Cerpen Bunga Hening Maulidina (Suara Merdeka, 21 Februari 2016)
Selama hampir tiga hari. Tidak ada suara dari pinggir kali. Baunya saja yang kadang mampir lewat jendela. Cik cik kluk. Bukan sebuah suara yang penting bagimu. Kendati ini penting kudengarkan. Sayangnya belum hujan. Cik cik kluk.
***
Sejumlah lukisan sudah dipajang. Kebun luas. Mata sedih. Kisah tragis. Menatapnya hingga berjam-jam. Tanpa sadar tanganku hangat. Senyum berkembang pedih. Hahaha. Sungguh lucu. Selalu kepedihan yang berhasil membuatku diam. Juga hujan yang terhangatkan, kadang-kadang. Mimpi kosong!
“Halo, Nona Alerazom!” sapa Hana.
“Salam,” aku membungkukkan badan. Tersadar dari solilokui.
Hana tersenyum, “Mau kopi?”
“Terima kasih. Aku harus segera pulang,” tolakku sambil membalas senyumnya.
“Ya,” Hana mengangguk dan melepasku dengan senyumannya yang terasa bertahan sangat panjang.
Ruangan kecil. Tempat pajangan. Toko. Kepunyaan Alel. Hana yang menjaga ruangan itu. Tidak selalu ramai, namun pemasukan selalu jalan. Ada saja yang membayar. Banyak pula yang menonton saja dan nongkrong. Kebanyakan aneh. Ada juga sekumpulan orang-orang pendiam yang langsung jadi cerewet usai berkeliling ruangan itu. Pantas saja Hana menandaiku. Ia pasti mengingat perempuan bertampang dingin—kata kawanku tampangku begitu—yang kerap mampir dan baru sekali membeli lukisan.
Sekali? Bagaimana lagi? Lukisan yang kecil itu dengan berbagai pertimbangan akhirnya kubeli. Lukisan jarak dekat wajah seorang anak perempuan berseragam sekolah. Mirip pas foto dalam rapor. Kendati beda, karena lukisan itu tidak memakai ekspresi. Tidak ada mata, mulut, hidung, pokoknya kosong. Walau begitu, aku bisa mengatakan bahwa lukisan itu cantik. Ada poni pirang di sela topi anak perempuan itu. Rambutnya terurai pendek, pirang. Seragamnya putih. Berdasi biru. Dan, di topi si anak ada sejenis lencana berbentuk daun. Warnanya hijau.
Saat itu. Lukisan itu baru saja dipajang. Menurut Hana, itu bukan koleksi utama. Maksudnya, bukan termasuk lukisan-lukisan yang diperkirakan akan diserbu pembeli. Sebelum menerima uang pembayaran, Hana masih sempat menawari. Kalau aku mau ganti lukisan, masih diperbolehkan dengan senang hati olehnya. Aku mengangguk saja dan tetap menyodorkan uang. Hana tersenyum dengan mata sipit sebelah. Dia segera menulis nota pembayaran. Lalu aku mengucap salam dan pulang.
Kini lukisan itu masih di rumah. Tidak kupaku di dinding. Tidak pula kumasukkan ke lemari kaca tempat menyimpan pajangan. Lukisan kanvas dengan ukuran 30 x 30 cm itu kuletakkan di laci. Dan aku masih tetap sering berkunjung ke toko Alel. Berbincang seperlunya dengan Hana. Memandang lukisan berjam-jam. Hana baik hati. Dia mempersilakan aku berkeliling. Dan barangkali Hana hafal, aku tahan berdiri untuk memandangi lukisan. Berjam-jam. Sampai kadang Hana menawari kopi dan yang paling menyenangkan adalah ia membiarkan aku. Baru usai berkeliling Hana akan berbincang sesuatu. Tanpa bertanya. Kecuali satu pertanyaan. Apakah aku mau kopi.
Yah. Syukurlah demikian. Kalau Alel tidak mempekerjakan pegawai seperti Hana, maka aku barangkali sudah tak akan bisa masuk ke toko lukisannya. Alel memilih orang yang sejalan dengannya. Hana hampir mirip dengan Alel. Tak banyak bertanya. Anti dengan jenis pertanyaan yang bersifat mencurigai, ingin tahu, dan sok tahu. Hm. Dasar.
Hana biasanya hanya menceritakan tentang bagaimana perkembangan lukisan. Kadang promosi lukisan dengan menceritakan transaksi-transaksi yang ia anggap cukup prestisius. Cukup. Sampai di situ, tidak ada tanya jawab pribadi. Tidak ada complain mengapa aku betah berjam-jam berdiri memandang lukisan-lukisan.
Memang pertanyaan seperti itu tidak perlu diutarakan padaku. Aku juga tidak akan bisa menjawab dengan pasti. Apalagi aku bukan kritikus andal. Biarkan saja aku memandangi sesukaku. Lukisan apa itu? Mata elang kecil? Balon udara warna-warni? Bunga dengan tiga wajah di tiap kelopaknya? Seekor keong? Juga sketsa panggung? Tidak peduli apakah itu ada hubungannya denganku atau tidak. Tentu aku tidak perlu membuat catatan kuratorial. Peduli apa dengan hal-hal semacam itu. Aku hanya akan selalu datang. Memandangi sesukaku.
***
“Ya, Lel, dia sering datang. Lebih sering dia memandangi berjam-jam. Tapi, sebulan ini dia tak datang.”
“Biarkan saja, Han,” jawab lelaki berwajah kusut itu.
“Tapi nona ini tidak seperti pengunjung lainnya,” Hana masih bersikeras.
