Cerpen Gunawan Maryanto (Jawa Pos, 21 Februari 2016)
SURAT tantangan itu datang jauh-jauh dari Ursyilam pada sebuah siang diantar—tepatnya dijatuhkan—oleh seekor burung Hud-hud. Kejadian ini akan berulang kelak di mana surat itu jatuh menimpa paha Ratu Balqis yang bertahta di Saba.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pe murah lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. [1] Aku tunggu kedatangan kalian di istanaku tepat ketika surat ini selesai kalian baca. Tertanda: Sulaiman.
Hyang Wenang tersedak begitu selesai membaca surat itu. Jin Hari yang duduk di sampingnya bisa merasakan benar betapa kemarahan junjungannya, juga menantunya, telah bergerak dengan cepat dari tantian menuju ubun-ubun kepalanya. Dalam keadaan seperti itu sesakti apa pun ia akan terjatuh bahkan oleh sebutir air hujan yang turun—keseimbangannya telah hilang. Jika ia adalah Arya Penangsang dari Jipang tentulah surat itu akan lumat menjadi debu dalam remasan tangannya.
“Pikulun, hamba yang akan berangkat memenuhi undangan itu. Sebelum kata terakhir surat itu sesungguhnya hamba telah berada di Ursyilam.” Jin Hari sudah lenyap entah sejak kapan. Mungkin sebelum kalimatnya itu mulai ia ucapkan. Patih Sangadik hanya bisa diam. Ia gemetar menunggu titah dari sesembahannya.
“Cari Hyang Tunggal sekarang juga. Suruh ia pulang. Tengguru sangat membutuhkannya.” Hanya sekalimat yang sanggup diucapkannya. Sahoti, putri tunggal Jin Hari, segera memapah suaminya kembali ke kedaton. “Kirimkan kerinduanmu pada Tunggal anakmu. Suruh ia segera pulang ke rumah. Aku kangen,” bisik Hyang Wenang di telinga istrinya.
***
HUD-HUD telah kembali dari tugasnya beberapa saat setelah surat itu ia jatuhkan dari langit Tengguru. Sulaiman tersenyum menyambut kedatangan burung kesayangannya. “Surat sudah saya sampaikan, Kanjeng Nabi. Saat ini Jin Hari dari Tengguru sudah menanti di gerbang istana.”
“Ah, mereka menerima tantanganku rupanya. Sungguh luar biasa. Mereka berlari di sepanjang kalimatku. Tapi di hadapan Gusti Allah tak ada yang luar biasa.”
“Benar, Kanjeng. Jin Sakar kini tengah bertarung dengannya. Hamba sempat melihatnya sebelum sampai kemari tadi.”
Berkata Sulaiman, “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. [2]
“Baiklah, Hud-hud, kini istirahatlah kau. Jangan kau terlalu keras pada sepasang sayapmu itu. Aku akan menunggu kabar dari Jin Sakar. Semoga mereka segera berserah dan menyembah Allah.”
Hud-hud terbang kembali ke sarangnya. Sulaiman melepas kepergian burung kecilnya yang nakal namun pintar itu. Di antara kawanan burung yang lain, ilmu sastra Hud-hud paling tinggi. Berulang Sulaiman lelah berbantah dengan burung mungil itu. Seluruh ujaranku telah direkam dengan baik dan siap diputar kapan saja untuk mementahkan diriku. Batin Sulaiman sambil mengucap syukur atas segala karunia yang telah dianugerahkan kepadanya. Betapa jin, burung, dan angin tunduk dalam perintahnya. Jika Daud, ayahnya, hanya mampu mengerti perkataan burung, dirinya sanggup memerintah burung. [3]
***
Jin Sakar versus Jin Hari, siapakah yang menang? Keduanya adalah jin yang pilih tanding. Keduanya jin terunggul di wilayah masing-masing. Tak mudah menebak siapa yang akan terkapar jatuh sebagaimana tak mudah untuk melihat jalannya pertarungan mereka yang supercepat. Tapi dalam Serat Pustaka Raja Purwa [4] telah dituliskan Jin Sakarlah yang kalah. Baiklah, saya pun mengikutinya sebagaimana para dalang dari Ngasinan, Klaten, Jawa Tengah: Jin Sakar kalah. Ia diikat dengan selendang Talikentular—kelak ada seorang pendekar perempuan dari China [5] mengenakan pusaka ini—dan dibawa ke gunung Tengguru. Ia menjadi tawanan para dewa yang bertahta di sana.
