Cerpen Deddy Arsya (Koran Tempo, 13-14 Februari 2016)
IA hanya tahu ia begitu mengantuk di malam itu. Dan besoknya, matahari membangunkan matanya. Lalu tubuhnya menggeliat. Lalu… ia menyadari telah berada di atas sebatang pohon.
Ketika ia telah ditemukan dan diturunkan dari pohon itu, ayahnya berkata padanya: “Sekampung orang kau buat pusing. Semalaman kami mencarimu!”
Petromaks dinyalakan di gerbang kampung mulanya. Lalu menyebar ke mana-mana. Ibunya pasti hanya akan cemas. Neneknya hanya akan mengucap-ucap. Sementara ayahnya mendatangi orang-orang. Mengetuk pintu demi pintu di kampung itu.
Jalan menujumu seperti digelapkan oleh tenaga yang tak terpermanai. Kata salah seorang yang ikut mencarimu, ada angin beraroma lain yang entah datang dari puncak mana turun menjalar ke lembah datar di bawah sana. Dan kampung kalian berada di tubirnya. Angin itu datang menjelang senja. Tidakkah senja waktu yang berbahaya, seseorang mengingatnya.
Ke lembah mana ia pergi? Lembah itu. Nun, di tempat lubang-lubang itu, di tempat ia biasa bermain dengan kawan-kawannya, kadang mengembalakan sapinya ke sana.
Jangan ke situ, kata ibunya berkali-kali. Tapi di sana rumput-rumput tebal, sapi akan cepat kenyang jika digembalakan di sana.
Tetap jangan ke situ!
Ia dibawa entah siapa, terbang, melayang, entah ke mana, hingga telah begitu saja berada di atas sebatang pohon. Pohon yang mana? Itulah masalahnya. Tak seorang pun yang tahu ketika itu. Kalau tahu ke mana ia dibawa, tentu tak akan sesibuk itu orang-orang mencarinya malam itu.
Tapi ia tak pernah merasa dicari. Ia terbang. Mungkinkah ia terbang? Adakah ia merasa terbang? Ke mana ia terbang? Di antara orang-orang kampungnya itu pasti ada yang tahu. Bukankah neneknya pernah tahu? Ke lembah itukah ia dibawa terbang? Ke dalam lubang besar yang penuh bilik dan gang?
Ah, tidakkah ia ditemukan di atas pohon rambutan di halaman rumahnya sendiri di waktu pagi? Ia ditenggerkan di sana, di cabang yang paling tinggi, entah oleh siapa.
Neneknya tak henti mengucap-ucap. Ibunya menangisjuga. Orang-orang kian jauh mencarinya. Ke lembah itu mereka mencari? Apa memang ada lubang-lubang besar dan dalam di sana?
Kata ayah Mudi yang malam itu ikut mencari, lembah itu penuh kuburan. Kuburan orang-orang Republik masa agresi. Kuburan yang tak bertanda. Mereka digiring ke sana dan dibunuh dan disembelih. Makanya kau jangan ke sana. Benar ada lubang? Tidakkah itu hanya lubang Jepang yang kata orang-orang pula hanya semacam parit-parit tempat bertahan dari ancaman letusan mortir? Tidakkah itu hanya semacam bilik-bilik bawah tanah yang dibuat untuk menyembunyikan emas-emas Belanda ketika si Jepang tiba?
Apa jika kita mati akan dikuburkan di lembah itu? Apa di lembah itu benar ada kuburan? Tidak, tidak. Kalau kita mati, kita punya pandan-pekuburan sendiri. Kita tak perlu berkubur di lembah itu—seperti orang yang tidak punya suku. Neneknya menggerutu. Jadi tak ada yang berkubur di situ? Tetapi kata ayah Mudi, ada beberapa orang kampung kita yang berkubur di situ. Ketika dahulu, dahulu sekali.
Ayah Mudi orang jahat. Jangan bicara dengan dia lagi. Ayah Mudi pandai membuat gasing. Kau dibuatkannya? Tak mungkin kau dibuatkannya. Jangan dekat-dekat padanya, begitulah kata ibunya.
Ayah Mudi membuatkannya gasing, benar, gasing kayu. Sekali gasingnya pecah dua. Ketika bermain gasing, paku gasing Mudi tertancap di kepala gasingnya.
Siapa yang membuatkan gasingmu, Mudi?
Ayah, kata Mudi.
Maka ia minta dibuatkan gasing seperti gasing Mudi.
Kini gasing Mudi yang pecah dihantam gasingnya—gasing buatan ayah Mudi sendiri.
Benar kan, hebat ayahku membuat gasing?
Mudi tertawa-tawa bangga. Tidakkah Mudi marah sebenarnya, karena gasingnya belah dua? Tidak, tidak. Sebab ayahnya tentu akan membuatkan lagi untuknya. Terkenallah ayah Mudi sebagai pembuat gasing. Sering ia dan teman-temannya bermain gasing di halaman rumah Mudi yang luas.
Tetapi tahukah kau kalau ayah Mudi seorang pemutar gasing yang sebenarnya, kata neneknya setengah berbisik padanya. Sekali ibunya juga melarangnya untuk tidak lagi bermain ke rumah Mudi, juga ke lembah itu. Ayah Mudi membuat gasing dari tengkorak manusia yang diambil dari kuburan-kuburan tak bertanda di lembah itu. Ayah Mudi di malam-malam tertentu sering datang ke lembah itu. Ayah Mudi menggali-gali tanah. Mencari kepalakah?
Tetapi ia dan teman-temannya (termasuk Mudi sendiri tentu saja) tetap saja ke lembah itu. Kadang bermain sepakbola sambil mengembalakan sapinya. Tidakkah setiap bocah seumurannya di kampung itu akan diberi tanggung jawab mengembalakan seekor sapi? Mudi, apakah kau juga dilarang ayahmu bermain ke sini?
Ia dibawa entah oleh siapa. Bukan oleh ayah Mudi, bukan. Ya, di hari kelam. Tapi ia tak merasakan apa-apa. Ia merasa ia hanya begitu mengantuk di malam itu. Ia tak ingat malam apa tepatnya. Yang jelas ia ingat, di tahun-tahun setelahnya, ayahnya hilang. Tepatnya, tak pulang-pulang setelah pergi. Rumah tak menjaga ayah. Kata nenek, seseorang telah membawa ayahnya. Lalu kakeknya turut hilang. Dan pamannya seminggu setelah itu. Tapi tidak nenek. Tidak juga ibu. Kenapa hanya laki-laki saja yang dibawa? Kenapa orang dewasa juga bisa dibawa oleh entah siapa, tidak anak-anak saja? Lalu kakak laki-lakinya beberapa minggu kemudian pun lenyap. Seperti berkirap secara rahasia. Ke mana mereka sebenarnya? Apa mereka tahu akan dibawa ke mana?
Ke lembah itukah? Benar, ke lembah itu?
Lalu orang-orang dewasa di kampung itu semakin banyak hilang. Jika ia bertanya pada nenek ke mana ayah dan kakak laki-lakinya pergi, ke mana paman dan kakeknya dibawa, tentulah jawaban nenek akan menunjuk, dengan mata sebam, selalu ke arah lembah. Di lembah itukah mereka berumah?
Mudi, apakah ayahmu juga hilang lenyap bagai berkirap? (*)
Padang, 2016
Deddy Arsya, tinggal di Sumatera Barat. Buku puisinya, Odong-odong Fort de Kock (2013).
Leave a Reply