Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 28 Februari 2016)
AKU tahu siapa yang meletakkan stoples itu di atas bufet kayu tepat di sisi foto keluarga —foto kita; aku, kau, dan papamu yang tentu saja mengenakan sweter terbaiknya. Waktu itu kau ingin memerangkap serangga. Kau tak pernah mendapatkan serangga jenis mana pun, sebab binatang itu lebih banyak hinggap di dinding luarnya saja atau sebagian terbentur tak sengaja lalu buru-buru terbang lagi. Namun, tak disangka, suatu hari ternyata stoples itu berhasil memerangkap waktu dan setelah itu waktu seolah berhenti di sini dan aku banyak berada di masa lalu. Kalau saja kau melihatnya sekarang, kalau saja kau di sini, kau mungkin akan terpana dan berteriak sekencang-kencangnya sampai suaramu menembus atap rumah cokelat tua kita.
Dari kecil kau memang suka sekali berteriak. Papamu tak suka mendengar suaramu yang cempreng (jangan berkecil hati, ia memang tak suka mendengar suara siapa pun). Kamar kerjanya berada di lantai dua. Dan dia sering sengaja turun untuk memperingatkanmu—kadang-kadang dia sengaja menurunkan kacamatanya agar kau bisa melihat matanya yang melebar.
Aku ingat kau pernah mengeluh padaku. Kau bilang, “Papa jahat.”
“Tidak,” kataku, “Papamu sedang menggambar dan dia tidak bisa melakukannya kalau kau ribut.”
Di saat lain kau mengadu, “Papa tidak menyayangiku.”
Aku memandang matamu sedih, “Itu tidak benar,”—meski sesungguhnya aku berpikiran sama, lelaki itu tidak menyayangimu, aku, dan bahkan dirinya sendiri. Dia seorang arsitek. Dari kecil dia bekerja keras untuk mendapatkan keinginannya itu. Dia lahir dalam keluarga miskin. Orang tuanya meninggal saat dia berumur tujuh tahun. Dia dibesarkan oleh bibinya yang juga miskin. Untungnya dia punya otak yang cemerlang. Seorang guru membantunya kuliah dan selebihnya dia mau mengerjakan apa saja dan orang memberinya upah. Namun kemudian cinta membawanya ke arah yang salah. Pada usia dua puluh lima, dia telah jatuh cinta pada istri gurunya itu —perempuan manis yang tengah hamil besar dan tubuhnya bau minyak kayu. Itu cinta yang tidak masuk akal dan menyakitkan. Malangnya, istri gurunya itu mengalami pendarahan hebat sehabis melahirkan dan meninggal tiga hari setelahnya. Sejak itu pula dia mudah sekali menggigil kedinginan dan mengenakan sweter tiap hari seolah sedang bersembunyi dari kebenaran.
Aku bisa memaklumi sikap papamu, sebab itu aku tak banyak meminta sesuatu dari lelaki itu—sebagaimana aku tak memberikan tempatyang besar di hatiku untuk dia karena sebelum kami memutuskan hidup bersama aku telah lama mati. Namun, kau berbeda denganku. Kau kehilangan seorang ibu saat baru berumur tiga hari dan kehilangan ayahmu yang seorang guru itu delapan bulan setelahnya. Kau butuh tempat yang hangat. Kau butuh tempat yang menerimamu sepenuhnya.
Umurmu dua belas tahun waktu aku mengatakan semua itu. Kau meraung. Kau terluka. Kau marah. Setelah itu tiba-tiba kau ingin sekali punya seekor serangga yang tersesat dan sengaja meletakkan stoples di atas bufet di ruang tamu. Aku tahu kau mengalihkan perasaan terlukamu. Aku tahu kau tak benar-benar menyukai serangga dan menginginkannya.
Sampai suatu hari kau berdiri di pintu kamarku dan berkata, “Mama, aku ingin mencintai lelaki itu lebih besar dari yang dapat dia bayangkan.”
