Yulhasni

Ransel Merah Kardi Keling

0
(0)

Cerpen Yulhasni (Media Indonesia, 14 Februari 2016)

Ransel Merah Kardi Keling ilustrasi Media Indonesia

Ransel Merah Kardi Keling ilustrasi Media Indonesia

DI kampungku, siapa yang tak mengenal Kardi. Pria bertubuh pendek dengan tas kecil yang selalu disandang di bahu kiri. Karena kulitnya hitam legam, Kardi sering dipanggil ‘Kardi Keling’. Kampungku berjarak 10 km dari ibu kota kabupaten. Jika ingin bertemu Kardi, orang cukup bertanya kepada pemilik warung di sepanjang jalan menuju kampungku. “Kardi Keling? Di sebelah masjid ada rumah warna cokelat tua. Ada dua parabola di atapnya. Pukul sepuluh pagi biasanya ia masih di rumah.”

Orang selalu mencari Kardi. Tak mengenal waktu. Pukul tiga dini hari pun Kardi melayani orang yang hendak menjumpainya. Tentu saja itu tidak gratis. Pekerjaan Kardi tidak jelas. Kadang ia mengaku wartawan. Di lain tempat, ia dikenal sebagai tokoh pemuda. Urusan agama, Kardi didaulat sebagai seksi hubungan antarlembaga di organisasi keagamaan kampung kami. Jika urusan perceraian, Kardi bisa menuntaskannya dalam tempo dua hari. “Perkara pisah ranjang, mestinya tidak berbelit-belit,” kata Kardi sambil menyelipkan selembar uang dua puluh ribu pada seorang pegawai kantor di satu instansi yang akrab disebut ‘kantor urusan perceraian’. Kardi bahkan bisa mendapatkan sepetak lahan kuburan di kota untuk ia jual. Karena itulah Kardi sering dijuluki ‘Aduhai’, alias Agen Dunia Akhirat.

“Kardi Keling sekarang di Jakarta,” aku menyela percakapan di kedai kopi Pak Isman menjelang senja. Orang-orang di sana sibuk bertanya karena sudah hampir sepekan Kardi tidak singgah. Biasanya dia selalu membayar utang di kedai sebelum Magrib. Aku hanya memindahkan kabar dari istrinya, dan menuntaskan pertanyaanku ketika Kardi meminjam ransel merah di suatu malam menjelang pergantian tahun.

“Hebat. Cita-citanya kesampaian.”

“Sudah lama ia hendak ke ibu kota. Ia selalu mengeluh setiap kali temannya menyuruh datang.”

“Ia tak hendak. Tapi terpaksa,” jawabku.

Orang di sekeliling menatapku heran. Mungkin jawabanku itu pertanda tak baik. Tapi mereka enggan meneruskan kecurigaan. Sejak sepekan ini Kardi tidak ada lagi di kampungku. Setumpuk berkas masalah menggunung di meja ruang tamu yang juga sekaligus meja kerjanya. Kata Rustini istrinya, Kardi pamit hendak ke Jakarta meski ia tak tahu untuk urusan apa. Kardi memang tidak suka istrinya ikut campur urusan pekerjaan. Dua hari sekali Kardi menelepon Rustini.

Namun, itu dia. Kepergian Kardi meninggalkan masalah baru di kampung kami.

Baca juga  KAU SEDANG MEMBACA APA

“KTP saya sudah tiga bulan di kantor lurah.”

“Bagaimana mau gratis SPP anak-anak. Surat miskin saja harus bayar.”

“Pelantikan organisasi ditunda. Tak ada uang sewa pengeras suara.”

“Kasihan Wati. Suaminya sampai sekarang belum keluar dari tahanan.”

“Kalau ada Kardi, pasti beres!”

Orang-orang di kampung kami hanya dapat kabar Kardi di Jakarta. Tapi tidak seorang pun yang dapat memastikan kapan ia kembali. Bagiku itu tidak penting. Aku mulai tak nyaman bepergian tanpa ransel merah, kado ulang tahun dari Fathonah, anak toke getah yang sudah kupacari hampir tiga tahun. Apalagi setiap kami bepergian, ia selalu menanyakan ransel merah itu.

