Cerpen Handry TM (Suara Merdeka, 14 Februari 2016)
SUATU sore di akhir Januari. Panas bukan main. Perjalanan jauh dari JFK International Airport menuju Schiphol, Amstredam, sungguh melelahkan. Perjalanan ditempuh tengah malam, dengan pesawat yang penuh penumpang.
Udara dingin bukan main. Semburan AC pesawat beradu dengan pikiran yang kacau, mengakibatkan keringatnya memercik keluar.
“Thian, cepatlah pulang! Apapun situasinya. Niu membutuhkanmu di hari-hari terakhir,” ungkap Theresa lewat pesan pendeknya, beberapa jam ketika Thian sudah mendarat di Schiphol.
Belum sempat beristirahat, apalagi bebenah apartemen, Thian mesti terbang kembali ke New York, keesokan harinya. Perjalanan bolak-balik sepanjang enam jam.
Ada persoalan yang pelik sekali, bahkan bisa dibilang kusut dan susah diurai. Thian harus memberi dorongan hidup bagi Anneke Niu. Saat ini Anneke Niu sedang terbaring kritis di Bellevue Hospital.
Perjalanan Amsterdam-New York sebenarnya bukan rute jauh. Bagi Thian, bolak-balik sekali dalam sebulan adalah kebiasaan rutin, apalagi sudah dilakukannya hampir enam bulan belakangan. Lantaran terbebani tanggung jawab terhadap penderitaan adik perempuannya itulah, perjalanan itu harus dilakukan. Sangat bisa dipahami kalau pikirannya terpusat pada si bungsu itu.
Akhirnya pulanglah Thian ke New York. Tiba di pusat kota hampir pagi. Bus berhenti tidak jauh dari rumah sakit, tepatnya di 462 First Avenue. Ia segera turun, langkahnya dipercepat, nafasnya memburu.
“Bagaimana keadaannya?” berondong Thian pada Theresa ketika gadis bermata segaris itu menyambutnya di bibir pintu. Theresa tidak langsung menjawab, mulutnya terkunci rapat seperti bisu. Cahaya matanya tertangkap buram dan kosong.
“Semalam sempat masuk ICU, paru-parunya parah sekali. Sejak empat hari lalu, semalamlah yang paling mengkhawatirkan,” katanya dengan kalimat panjang.
Thian menangkap kesan, Theresa sedang berperang batin serius soal penyakit Niu. Thian menghirup nafas cukup dalam, matanya berkunang-kunang, keringat memercik deras di keningnya.
“Ia di lantai empat,” sambung Theresa sembari terlebih dahulu melangkah, meninggalkan Thian.
Thian mulai sadar, Theresalah yang selama ini mengurusi adiknya. Ia termasuk perempuan polos dan setia. Dalam hati Thian sering mengutuki diri sendiri, kenapa rasa sayangnya terhadap Theresa justru berpamrih. Mungkin Theresia bukan satu-satunya gadis terbaik yang pernah ditemuinya. Tapi semakin lama, semakin memahami bagaimana caranya berbagi kasih sayang terhadap perempuan.
Sejak mendapat peluang studi ke Amsterdam, seluruh keluarganya di New York bergantung pada Theresa. Ibu Thian yang udah mulai renta, sehari-hari berdagang makanan di Bayard Street, kawasan pecinan. Sang ayah udah lama meninggal dunia.
Itu dia yang membuat Thian semakin mantap, kelak ingin hidup bersama Theresa.
Sebuah pintu di lantai empat terbuka pelan. Terdengar suara berderit lantaran tua. Dari separoh kuakan itu Thian telah melihat adiknya. Niu terbaring lemah di ranjangnya.
“Thian datang,” sambut Niu dengan suara lemah, ketika melihat kakaknya.
Thian tersenyum, digenggamnya tangan Niu yang dingin dan tipis. Yang punya tangan Cuma menatap kosong. Dari sorot mata itu, Niu seperti ingin bicara panjang. Namun bibirnya cuma bergerak lemah.
“Maaf, Niu, aku terlambat datang. Sekarang Niu sudah baikan.”
Gadis belasan tahun itu mengangguk senang. Bibir pucatnya gemetaran. Dengan nafas yang berat, Niu berusaha berkata:
“Aku rindu padamu, Thian, sekali waktu bolehkah merayakan ulang tahun bersamamu? Bolehkah kuminta hadiah darimu? Kalau tidak dalam kondisi sakit, rasanya malah sulit mengharap semua itu.”
Hening lama, masing-masing saling merasakan suasana pilu.
“Hanya kamu milikku. Ibu kita telah renta, tidak sannggup melakukan apa-apa. Katakan iya, Thian,” Niu merajuk. Tentu sebuah perjuangan berat bisa berbicara runtut seperti ini.