Aku sangat cemas, tapi saat itu aku menganggap itu ucapan kanak-kanak yang sengaja kau lontarkan untuk meluapkan rasa marahmu. Kau kebingungan karena duniamu baru saja runtuh. Maka aku hanya memandangmu. Besoknya kau minta dibelikan sweter baru yang sama persis dengan milik papamu, “Kami perlu memakai sweter yang sama saat keluar di pagi hari Minggu,” katamu.
Sayangnya, kalian tidak pernah keluar bersama di Minggu pagi—dan seharusnya kau sudah tahu kalau papamu tidak suka pergi ke mana-mana selain urusan kerja. Namun, kau tetap saja marah. Seakan-akan kau baru pertama kali terluka—dan kau mendramatisirnya sedemikan dalam.
Semakin hari kau menginginkan semakin banyak sweter yang persis sama dengan milik papamu. Kau seperti terobsesi pada lelaki itu dan aku mulai merasa lebih cemas dari sebelumnya. Kau sengaja melakukannya untuk membuatmu lebih terluka lagi. Maka aku menolak permintaanmu.
Kau minggat. Kau tidak pulang hingga pukul sepuluh malam. Aku keluar menembus hujan deras. Papamu memutuskan tidak ikut mencari. Ia terus menggerutu dan mengatakan, “Binatang kecil itu mulai nakal.” Kupikir waktu itu aku akan gila. Aku punya seorang anak perempuan yang mulai memberontak dan punya seorang suami yang tidak mau peduli sama sekali.
Malam itu aku tak menemukanmu meski sudah mencari ke rumah teman-teman sekolahmu. Aku pulang dan berharap salah seorang temanmu yang kudatangi berbohong dan sebenarnya kau ada di sana dalam keadaan baik-baik saja.
Besoknya aku keluar kamar pagi-pagi sekali. Sepanjang malam aku berpikir kalau kau belum juga kembali hingga pukul sepuluh—tepat 24 jam aku kehilanganmu— maka aku akan lapor polisi. Aku pergi ke dapur untuk memanaskan sepotong roti. Aku harus punya tenaga untuk bisa menemukanmu. Pada saat itu lah mataku menoleh ke ruang persembunyian kita—sebuah gudang kecil di dekat dapur yang suatu hari kita sepakati sebagai tempat bersembunyi kalau kita bersedih atau ingin lari dari situasi buruk. Dadaku berdebar keras. Tangisku meledak. Aku buka pintu itu dan menemukanmu tidur sambil memeluk sebuah sweter hitam dengan garis putih di leher yang belum pernah kau pakai sekali pun di suatu pagi di hari Minggu.
Pukul sepuluh, aku bukannya ke kantor polisi, tapi kita pergi ke toko pakaian dan menemukan beberapa sweter baru yang warnanya sama dengan milik papamu. Kau menggandengku sepanjang jalan. Kau bertanya, “Jadi siapa yang membuat Mama mati?”
Aku berhenti dan memandang matamu, “Papamu,” kataku.
“Lelaki itu?” Kau bertanya setengah berseru. Aku tertawa kecil. Aku tak mau membicarakannya denganmu. Kupikir kau masih seorang remaja yang tidak tahu apa-apa. Kau mungkin saja tidak akan paham jika kukatakan: hanya hati yang mati bisa hidup bersama seseorang yang telah memilih mati.
Kau mulai sibuk mencuri perhatian papamu. Kau memotong pendek rambutmu, menampakkan leher mudamu. Kau mulai mengenakan sweter setiap hari, meniru papamu. Kau menunggu papamu turun makan malam meski kau tahu ia akan tetap berada di atas sampai pagi. Puncaknya aku menemukan nama papamu di lengan tanganmu, kau tulis dengan tinta biru.
Aku bertambah sedih memikirkan tentang kita semua.
Dan aku tambah sedih lagi setiap melihat kau patah.