Di tengah hutan yang gelap di mana tak selarik cahaya pun sanggup menembus kelebatan daun-daun, seseorang tengah bertapa. Dialah Hyang Tunggal yang begitu dirindukan kehadirannya oleh Dewi Sahoti, ibu kandungnya. Kemauannya yang besar untuk mengikuti jalan Sayid Anwar, eyang buyutnya, membuatnya rela menanggalkan seluruh pakaian kadewatan yang sejak lahir telah menyelimutinya. Ditemani oleh dua panakawannya, Gora dan Goda, Hyang Tunggal menepi di tempat-tempat paling sepi di muka bumi.
Tepat 40 hari lamanya sudah ia bersamadi di bawah pohon Sumarsana di mana seorang jin raksasa bernama Satrutapa bersemayam di dalamnya. Tapi sejak malam pertama jin itu tak berani menggodanya. Darah Sayid Anwar mengalir deras di dalam tubuh Hyang Tunggal. Pantang bagi Satrutapa mengganggu jalan kesunyian yang tengah ditempuh pemuda lajang itu. Justru Gora dan Godalah yang mengusik tidurnya. Kedua abdi jenaka itu tak hentinya bersenda gurau di sekelilingnya. Berulang kali Gora dan Goda menjolok buah Sumarsana untuk dijadikan makanan. Jika saja tak mengingat kedua lelaki jelek yang wajahnya selalu tampak belepotan dengan tepung terigu itu adalah abdi Hyang Tunggal tentulah Satrutapa telah menghukum mereka. Ia bisa saja meresap masuk ke dalam tiap buah Sumarsana yang mereka makan. Dan membuat perut mereka membusuk tiba-tiba. Tapi, sekali lagi, pantang baginya mengganggu jalan Sayid Anwar dan seluruh keturunannya. Sebab dalam tubuh Sayid Anwar mengalir dua darah, yakni darah Nabi Adam sang Manusia Utama dan darah Malaikat Ngajazil [6] malaikat yang sakti mandraguna. Hanya Sayid Anwas dan ke turunannyalah yang boleh dan bahkan wajib dimangsanya. Sebab dalam tubuh Sayid Anwas hanya mengalir satu darah—darah manusia yang telah diusir dari surga.
Tepat saat Hyang Tunggal hampir bertemu dengan Sayid Anwar di langit ketujuh seekor gajah tiba-tiba menyeruduk tubuhnya. Hyang Tunggal terpental beberapa meter jauhnya. Belum sempat ia bangun, seekor macan menerkam dari arah yang lain. Beruntung Hyang Tunggal dapat berguling ke samping. Sempat pula ia menendang perut macan itu dengan kakinya. Tapi bahaya belum lepas. Dari gerumbul semak di dekatnya seekor ular muncul dan mengancam kepala Hyang Tunggal. Hyang Tunggal yang sudah jauh lebih bersiaga menangkis patukan ular besar itu dengan kedua tangannya. Dan dalam sekali hentakan ia telah melenting bangun dan benar-benar bersiaga. Kedua kakinya mendak, merendah, seakan tertanam di dasar bumi.
Gora dan Goda entah sudah lari ke mana. Kedua abdi setia itu rupanya tak terlalu setia dalam menghadapi bencana. Dan tinggallah Hyang Tunggal sendirian, sebagaimana namanya, menghadapi seekor gajah, macan, dan ular dari tiga arah yang berbeda.
“Siapakah kalian? Berani-beraninya kalian mengganggu tapaku. Aku bahkan tak punya urusan sama sekali dengan kalian!”
“Aku Dwirandana!” sahut si Gajah.
“Aku Singa Krida!” sahut si Macan.
“Aku Naga Banda!” sahut si Ular.