“Kita tunggu saja. Semoga besok atau lusa Kardi pulang,” begitulah aku selalu menghibur orang kampung jika mereka mulai bertanya tentang Kardi. Aku tahu mereka pasti menilai ucapanku hanya angin surga.

“Menunggu yang tak pasti, lebih baik kita kerjakan sendiri.”

“Caranya?”

Matahari sudah mendekati ufuk. Perbincangan di tiap warung, pasar, balai pertemuan tidak pernah berhasil menuntaskan setiap pertanyaan. Berhenti dalam bisu. Bingung dalam keyakinan yang semu. Sosok Kardi menjadi teman khayalan untuk urusan yang selalu berhenti di jalur birokrasi yang berbelit-belit. Berusaha sama saja artinya menggadaikan waktu sia-sia. Tapi tidak untuk seorang Kardi. Tas kecil yang dia sandang di bahu kiri hanya berisi catatan kecil dan sebuah pena, tapi bisa memangkas waktu.

“Kita butuh Kardi. Siapa pun di antara kita harus bisa membawa dia pulang,” entah kenapa tiap warung selalu menaruh harap. Kecemasan bercampur kebimbangan. Tak seorang pun yang tahu keberadaan Kardi di Jakarta. Tapi tidak seorang pun yang tak ingin Kardi pulang. Mereka butuh Kardi. Mereka ingin melihat tas kecil dan sebuah pena menari-nari di secarik kertas sebagai pertanda Kardi sudah bekerja. Tapi, itu sepekan sejak Kardi pamit ke istrinya untuk urusan yang sama sekali dia tidak diberitahu. Sekali lagi, bagiku itu tidak penting. Ransel merah yang dipinjam Kardi mulai menuai pertengkaranku dengan Fathonah. Ia mulai menuduh aku menjual ransel itu.

“Ini pertanda buruk. Kardi tidak boleh lenyap begitu saja.”

“Ya, itu bisa jadi bencana buat kampung kita.”

Sudah hari kelima bulan ketiga Kardi tidak berkabar. Rustini justru tidak menaruh cemas. Tiap bulan ia selalu mengambil uang ke kantor pos kiriman Kardi dari satu tempat di Jakarta yang tidak ia ketahui. Rumah bercat cokelat itu seperti tidak menyimpan kerinduan pada lelaki berkulit hitam itu. Rustini menjalani kehidupan normal seperti ketika Kardi masih berada di kampung kami.

Baca juga  Penjara Kedua

“Kardi pasti kembali,” Rustini menghibur orang kampung yang saban waktu selalu menanyakan kabar suaminya. Di terminal bus, orang-orang selalu berpesan pada sopir dan kernet jika mendapat kabar tentang keberadaan Kardi, segeralah berkabar. Walau kabar itu hanya selintas. Sama seperti aku, kabar itu penting untuk sekadar mengetahui nasib ransel merah yang dipinjam Kardi.

“Di pelabuhan penyeberangan, aku sempat mendengar orang-orang menyebut nama itu. Tapi ternyata itu seorang bocah yang kehilangan orang tua.”

“Sudah dipastikan Kardi memang benar ke Jakarta?”

“Mungkin dia masih di kota ini.”

“Kita tunggu saja, besok atau lusa Kardi pulang.”

Selalu kalimat itu yang bisa kusampaikan ketika pembicaraan tentang Kardi sudah masuk fase kepasrahan. Tidak ada gairah kehidupan setiap aku berpapasan dengan orang-orang di kampung kami. Sawah terlantar. Pasar sepi pembeli. Pesta perkawinan kini tanpa musik. Anak-anak enggan bermain di bulan purnama. Sesepi inikah dunia tanpa Kardi? Kerinduan mereka menyatu dengan kegelisahanku menunggu kepastian ransel merah.

Sinetron berganti berita. Orang di kampung kami sudah menghafal pukul berapa siaran berita di setiap televisi swasta. Mereka bergantian menonton itu agar tidak terlewatkan. Barangkali saja Kardi muncul di televisi. Berita penangkapan teroris menjadi tontonan wajib. Berharap-harap cemas semoga Kardi bukan satu di antara mereka. Tapi Kardi tak muncul-muncul.