Tiba-tiba batuk berat menyerangnya. Seisi ruangan dibuat tegang. Kepanikan semakin memuncak ketika dibarengi gumpalan darah segar dari mulutnya. Buru-buru Theresa menyeka dengan saptu tangannya.
“Jangan banyak bicara dulu, Niu. Belum boleh bicara lama-lama,” Theresa mengingatkan, sembari mengangkat kepala Niu pada posisi yang lebih nyaman.
Jam dinding berdetak keras sekali. Jarumnya merambat perlahan ke arah kanan. Seperti denyut jantung Thian juga. Tak sanggup lagi ia bayangkan betapa menderitanya Niu. Luka yang meruyak paru-parunya, mungkin sepedih luka di hatinya.
Niu menangis dengan nafas tersengal, Theresa pun berkaca-kaca. Thian terlongong untuk beberapa saat. Ketiganya mematung dan tidak melakukan apa-apa.
“Sebaiknya kau pulang, Thian. Ibu sudah menunggu. Nanti sore kau kesini lagi, menungguiku sampai pagi,” ucap Niu.
Thian mengiyakan. Seluruh pikirannya terbuntal oleh perasaan yang tidak karuan.
***
Sore hari Thian kembali ke rumah sakit. Sebelum menemui Niu, seorang dokter mencegatnya di lorong rumah sakit. Entah dengan cara bagaimana, Thian harus menerima kata-kata bersayap dari dokter itu.
“Anneke Niu sangat butuh orang-orang terdekat. Tunggui dia, jangan sampai terlambat,” kata dokter.
Theresa sudah berada di ruangan Niu. Ia sengaja keluar begitu Thian tiba.
“Bawa sesuatu untukku?” tanya Niu.
“Iya. Tujuh belas lilin kecil untuk perayaan ulang tahunmu malam ini.”
“Di sini?”
Thian mengangguk.
“Tanpa ibu berada di sini?”
“Ibu kurang enak badan, kasihan kalau ikut menungguimu semalaman. O, iya, ibu titip salam ke kamu. Pesannya, kamu tidak boleh cengeng.”
Niu tersenyum senang.
“Hanya aku dan dirimu?”
“Iya. Theresa istirahat di luar. Nanti juga menyusul masuk.”
“O.”
“Aku memang tidak terlalu berharap ada orang lain di perayaan ulang tahunku selain kamu.”
“Kenapa?”
“Ini malam terakhir.”
“Tidak ada malam terakhir itu.” Thian memprotes. Ia takut yang diucapkan Niu sebuah pertanda.
Pandangan Niu bergeser ke langit-langit kamar.
“Setiap malam, setiap menjelang tidur, aku selalu digelisahkan oleh itu. Mungkin inilah malam terakhirku. Setiap kali bangun pagi, ah ternyata masih ada matahari. Di saat-saat seperti itulah kutemui kebahagiaan yang justru menggelisahkan.”
“Kenapa menggelisahkan?”
“Setiap pagi, bibirku selalu bergumam: barangkali inilah pagi terakhirku.”
“Jangan teruskan kata-kata itu. Malam ini aku akan menyenandungkan sebuah lagu bagus untukmu.”
“Komposisi Beethoven pun tak akan mengubah hidupku menjadi indah. Aku suka lagumu yang dinyanyikan di tahun lalu, di hari ulang tahunku ke enambelas.”
“Yang mana, ya? Masih ingat kisah lagu itu?”
“Seorang gadis sedang sangat menderita oleh penantiannya yang tidak kunjung tiba. Sayang.”
“Sayang?”
“Epilog dari lagu itu, si gadis berakhir dengan kematiannya.”
“Niu!!”
Niu menelan ludah, menahan batuk yang terus menggumpal.
Tar kecil dari Thian masih terletak di meja. Lilin berbentuk angka 17 dipasang di atas tart. Thian menyulut lilinnya satu persatu.
Niu tersenyum, Thian menatap ragu adiknya.
“Sekarang kamu yang meniup,” perintah Thian.
Niu menggeleng. “Mana mungkin? Tangan dan kakiku terpaku jarum-jarum sialan. Thian yang meniup, kulihat dari sini,” suaranya lirih.
Thian pun meniup. Nyala lilin lenyap seketika.
Dipotong tart kecil itu, satu piring untuk Niu dan sepiring lagi untuk Thian.
“Kita pesta kecil-kecilan,” Thian terharu mengatakan.
Sadar bahwa Niu tak mungkin bisa makan sendiri, perlahan-lahan Thian menyuapinya dengan mesra.
Bel akhir bezoek telah terdengar. Thian terhenyak, ia seperti orang kebingungan.
“Aku tak boleh menungguimu sampai pagi. Dokter melarang aku terus-menerus di sini. Aku akan duduk-duduk di lobi.”
Mendengar itu muka Niu menunduk. Ia kecewa terhadap suasana bahagia yang cepat berlalu.