Lalu kau mulai membuang harapanmu. Kau tak pernah lagi mencari papamu. Kau menyimpan semua swetermu dalam gudang. Perayaan ulang tahun kau lakukan bersama teman-teman di sekolah atau teman-teman kuliah ketika kau sudah melewati masa remaja dan kau minta aku menyambutmu dengan kue tar kecil di muka pintu, tanpa perayaan apa-apa. “Mama cukup membisikkan sebuah doa,” ujarmu.
Di pintu inilah aku selalu membisikkan doa itu, bertahun-tahun lamanya. Pintu yang dibiarkan saja berwarna kayu. Lalu di ruang tamu ini, persis di samping stoples milikmu, aku meletakkan kue tar kecil itu dan aku berlari ke belakang untuk mengambil pisau pemotong kue. Namun, saat kembali, aku hanya menemukan piring kosong dan kau menahan tawa dengan pipi yang mengembung. Semua tar kecil itu ada dalam mulutmu. Dan aku lama berpikir bagaimana seorang gadis bisa melakukan hal semacam itu.
Hari ini kau ulang tahun. Apa kau ingat? Aku takut kau terlalu menyibukkan diri dan melupakannya. Tadi pagi aku sudah membuat tar kecil—aku memang selalu membuatnya setiap tahun— meski aku tahu kau mungkin saja tidak akan pulang. Dua tahun lalu kau hanya meneleponku dan minta aku membisikkan doa. Tahun lalu kau tidak menelepon dan satu bulan kemudian kau baru ingat dan menertawakan dirimu dan bertanya, “Apa hari itu Mama mendoakanku?”
“Tentu,” kataku, “aku ingin kau menikah.”
“Aku sudah memutuskan tidak.”
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin hidup seperti Mama.’’
Waktu mendengar kau mengatakan hal itu, aku merasa tertusuk hingga memilih menutup telepon dengan sedikit berbohong tentang seorang tamu yang tengah menunggu di depan pintu. Namun, malam harinya, aku tertawa banyak sekali sambil mengulang-ulang kalimatmu sampai aku kelelahan dan tertidur. Begitu pagi, mataku lengket dan sulit dibuka. Kemungkinan besar aku menangis saat tertidur.
Aku menatap stoplesmu. Tampak dingin. Tampak hening. Aku penasaran apa yang bisa dilakukan waktu di dalam sana selain mengekalkan kenangan dalam rumah ini? Barangkali tak ada. Barangkali tugas waktu memang hanya dua. Membuat masa depan dan masa lalu. Dan kita tentu ada di masa lalu itu tepat ketika waktu terperangkap dalam stoplesmu. Tepat lima bulan setelah kau pulang begitu mendengar kabar papamu ditemukan mati di ruang kerjanya dengan sweter merah kekecilan milikmu, yang, tentu saja, diambilnya diam-diam dalam lemari di ruang persembunyian kita (ah, kalau saja kau tahu, kau mungkin akan sangat sedih, saat ditemukan dia begitu berdebu dan seekor laba-laba mulai membuat sarang di rambutnya).
Hari itu kita berdiri berdekatan di kuburan papamu. Kita tidak saling bicara. Kita hanya bergenggaman tangan seolah kita dua orang perempuan yang ditinggalkan seorang kekasih yang tidak tahu cara mencintai —dan kita menyesali hidupnya yang seperti itu. Besoknya kau pergi lagi dan hanya meninggalkan tulisan di secarik kertas yang kau letakkan di dekat stoplesmu: serangga yang tersesat, masuklah.
Sekarang, setelah sekian lama aku menyembunyikannya, haruskah kuberi tahu kalau stoplesmu justru berhasil memerangkap waktu di hari ulang tahunmu yang gelap ini? Ah, kau tidak akan pulang hari ini dan aku tidak suka bicara denganmu di telepon. ***
GP, 2015
Yetti A.KA, tinggal di Padang, Sumatera Barat. Kumpulan cerpen terbarunya Satu Hari yang Ingin Kuingat (2014).
Leave a Reply