Nama Kardi menjadi abadi. Bidan bersalin mencatat lima belas orok lahir dengan nama Kardi. Camat mengusulkan jalan lintas ke kampung kami berganti nama Kardi. Di awal tahun pemilihan calon anggota dewan, para Caleg memasang foto mereka berdampingan dengan foto Kardi. Sepuluh dari dua belas Caleg lolos ke parlemen. Calon Bupati petahana tidak mau kalah. Ia berkampanye memasang foto Kardi. “Kardi adalah teman main catur saya di kantor.” Sebegitu pentingkah Kardi bagi kampung kami? Sementara telah hampir lima tahun sejak Kardi pergi dari kampung kami, ia tak berkabar. Aku mulai putus asa. Mungkin saja ransel merah itu sudah digadaikan Kardi untuk biaya hidup di Jakarta.

Ke manakah Kardi pergi? Mengapa ia tak kunjung kembali? Aku mulai ragu dengan kalimat hiburan “Tunggu saja. Besok atau lusa Kardi pasti kembali.” Benarkah Kardi akan kembali. Atau jangan-jangan Kardi sudah mati. Tapi istrinya selalu mengambil kiriman uang di kantor pos pertanda Kardi masih hidup. Tapi di mana? Mengapa ia tak mau kembali ke kampung kami, atau setidaknya berkirim kabar walau sekadar pesan singkat.

Baca juga  Kartu Kilat ke Surga

“Mulai besok, di antara kita harus ada yang ke Jakarta. Di resi pengiriman uang untuk istrinya pasti tertulis alamat pengirim,” Pak Camat memimpin rapat berjudul Mencari Kardi.

“Minggu ini giliran Abrar.”

Rapat singkat dan telah memutuskan pemuda putus sekolah itu melacak Kardi di Jakarta. Seperti yang hendak dicari, sepekan setelah kepergiannya, Abrar tidak berkabar. Menunggu berita ransel merah dan sepatu kulit pemberian Fathonah yang sudah menyusul bersama kepergian Abrar. Bibit pertengkaran bertambah. Aku nyaris tidak bisa berkata saat Fathonah kawin dengan pria lain karena menganggap aku menyia-nyiakan pemberiannya. Ransel merah dan sepatu kulit yang kini lenyap bersama kepergian Kardi dan Abrar yang tak kunjung ada berita.

“Mahmud. Pergilah menyusul Abrar. Mungkin saja dia tersesat atau kehabisan uang di Jakarta!”

Lelaki bercambang dengan jalan setengah mengangkang bertarung ke ibukota menelusuri sesuatu yang ia sendiri tidak tahu harus mencari ke mana, selain secarik kertas fotokopian resi pengiriman uang Kardi. Aku menitipkan uang seratus ribu rupiah dan sehelai baju kaos sebagai isyarat agar Mahmud membawa pulang ransel merah dan sepatu kulitku.

“Sudah ada berita dari Mahmud?” tanyaku pada Pak Camat sebulan setelah kepergian laki-laki itu.

“Ubai Dillah, Fachrurrozy, dan terakhir Naldi sudah berangkat tanpa kabar apa pun sampai sekarang.” Itu penjelasan Pak Camat. Tapi bukan untuk menjawab kegusaranku. Di ruang kerjanya, sore ketika hujan rintik-rintik, lima pria berseragam hitam mencatat dan merekam setiap kalimat Pak Camat.

Pandanganku nanar. Kedatangan mereka seolah hendak menjelaskan tayangan berita di layar kaca. Ransel merah, sepatu, dan baju kaos, bersama enam pria yang tergeletak bersimbah darah di depan sebuah halte bus di jalan protokol ibu kota… (*)

 

 

2016

Yulhasni, cerpenis dan pekerja teater. Bermukim di Medan. Buku terkininya, Bunga Layu di Bandar Baru (2015)

 

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id @Cerpen_MI

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!