“Kami adalah anak buah Baginda Sulaiman!” sahut ketiganya hampir bersamaan.
“Aku tak ada urusan dengan Sulaiman. Aku menepi jauh dari pertikaian apa pun. Jadi kenapa kalian mengusikku.” Hyang Tunggal berkata dengan tenang. Tapi dalam ketenangan suaranya Satrutapa yang hanya diam di dalam pohon mengawasi kejadian itu dapat merasakan kemarahan yang sebentar lagi akan mendidih.
“Sebab ayahmu telah menyerang Ursyilam tempat junjungan kami bertahta. Jin Sakar sang patih kerajaan hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Untuk itu kami akan menuntut balas!” Kata “balas” diucapkan oleh Dwirandana dengan tegas, seperti sebuah tanda bagi Singa Krida dan Naga Banda untuk maju menyerang secara bersamaan. Ketiga binatang itu tentu tak tahu bahwa dalam diri Hyang Tunggal telah bersemayam Sayid Anwar yang bermandikan Maolkayat alias Tirta Kamandanu di mana tak ada kematian akan berani menyentuhnya hingga kelak zaman mau tak mau harus berakhir.
Demikianlah pertarungan kembali berlanjut. Hyang Tunggal meliuk-liukkan tubuhnya di antara terjangan ketiga binatang sakti yang datang silih berganti sementara kedua tangannya bergerak dengan lembut seperti tengah merapikan lengan jubah, bergantian kanan dan kiri. Tapi sesungguhnyalah kedua tangannya itu yang melindungi tubuhnya dari serangan demi serangan yang mengarah kepadanya. Dan lima jurus kemudian, demikian kesaksian Satrutapa, Hyang Tunggal telah menamatkan riwayat ketiga binatang liar itu. Tinggal Gora dan Goda, entah kapan munculnya, mengangkut bangkai-bangkai itu dan membuangnya ke jurang.
***
JIN Sakar telah bersekutu dengan Hyang Wenang. Untuk itu ia kembali ke Ursyilam untuk mencuri cincin pusaka Nabi Sulaiman. Sebab dengan cincin itulah ia bisa mengalahkan bekas junjungannya itu. Dengan Aji Halimunan ia menyaru sebagi kabut. Dan menjelang subuh ia telah melekat di baju Baginda Sulaiman, menunggu saat manusia yang taat beribadah itu melepas cincinnya sewaktu mengambil air wudu. Sebagai kabut Jin Sakar begitu tegang menunggu kesempatan itu datang. Tapi begitu raja paling kaya sedunia itu melepas cincinnya, ketegangan itu berubah menjadi kecepatan yang tiada tara. Ia melesat menyambar cincin Malukat Gaib itu dan segera mengenakannya di jari manis. Belum sempat Nabi Sulaiman menyadari apa yang sesungguhnya tengah terjadi sebuah sinar telah menabraknya, melontarkannya, jauh keluar dari Ursyilam. Konon ia terjatuh di sebuah pantai, tak jauh dari sebuah kampung nelayan [7].
Jin Sakar menyeringai, mengusap peluh yang membanjiri wajahnya. Tenaganya benar-benar habis terkuras. Ia usap cincin Malukat Gaib yang bertengger di jarinya. Sebuah kekuasaan seperti tengah tumbuh di sana. Dengan tergesa ia melangkah ke dalam istana. Ingin rasanya ia segera duduk di singgasana emas bekas baginda Sulaiman. Seperti apakah rasanya menjadi raja? Ia sudah berkali-kali menyimpan pertanyaan itu.
