Cerpen Ayi Jufridar (Media Indonesia, 21 Februari 2016)
WARGA menyebutnya begitu karena dari kejauhan ia menyerupai wajah orang berduka. Dari jalan kampung, dua butir batu raksasa terlihat seperti biji mata. Di bawahnya, terdapat bagian gundul melengkung ke atas, serupa mulut manusia. Entah siapa yang menamainya demikian. Tapi tanyakanlah kepada orang tertua kampung, pasti ia mengaku sejak kecil mengenal daerah itu sebagai Bukit Duka.
Kawasan itu jarang dijamah manusia karena dianggap angker. Begitu kabar yang beredar. Saat operasi militer, Bukti Duka kian menakutkan karena dibangun posko di kaki bukit. Di sana sering terjadi baku tembak antara tentara dan gerilyawan. Setelah tembak-menembak berlalu, tentara menggelar razia. Setiap orang yang melintas diperiksa. Semua bawaan digeledah. Bila ada yang mencurigakan, orang itu masuk ke dalam pos untuk diperiksa lebih lanjut. Sudah banyak yang dibawa, diinterogasi, dan tak pernah kembali. Jumlahnya tak diketahui pasti.
Itu sudah menjadi kisah pilu masa lalu yang dikenang dalam cerita di warung kopi. Kini Bukit Duka menjadi bukit gembira setelah warga menemukan harta karun. Tanah kuning itu mengandung batu biosolar, batu sulaiman, giok lumut, belimbing, solar madu, cempaka madu, indocress, pancawarna, dan sebagainya.
Mulanya, para pencari giok berasal dari kampung di bawah kaki Bukit Duka. Pemberitaan yang gencar di media massa membuat Bukit Duka ramai didatangi orang. Pemerintah setempat—seperti biasa—lamban bertindak. Setelah nyaris terjadi baku hantam akibat rebutan giok, baru dibangun pos pengamanan di jalan masuk dan keluar. Saat itulah muncul sebutan ‘pendatang’ dan ‘warga lokal’ untuk membedakan penduduk sekitar kampung Bukit Duka dengan warga luar daerah.
Setelah ribut-ribut, petugas mendata penambang. Kemudian mendata batunya untuk dikenai retribusi. Pendataan manusia dan giok tidak menimbulkan masalah. Namun, pengutipan retribusi menimbulkan keributan karena dianggap memberatkan. Bukit Duka sempat ditutup dan dijaga polisi. Sebulan kemudian, penambang kembali. Kini polisi tak ada lagi di sana.
***
Sekelompok pendatang diam-diam menjelajahi tempat lebih dalam. Di sana, di antara ceruk seberang bukit, mereka menemukan batu mulia yang mencuat dari permukaan tanah. Belum diasah, giok itu sudah berkilauan ditimpa sinar matahari yang menerobos melalui sela-sela dedaunan. Mereka pikir, batu itu hanya sekepalan orang dewasa. Tapi setelah dipacul sampai dalam, ternyata batu itu sangat besar. Ujung pacul membentur benda keras.
Mereka menimbun batu giok berwarna madu itu dengan tanah. “Selimuti lagi dengan dedaunan,” seorang di antara mereka berkata sambil meraup dedaunan kering di sekitarnya. Dia menutup tanah basah itu dengan daun-daun kering. Empat kawannya mengikuti. Tanah basah kini tak terlihat lagi. Mereka mengatur rencana membawa giok itu tanpa keributan.
***
Malamnya mereka kembali dengan peralatan lebih lengkap. Mereka membuat lubang dengan cangkul di samping giok. Semakin dalam, cangkul masih saja membentur benda keras. Setelah menggali sedalam satu meter, mereka belum juga sampai di dasar batu.
“Giok ini besar sekali.”
“Mungkin 20 ton ada, ya?”
“Bisa jadi lebih.”
“Kita akan kaya raya.”
“Huss, jangan mikir itu dulu. Pikirkan gimana kita bawa giok ini keluar.”
Percakapan berlangsung dalam gelap. Mereka sadar, tak mungkin mengangkat giok itu tanpa bantuan alat berat. Tapi mendatangkan alat berat akan mengundang perhatian. Membawa masuk alat berat sampai ke ceruk bukit adalah pekerjaan paling berat.
“Kita pahat saja batu ini sedikit demi sedikit.”
Mereka sepakat. Ujung-ujung pahat yang tajam mereka lekatkan di lekukan batu agar mudah terbelah. Untuk meredam suara, mereka menggunakan dedaunan dan tanah di dasar batu. Dentuman masih terdengar ketika godam menghantam gagang pahat, tapi tak senyaring tanpa peredam alami.
Mereka pulang dengan beberapa genggam batu giok madu dalam tas masing-masing. Giok raksasa itu ditutupi kembali dengan tanah dan dedaunan kering. “Malam besok kita kembali dengan peralatan lebih lengkap.”
“Ya, agar lebih banyak giok yang bisa kita bawa.”
***
Selepas magrib, mereka kembali ke ceruk Bukit Duka dengan peralatan lengkap dan persediaan makanan lebih banyak. Mereka akan bekerja sampai pagi. Tanpa suara mereka membelah hutan belantara dengan menggunakan senter taktikal bercahaya tajam.
Ceruk di Bukit Duka tak mudah dijangkau karena jalurnya menurun dengan pepohonan pinus di sekitarnya. Mereka menjadikan pohon pinus sebagai pegangan bahkan sebagai tempat beristirahat dengan menyandarkan tubuh sembari mengatur napas. Turun ke ceruk Bukit Duka sudah sulit, tapi keluar dari sana jauh lebih sulit.
