Cerpen Gracia Asriningsih (Media Indonesia, 28 Februari 2016)
LAKI-LAKI itu berdiri di sudut Place de Vosges, di depan rumah Victor Hugo—penyair legenda Prancis dan penentang hukuman mati—yang tinggal di situ tahun 1832 sampai 1848. Aku berjalan setengah berlari karena aku tak ingin ia terlalu lama menungguku. Aku pun tidak bisa menyampaikan kabar jika aku terlambat. Aku mungkin terlambat karena kakiku telah membawaku ke arah sungai Seine, dan bukan kepadanya. Aku tidak tahu kenapa aku ingin menemuinya. Mungkin karena ia sepertiku, suka menulis, membaca, dan berjalan. Ia bersandar ke dinding, tapi aku merasa ia menatapku. Angin dingin bertiup ketika ia seakan berbisik mengajakku duduk di bangku taman berwarna hijau.
Aku mengulum senyum ketika ia bilang berasal dari Teheran, namun tak punya Tuhan. Aku membayangkan berapa banyak orang yang akan membicarakan nuklir dengannya, sementara yang ia inginkan hanya menulis puisi dalam bahasa Persia. Tentang pohon yang tersesat di mulutnya, lalu daunnya jatuh mengering. Kami duduk bersebelahan tanpa saling menatap.Aku memandangi cahaya senja yang memantul di gedung-gedung berwarna merah bata, dan membiarkan telinga kananku menangkap kisahnya.
“Aku tidak bisa bersama dengan gadis Iran,” katanya, “jika aku baik, mereka ingin segera menikahiku, jika aku jahat, aku memikirkan adik perempuanku yang mungkin akan mengalami perlakuan yang sama. Jadi kami semua berbohong, atau membentuk setengah kebenaran.” Aku merapatkan jaketku ketika senja mulai beranjak, dan angin semakin keras. “Sebaiknya kita beranjak ke bangku yang masih disinari matahari,” kataku, sambil menghindari pikiran, apakah setengah kebenaran adalah kebenaran atau tidak.
Kami berpindah ke bangku lain di mana seekor merpati baru saja hinggap. Laki-laki itu menanyakan apakah aku menyaksikan film Iran berjudul Perpisahan. “Iya, aku menontonnya,” tanpa menambahkan, “bahkan dua kali.” Ia menambahkan, “Kau lihat bagaimana kita semua berbohong.” Lalu aku bertanya, “Lalu sudah berapa kebohongan yang kau tawarkan padaku sejak tadi?” dan untuk pertama kalinya ia tertawa lebar.
“Apa yang sedang kau tulis?” tanyaku setelah ia bercerita betapa berbahayanya memegang tangan seorang gadis di Teheran. “Aku menulis skenario tentang orang-orang yang tersesat.” Aku berpikir, bagaimana mungkin tersesat bisa diskenariokan atau direncanakan? Lalu aku memandang matanya yang penuh melankolia, khas dari laki-laki yang berada di pengasingan. “Oh, maksudmu, mereka tersesat dalam ruang atau tersesat dalam pikiran dan hidupnya?” Ia menghunjamkan matanya ke mataku, dan aku mengalihkan pandanganku ke arah pasangan bahagia yang sedang berciuman di bangku sebelah kami.
Mata itu membuatku bercerita. “Aku juga tersesat. Aku selalu merasa tersesat. Mengapa aku di sini, mengapa aku hidup, aku harus ke mana. Ketika aku berumur empat tahun, aku ditinggalkan oleh kakak laki-lakiku di tengah jalan, di kampung yang tidak kukenal, aku tidak tahu arah dan ketakutan. Aku hanya bisa berteriak dan menangis di aspal yang masih hangat, di senja ungu itu. Meskipun pada akhirnya seorang ibu menenangkanku dan mengantarku pulang, sejak saat itu aku tidak pernah memaafkan laki-laki yang meninggalkanku di tengah jalan. Aku hanya memaafkan mereka yang meninggalkanku di tempat yang kukenal. Trauma ketersesatan dalam ruang itu sembuh dua puluh tahun kemudian, ketika aku berada di jantung New York yang bersalju. Aku buta arah dan tetap tersesat, namun untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa kemana pun aku pergi, aku akan selalu tersesat, dan menerima ketersesatan itu dengan bahagia, meski yang sembuh hanya ketersesatan ruang. Sementara ketersesatan lainnya tak menemukan jalan keluar dari jiwaku.”