Berdasar penuturan Ki Suryosaputro, 40 hari lamanya Jin Sakar—boleh juga disebut Baginda Sakar—bertahta di Ursyilam. Sebelum akhirnya ia teringat akan janjinya pada Hyang Wenang untuk menyerahkan cincin pusaka itu. Maka dengan cepat ia terbang melintasi samudera menuju Gunung Tengguru. Tapi malang tak bisa ditolak, sial tak bisa disangkal, saat terbang di atas samudera itulah cincin Malukat Gaib jatuh dan tenggelam. Menyadari hal itu Jin Sakar langsung menyelam mengaduk isi samudera untuk mendapatkan kembali pusaka tersebut. Tapi cincin itu benar-benar lenyap. Dengan seluruh kesaktiannya, Jin Sakar memeriksa setiap sudut karang, menyisir ganggang, dan mendulang pasir, Malukat Gaib tak berhasil ditemukan. Akhirnya dengan lunglai ia meneruskan perjalanan dan bersiap mengabarkan berita yang mengecewakan itu kepada Hyang Wenang. Andai saja ia memperhatikan seekor ikan yang memancarkan sedikit cahaya dari dalam tubuhnya cerita ini bisa berakhir di ujung yang berbeda.
***
HYANG Wenang tentu saja hanya bisa kecewa, marah, mengamuk, dan kalau perlu membunuh Jin Sakar seandainya saja seorang jin bisa mati. Cincin yang sejatinya akan melanggengkan kekuasaannya telah hilang tercebur ke samudera. Hilang permataku, hilang harapanku [8]. Sungguh ia hanya bisa meratapinya. Ia belum sembuh dari rasa kagolnya ketika tiba-tiba badai angin menghantam puncak Gunung Tengguru. Rupanya angin membalaskan dendam Sulaiman yang dikhianati oleh Jin Sakar. Dalam waktu yang singkat istana yang terbangun dengan indah di puncak Gunung Tengguru itu hancur luluh lantak dengan tanah. Tak ada lagi yang tersisa. Hyang Wenang sekeluarga terpaksa pergi mengungsi. Mereka berpindah ke puncak Gunung Himalaya.
Sementara itu Hyang Tunggal tetap melanjutkan pengembaraannya. Ia telah mendengar dan melihat—lewat bola kristal Ratna Dumilah—bahwa rumahnya di puncak Gunung Tengguru telah hancur. Tapi tak ada sedikit pun terlintas kata pulang dalam kepalanya. Ia sudah lama menghapus seluruh jalan pulang dalam hatinya. Ia telah memutuskan untuk mengarungi luasnya lautan dengan sampan kecil dan membakar dermaga di belakangnya hingga tak ada sama sekali cara baginya untuk kembali ke daratan. [9]
Dan sampailah mereka di Kerajaan Selan di mana Hyang Darmajaka berkuasa. Hyang Darmajaka masih terhitung sebagai paman Hyang Tunggal. Oleh karena itu kedatangan Hyang Tunggal dirayakan oleh seluruh negeri. Mereka diarak keliling kota hingga berhenti di pintu gerbang istana. Gora dan Goda senang bukan kepalang. Mereka menari-nari di sepanjang jalan. Sementara Hyang Tunggal hanya diam menundukkan kepala dalam-dalam. Ia tampak menyesal telah mampir ke Selan. Di istana bukan hanya upacara penyambutan yang telah disiapkan oleh Hyang Darmajaka. Tapi juga upacara perkawinan. Hari itu juga Hyang Tunggal dinikahkan dengan putri Hyang Darmajaka, Dewi Darmani. Sekali lagi Hyang Tunggal mengutuk langkah kakinya. Mereka telah salah mengambil jalan. Namun demikian, dengan hati yang coba dibuka seluas mungkin, Hyang Tunggal menerima semua itu.
Dari perkawinannya dengan Darmani, Hyang Tunggal mendapat tiga orang anak: Hyang Rudra, Hyang Darmastuti, dan Hyang Dewanjali. Bukan karena tak mau menambah anak jika kemudian, bertahun sesudahnya, Hyang Tunggal memutuskan pergi dari Selan. Jalan Sayid Anwar kembali memanggilnya. Membuatnya kembali meninggalkan rumah. Kali ini juga dengan meninggalkan istri dan tiga orang anaknya. Gora dan Goda pun bersiap menempuh perjalanan baru yang tak tentu ujungnya.
Baru saja meninggalkan Selan, sebuah bahaya kembali mengancam. Kali ini lewat amukan Jin Cakarwa. Atas nama Nabi Sulaiman, jin sakti itu melontarkan Hyang Tunggal ke tengah lautan.