Langkah kelima lelaki itu seketika terhenti. Mereka menatap cahaya terang di atas batu giok yang kini gundukannya terlihat jelas. Beberapa orang berjaga di sana dengan parang, cangkul, lembing, dan linggis. Tak ada yang menggali, mereka hanya duduk mengobrol, tapi terlihat siaga. Seolah siap perang untuk menjaga harta karun dari rampasan pendatang. Giok raksasa temuan mereka kini dijaga warga lokal.
***
Setelah malam itu, pendatang dan warga asli berhadapan dengan senjata masing-masing. Pacul di tangan sudah berganti parang. Jarak mereka hanya sekitar 10 meter dan dipisahkan oleh giok yang kini sudah digali separuhnya sehingga terlihat seperti bongkahan emas raksasa.
Lima pendatang sepakat memberitahukan penemuan itu kepada semua rekannya. Mereka merasa berhak mendapatkan karena mereka yang menemukan. “Siapa yang nemu, dialah pemiliknya. Itu aturan yang berlaku selama ini!” teriak mereka.
Warga lokal merasa lebih berhak karena giok raksasa terletak di kampung mereka. “Kami lahir di sini. Minum dari air di tanah ini. Hidup di tanah ini, mati pun dikuburkan di sini, di bawah batu-batu giok ini!”
Pertentangan nyaris berbuntut pertumpahan darah. Apalagi beredar isu di bawah giok raksasa itu ada butiran-butiran giok langka yang mahal harganya. Pemerintah yang biasanya lamban, kali ini sigap mengirim polisi dan tentara. Selain giok raksasa, aparat bersenjata lengkap menjadi pemisah antara warga lokal dan pendatang.
Pertumpahan darah urung terjadi, tapi warga masih berada di lokasi dengan senjata masing-masing. Polisi mengimbau warga melepas senjata tajam. Warga beralasan itu bukan senjata, melainkan perkakas kerja. Ulama juga meminta warga menahan diri, mengendalikan nafsu amarah karena warga lokal dan pendatang seperti kaum muhajirin dan anshar di masa Rasulullah. Namun, ketegangan tak kunjung reda.
Kedua massa tetap berkeras berhak atas giok. Sepekan berlalu, ketegangan menurun mengikuti fisik dan mental warga. Aparat membangun tenda untuk berjaga siang dan malam. Dua kelompok warga diputuskan menjauhi batu giok 50 meter dan mereka terpaksa menyanggupi. Tak ada yang berani melawan aparat bersenjata, selain pemerintah sudah berjanji mencari solusi atas pertikaian tersebut.
Ada yang mengusulkan giok dibelah dua untuk kaum pendatang dan warga lokal. Biayanya ditanggung kedua pihak. Pendapat lain mengusulkan hasil penjualan digunakan membangun masjid di bawah kaki Bukit Duka.
Pemerintah setempat punya rencana lain. Giok tak akan diberikan kepada warga lokal, apalagi bagi pendatang. Tidak juga digunakan untuk membangun masjid di kaki Bukit Duka yang sunyi tanpa penambang. Hasil giok raksasa sepenuhnya masuk kas daerah dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Itu yang akan dikatakan pemerintah nanti, setelah ketegangan berlalu. Rencana itu memerlukan lebih banyak aparat untuk berjaga.
Polisi dan tentara merasa sulit bertugas di kampung terpencil. Ketika terjadi ketegangan antarwarga di awal penambangan, komandan meminta mereka meninggalkan tempat lebih cepat karena biaya keamanan sangat kurang. Uang lauk-pauk tak memadai. Biaya makan di belantara lebih mahal dibandingkan di kota kecamatan.
Situasinya kini tak jauh beda. Mereka hanya menjadi pemadam kebakaran, melerai warga merebut harta, tapi mereka tak mendapatkan apa-apa. Kalau jatuh korban, mereka yang disalahkan. Dituding melanggar HAM.
Satu regu tentara dan polisi sepakat mengambil sedikit upah jaga. Tengah malam, mereka mulai menggali. Penggalian dilakukan lebih dalam, bukan untuk mengangkut giok raksasa atau menowel serpihan giok. Mereka ingin mengambil batu-batu kecil yang kabarnya terkandung di bawah giok raksasa. Giok jenis langka yang lebih mahal harganya.
Sebagai orang terlatih, mereka menggali dengan cepat di sisi yang belum tersentuh. Cangkul seorang tentara membentur benda keras, senter-senter di tangan prajurit lain segera menyorot. Mereka mengorek tanah dengan hati-hati, menyingkirkan bongkahan tanah yang menghalangi pandangan. Ketika mata cangkul kembali membentur benda keras, mereka menemukan sepotong tulang lengan berwarna putih kusam. Berikutnya mereka mendapatkan lebih banyak potongan tulang, sampai seorang polisi berseru karena melihat tengkorak manusia.
Penggalian terhenti seketika. Polisi dan tentara berpangkat rendah itu berembuk. Kalau ditanya komandan, mereka tak mungkin berterus terang. Paling aman adalah menguburkan tulang-belulang itu kembali ke tempat semula. Toh, nanti ditemukan saat penggalian dengan alat berat.
Menjelang subuh, mereka bekerja lebih cepat, menutupi bekas galian.Mereka memang sudah lelah dan tidak mendapatkan giok, tapi minimal terhindar dari masalah. Kalau menggali lebih dalam, mereka akan menemukan puluhan tengkorak manusia tersembunyi di bawah giok raksasa. (*)
AYI JUFRIDAR, cerpenis dan novelis.
Bermukim di Aceh. Novel terkininya, 693 Km Jejak Gerilya Sudirman (2015).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain.Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI
jasminehandayani
Reblogged this on hanihandayani779.