Aku bertanya tentang pulang, ia bercerita tentang wajib militer yang dihindarinya. Aku bertanya tentang bayang-bayang dalam fotonya, dan ia berkisah tentang ayahnya yang jurnalis, ibunya yang mengajar bahasa Persia. Aku bertanya tentang puisi, dan ia bercerita tentang bagaimana ia kehilangan Tuhan. Aku bertanya tentang apa yang ditangkap dalam kameranya, dan ia menjelaskan Abbas Kiarostami yang berpuisi dengan filmnya. Aku meletakkan musiknya di telingaku dan Schubert ada di sana. Aku ingin berkata, maukah kau menemaniku ke Palais de Tokyo, sebuah museum seni kontemporer, dan ia bilang, bagaimana lukisan membuatnya tak ingin meninggalkan Paris.
Aku memandang telpon genggamnya yang setengah pecah.
“Apa yang terjadi sehingga kamu bisa meretakkannya seperti itu,” tanyaku.
“Ia retak seperti tubuhku,” katanya. Meski aku tidak melihat satu keretakan pun pada tubuhnya, aku seperti melihat dingin yang telah menempanya bertahun-tahun, seperti tanah dan peradaban tiga ribu tahun miliknya. Ia terkoyak di antara dua dunia, dan kebekuan telah masuk dalam koyakan itu.
Sebuah pedang perak mainan tergeletak di bangku di depan kami, seorang gadis lewat, dan bertanya apakah pedang itu milik kami. Tidak, kami tak ingin berurusan dengan pedang, seperti kami tak ingin bicara tentang nuklir atau diktator yang menguasai kelamin perempuan.
Ia memilih berbagi dunianya yang hitam putih dan gradasi abu-abu, yang selamanya berada dalam kekinian, tentang anak lelaki dalam dirinya yang memandang dunia lewat jendela berterali, ingin memandang dunia ke atas, namun yang terlihat hanya dunia yang di bawah. Aku melihat kemuraman yang begitu padat sekaligus kukenal.
Sore semakin remang, kami beranjak dari taman berair mancur. Ia seperti tak ingin menyelesaikan senja. Kami duduk di cafe dengan sofa merah dan memesan cokelat panas. Wajahnya begitu tenang tanpa riak, tapi menghisap seluruh ceritaku menjadi Kafka dan Haruki Murakami di dalamnya.
Dalam secangkir cokelat panas, semua kisah yang tidak akan terjadi larut di dalamnya. Semua skenario yang tidak dapat diteruskan dari rambut panjangnya yang ikal, serta percintaan yang hanya terjadi dalam angan, dan tak mungkin mengada. Entah kenapa aku berkata, “aku hanya ingin kekasihku,” pada cangkir dengan ampas cokelat di dasarnya. Ia bertanya, “Seperti apa dia?” aku tak sempat menjawab.
Tiba-tiba aku melihat ujung jariku menjadi transparan, dan perlahan menguap, lalu menjalar ke lengan, dan semakin ke atas. Aku juga mulai merasakan rasa transparan di kelingking kakiku. Sebuah cincin janji semacam kaul kekal kepada cinta yang tak pasti, akan selalu mengembalikanku kepada bintang di mana kekasihku berada, dan yang perlu terjadi hanyalah ingatan wajahnya muncul di pelupuk mataku. Dan, laki-laki di hadapanku seperti ditakdirkan hanya untuk mengembalikan aku ke bintang itu. Aku hanya pasrah dengan proses perpindahanku ini.
Ia berusaha menyentuhkan lilin yang ada di meja kafe ke telapak tanganku guna mencegahku menjadi transparan di hadapannya. Namun, proses itu seperti tak bisa berbalik lagi. Keberadaanku telah dicabut dari sini.
“Namaku Moho, usiaku lima puluh lima tahun di tubuhku yang tiga puluh,” katanya mengulang ingatan untuk menghentikan rasa transparan di bahuku. Ia melafalkan puisi Persianya yang samar-samar kudengar seperti mantra di telingaku yang mulai transparan. Pada akhirnya hanya mataku yang belum berubah, dan aku menatapnya berubah menjadi asap. Aku kembali berada dalam kabut bintang di mana kekasihku berada. (*)
Place de Vosges, 2015
Gracia Asriningsih, lahir di Yogyakarta. Master Desentralisasi dari Universitas Paris 8, Prancis (2004), kini bekerja sebagai penulis lepas dan penerjemah. Telah menerbitkan dua novel, Place Monge dan Sesiang Terakhir, dan kumpulan puisi dwibahasa Hampir Aku tetapi Bukan (2012).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain.Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id @Cerpen_MI
Leave a Reply