Di dasar laut itulah sesungguhnya kisah ini akan berakhir sebentar lagi. Saat itu tepat sebelum Hyang Tunggal tenggelam ke dasar laut, raja kepiting, Sang Prabu Rekatatama, sedang bingung setengah mati menghadapi tangisan anaknya yang tak kunjung reda. Sang Dewi Rekatawati bermimpi bertemu dengan Hyang Tunggal. Pertemuan itu sangat melekat di benaknya sampai berminggu-minggu lamanya. Karena tak sanggup menghapus wajah Hyang Tunggal dari pikirannya, Re katawati merengek minta dikawinkan dengan Hyang Tunggal atau ia mati bunuh diri saja. Rekatatama gelisah. Ia tahu siapa Hyang Tunggal yang bahkan ibunya pun tak sanggup memanggilnya pulang. Tapi di sisi lain ia tak mau kehilangan putri tunggalnya.
Rekatatama baru saja memutuskan untuk pergi mencari Hyang Tunggal ketika air di hadapannya mendadak bergolak. Sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya: Hyang Tunggal—yang tenggelam ke dasar samudera terlontar oleh amukan Jin Cakarwa. Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa basa-basi lagi, bahkan tanpa bertanya angin apa yang membawa Hyang Tunggal ke dasar samudera, Rekatatama langsung melamar Hyang Tunggal untuk putri tunggalnya. Hyang Tunggal tak kuasa menolak. Maka penghuni dasar samudera pun berpesta merayakan pernikahan Hyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati.
Dan perkawinan itu pun melahirkan sebutir telur. Sebutir telur yang kelak pecah menjadi Hyang Maya dan Hyang Manik: gelap dan terang. Sepi dan gaduh. ***
Jogja 2012 – 2015
Keterangan:
[1] Dikutip dari QS. An-Naml 30-31.
[2] Dikutip dari QS. An-Naml 27.
[3] Dikutip dari QS. An-Naml 16-17.
[4] Serat Pustaka Raja Purwa yang dimaksud adalah Serat Pustaka raja Purwa Jilid 1 yang dihimpun oleh Ki Suryosaputro yang berkedudukan di Surakarta. Serat ini dihimpun mulai pada hari Minggu Wage tanggal 8 Mei 1983. Terdiri dari 22 lakon, dari “Lahirnya Guru” hingga “Prabu Amitaya”
[5] Dewi Adaninggar dalam kisah Menak Cina.
[6] Pada sebuah malam Malaikat Ngajazil mendandani putrinya, Dewi Dlajah, hingga serupa dengan Dewi Mulat istri Nabi Set (Sang Hyang Esis). Lalu dengan kesaktiannya ia culik Dewi Mulat dan ia tukar dengan Dewi Dlajah. Dan setelah keduanya bersetubuh, ia kembalikan lagi Dewi Mulat ke pangkuan Nabi Set. Dari rahim Dewi Dlajah lahirlah Sayid Anwar. Sedang pada waktu yang bersamaan Dewi Mulat melahirkan Sayid Anwas. Keduanya serupa benar. Hampir tak bisa dibedakan. Tapi setan mana pun akan segera bisa menciumnya. Mana yang harus disembah dan mana yang harus dimusnahkan.
[7] Selama beberapa waktu Nabi Sulaiman tinggal di rumah seorang nelayan tua. Lantaran nelayan tua itulah kelak Nabi Sulaiman bisa bersatu kembali dengan cincin Malukat Gaibnya.
[8] Lirik lagu “Hilang Permataku” ciptaan Is Haryanto. Pertamakali dinyanyikan oleh The Crabs dan dipopulerkan kembali oleh Yuni Shara.
[9] Perumpamaan yang impresif ini dipakai Nietzsche untuk menggambarkan manusia yang mengafirmasi hidup. Betapa manusia tidak dapat berpaling dari dirinya dan dunia ini. Dan hidup ini adalah lautan yang penuh marabahaya dan karena itu harus dihadapi dengan penuh keberanian. Kenyamanan daratan adalah buaian yang membuat manusia berpaling dari hidup.
Leave a Reply