“Sejak kapan kau peduli pada hal tak penting semacam ini? Sejak kapan aku harus mempedulikannya? Apa penting untukmu dan untukku, untuk toko ini?” suara lelaki itu meninggi.
Hana mendengus sebal. Segera Hana pergi keluar. Lelaki itu masih tinggal. Mukanya coreng moreng. Sabtu pagi ia harus menyelesaikan lukisannya yang ke sembilan puluh sembilan. Alel tidak tahu dan tidak mau tahu siapa yang datang. Meski ia sempat mendunga, bahwa wanita yang diceritakan Hana adalah pembunuh ibunya.
Memuakkan sekali kalau Alel harus mengingat lagi kisah menyakitkan itu. Ayah dan wanita pembunuh ibu. Ibu kumat serangan jantungnya saat ayah memberikan hadiah ulang tahun pada Alel berupa topeng ukir berkarakter wajah anak lelaki kecil. Selama sepuluh tahun Alel tidak tahu apa arti cerita itu baginya. Tapi lima tahun belakangan, saat usianya mulai menginjak delapan belas tahun, ia mulai tahu apa arti topeng ukir yang dihadiahkan ayah. Topeng bagus itu jadi jelek sekali, saat pertama kali Alel mulai memikirkan kemungkinan serangan jantung ibu di hari ulang tahunnnya. Apalagi kakak ibu, Tante Eve, selalu bilang bahwa wanita pembuat topeng itu adalah kekasih ayah. Kendati anehnya Tante Eve bilang, kekasih ayah itu agak sinting—atau mirip perempuan sinting, dan meski begitu, tetap saja ibunya cemburu.
“Huuuh! Plaaak!” Alel melempar kuas ke dinding sebelah kanannya.
Tetesan cat air biru timbul di dinding hijau itu. Lelaki itu memandang murung. Hana telah merusak suasana hatinya.
***
Selama hampir tiga hari. Tidak ada suara dari pinggir kali. Baunya saja yang kadang mampir lewat jendela. Cik cik kluk. Bukan sebuah suara yang penting bagimu. Kendati ini penting kudengarkan. Sayangnya belum hujan. Cik cik kluk. Hahaha. Lucu ya. Perasaan seperti ini selalu lucu daripada haru. Beberapa orang tidak pernah memperhatikan dengan benar. Apa yang ia lihat dan rasakan. Makanya hidupnya mengejar ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dibawa lagu pengantar senja.
Arus deras kali selalu membuatku mendengarkannya lebih lama. Sayangnya saat ini aku naik kereta. Tidak ada suara semacam itu. Sudah kutinggalkan semua yang hilang dan mengerikan—sekaligus lucu—di sana. Aku sudah menghitung sejak mula, Alel akan menyelesaikan lukisannya ke sembilan puluh sembilan antara tiga hari sampai hari ini. Aku sudah hampir menduga apa yang akan dilukisnya. Aku tahu. Sangat tahu, Alel.
Sejak hari kelahiran Alel. Ketika jalan-jalan ramai dengan kendaraan. Sesak. Malam atau siang tetap ramai. Kalau dipikir ulang, aku tak akan betah dengan situasi semacam ini. Kendati begitu tanah rantau ini tidak bisa ditinggal hanya karena ‘tak betah’. Aku pernah meyakinkan diri untuk tetap mencari tambat dalam tiap tempat. Mencari tambat bukanlah mencari tempat bagus di antara tempat-tempat yang membosankan. Sudah terlalu banyak tempat bagus yang berdesakan di sini. Bangunan toko gaya Eropa yang mungil. Bau tengik got menyertai sela deretan toko.
Tapi di hari itu aku menerima berita kelahiran Alel. Alel lahir dan aku seperti menerima kelahiranku sendiri. Nan memberitahukannya padaku, “Halo, Alera, anakku lahir,”. Aku merasa seperti ibu peri yang diutus membawa berkat-berkat khusus untuk bayi laki-laki itu. Namun tentu saja aku bukan peri semacam itu. Diam-diam aku merasa senang sekaligus sedih bersamaan. Tapi, kelahiran Alel adalah pupuk yang membangkitkan tanaman yang hampir lumpuh, sepertiku. Aku akan banyak menatah kayu. Aku menjanjikan sebuah topeng kecil untuk Alel kelak ketika dia berulang tahun, suatu saat.
***
“Sayang sekali, Nona Alerazom tidak datang hari ini,” gumaman Hana sampai ke telinga Alel.
“Berisik! Dia perempuan tak waras!”
“Apa, Lel?! Memangnya kamu tahu apa yang kumaksudkan?” Hana balas teriak.
“Apa?! Memangnya kamu juga tahu apa yang kumaksudkan?” Alel mengulang.
Hana geram sekali. Sedih. Alel pergi dengan tak peduli. Meninggalkan lukisan ke sembilan puluh sembilannya yang tergantung di dinding. Hana membuka penutup lukisan itu. Lukisan wajah lelaki kecil. Hana mengernyit heran. Mengapa gambar di kartu nama Nona Alerazom bisa sama dengan Alel? Wajah anak lelaki itu dilatarbelakangi kebun yang luas. Luas sekali. Indah. Sayang, mata si anak terpejam. Entah rasanya membuat Hana begidik takut. (*)
Bunga Hening Maulidina, sedang menempuh kuliah di Universitas Sebelas Maret. Ia anggota Diskusi Kecil. Beralamat di Clupak, Mojopuro, Sumberlawang, Sragen.
Leave a Reply