaat. 🙂