“Tapi ini bukan malam terakhir, kan?”
Thian menggeleng cepat. Dielusnya rambut Niu agak ke belakang.
“Setiap kita pasti memiliki malam terakhir, tapi malam terakhir itu tidak sekarang.”
Seorang Suster memperingatkan agar Thian segera keluar ruangan.
“Ajak Ibu dan Theresa ke sini esok. Akan kubuat suasana di sini seperti pesta.”
Thian mengangguk, lantas pergi.
Ada sunyi yang Niu rasa. Terutama setelah semuanya berlalu dan lampu kamar dimatikan. Ia berusaha tidur lelap, nyaman dan damai. Seperti sedang melayang di awan yang putih oleh bergumpal-gumpal. Gerimis kecil jatuh di gaunnya yang serba putih satin. Tubuhnya melayang ringan, Niu meloncat kesana-kemari. Dari awan yang satu ke awan yang lain, tiada henti.
***
DI pagi hari dilihatnya Thian memasuki ruangan ini. Ia tidak sendiri. Ada Theresa dan Ibu juga. Tentu kedatangan mereka disambut Niu dengan senyuman. Tapi, astaga, ada yang tidak bisa bergerak, bibir menjadi seperti kaku berucap. Tidak cuma itu, seluruh persendiannya serasa ngilu. Dicobanya sekali lagi, tak ada gerakan apa pun pada dirinya.
Rasa frustrasi Niu semakin memuncak ketika tiba-tiba Theresa menubruk tubuhnya, memeluk erat sambil menangis sejadinya. Ibu dan Thian terdiam di belakang Theresa.
“Heh, apa-apaan ini? Kenapa kalian membisuuu???! Kenapa Theresa menangis?”
Teriakan Niu yang keras itu seakan tidak terdengar oleh siapa pun.
Akhirnya Niu bangkit, namun seperti ada tali kuat yang melilit tubuhnya. Ia meronta, namun seluruh tubuhnya kaku seperti es.
Padahal Niu ingin mereka mengucapkan selamat pagi dan selamat ulang tahun padanya. Yang ia temui justru situasi dimana perasaannya menjadi kecut. Theresa dan Ibu pun kini menangis.
Seorang dokter dan dua suster memeriksa tubuhnya sangat seksama. Ingin rasanya meludahi mereka dan memaki sejadinya. Tapi tak setetes ludah pun yang masih tersisa.
Dokter menggeleng, dengus nafasnya dihela panjang. Seorang suster menutup seluruh tubuhnya dengan selimut panjang. Pada adegan itu Niu menangis sekuat-kuatnya. Ia merasa diperlakukan serupa boneka. Apalagi ketika seorang petugas memindah tubuhnya dengan kereta lain ke sebuah ruangan yang sangat asing buatnya. Bau formalin, lembab dan dingin ia rasa di ruangan itu.
Di sebelahnya, terbujur sejumlah wajah pias dan pucat seperti dirinya. Dari wajah-wajah itu, ia mendengar teriakan-teriakan pilu. Rata-rata, mereka seperti meronta. Namun ada yang membelenggu kuat kakinya.
“Bebaskan aku, bebaskan kami semuaaaa!!!! Kami tidak ingin matiiii!!!”
Teriakan itu membentur dinding kamar, gemanya memantul seisi ruang. Namun tak seorang pun mendengar.
Petugas pun membersihkan tubuhnya. Setelah semua selesai, Niu dibawa pulang dengan ambulans. Ia tak habis pikir, bukankah ia belum sembuh benar? Kenapa dipaksa pulang? Sepanjang perjalanan, tangisnya meledak. Ia masih terus berteriak, memanggili nama Thian, ibu dan Theresa. Tapi ketiganya seperti tidak mendengar apa-apa. Hanya tatapan mata mereka yang sedih ke arahnya.
“Niu anak baik, kenapa secapat ini meninggalkan kita?” komentar seseorang yang menjemput kepulangannya.
“Niu itu gadis yang cantik dan cerdas. Puisi-puisinya sering diunggah di website,” ucap Bofa, sahabatnya, saat menemui Niu di rumahnya.
Tetap saja aneh. Mereka semua kini sudah berada di rumah dan meratapi kepulangannya.
Hari berikutnya, sebuah nisan batu tertancap makam.
“Anneke Niu, lahir 30 Januari, wafat: 31 Januari.”
Ketika itu langit mendung, hari menjelang sore. Gerimis turun di awal tahun. (92)
Handry TM, lahir dan bermukim di Semarang. Ia dikenal sebagai penyair, cerpenis dan novelis yang produktif. Karyanya baik puisi, cerpen dan novel dimuat di berbagai media massa nasional, juga telah diterbitkan dalam bentuk kumpulan puisi, cerpen dan novel. (*)
Leave a Reply