Cerpen Ana Mustamin (Media Indonesia, 06 Maret 2016)
INI era narsistik. Siapa pula tengah malam begini sibuk memotret? Tak hanya sekali-dua kali jepret, tapi puluhan, bahkan ratusan. Namun, ia terlalu mengantuk untuk menganalisis lebih jauh. Alih-alih mencari tahu, matanya malah seperti direkat lem. Sulit digerakkan. Lagi pula, ini sudah lewat tengah malam.
Seperti suara itu, ah, rupanya masih bersipongang di telinganya. Mimpi? Bukan. Ia mendengar jelas shutter kamera tengah bekerja. Ia meraih bantal, menyumbatkan ke telinganya. Tapi suaranya justru makin jelas. Sebegitu mendesaknya kebutuhan foto itu, pikirnya. Ia berusaha membuka mata. Tapi sia-sia. Matanya makin kuat terekat. Sementara suara yang menggedor telinganya makin nyaring.
Crack, crack, crack…
Ia mempererat bantal. Tapi suara itu tak juga hilang. Mungkin sebaiknya ia berhitung untuk mengalihkan perhatian.
Crack, crack, crack…
Ia terus berhitung. Dua puluh satu, dua puluh dua…
***
Lobi hotel sepi saat ia menunggu. Sebuah chandelier memikat mata. Ia menghitung butir swarovski yang bergelantungan, mengusir galau. Tak berhasil. Suara pemotretan semalam terus mendengung di telinganya.
“Maaf, saya terlambat! Pesawat delay!”
Mereka kini berhadapan di restoran. Ia bebas menatap sosok di depannya. Persis seperti yang digambarkan oleh asistennya di kantor. Begitu sopan. Setiap bicara sering diakhiri dengan tubuh dicondongkan ke depan. Meski penampilannya tak jauh beda dengan eksekutif perusahaan. Maklum, dia konsultan manajemen. Tapi wajah itu, mengapa rasanya demikian familier?
“Ini bukan pertemuan pertama kita kan, Bu?”
Ia terperanjat. “Kita pernah berjumpa di mana?”
“Di Saoraja! Istana Raja Bugis. Ayah saya pernah diundang beliau. Siapa namanya?
Arumpone? Saya ikut menyeberang dari Jawa ke Sulawesi.”
Tempat yang begitu jauh, batinnya. Bermil-mil dari sini.
“Saya melihat jenengan bermain di bawah pohon mahoni, di halaman istana.”
Astaga! Sesuatu yang begitu musykil. Meski ia tak mengingkari kalau ia merasa pernah bertemu dengan orang itu. Tapi di mana?
Lelaki itu kini menatapnya hati-hati.“Sekarang, saya ingin tahu apa yang terjadi dengan Ibu semalam! Asisten Ibu menugasi saya untuk berbincang dengan jenengan!”
Ia sebelumnya sudah mendengar kisah lelaki ini. Orang yang punya keistimewaan. Mulanya ia enggan. Tapi ia tidak sanggup menanggung pertanyaan yang berloncatan. Akhirnya ia menceritakan shutter kamera yang menyalak sepanjang dini hari.
“Saya baru sadar suara itu berasal dari Ipad saya saat sarapan.”
Ia lalu bercerita tentang keganjilan yang ia hadapi.
Pertama, saat membuka Ipad dan menemukan halaman Instagram terbuka. Meski dipenuhi tanda tanya, ia belum risau. Tapi pertanyaan terus mendengung: siapa yang membuka Ipadnya? Sekuat hati ia berusaha mengenyahkan rasa ganjil itu. Instagram ditutupnya, dan berpindah ke Safari untuk berselancar di internet. Tapi ia kembali dikejutkan oleh pemandangan mencengangkan: delapan jendela terbuka.
“Ada Google Support, News, Web, dan Picture. Tiga yang terakhir menggunakan keyword nama saya,” ia merinding membayangkan seseorang masuk ke kamarnya dan mengoprek-oprek Ipadnya.
“Mohon izin panjenengan. Saya buka file foto, ya!”
Ia mengangguk. “Ada lebih 100 frame. Tampilannya hitam semua. Saya khawatir Ipad saya error.”
“Kemungkinan ya. Tapi kalau bisa menuliskan nama di search engine, itu tidak mungkin tak disengaja.”
“Jadi?” Ia terbeliak. “Seseorang masuk ke kamar saya?”
“Untuk apa? Mengapa Ipadnya tidak dibawa? Posisi Ipad tidak berubah, kan?”
“Ipad tersambung ke listrik. Dalam posisi disarungkan.”
“Mm… ada seseorang yang mengendalikan dari jarak jauh. Remotely.”
Dadanya gemuruh. “Untuk apa? Siapa? Dengan cara apa?”
“Dengan internet segalanya lebih mudah. Orang pintar zaman dulu mengirimkan sesuatu hanya dengan perantaraan angin,” tangannya mengembalikan Ipad. “Jenengan sedang bersaing, bukan? Kalau enggak salah dengar untuk posisi direktur utama.”
“Saya tidak percaya,” jawabnya spontan.
“Jika diizinkan, saya akan ke rumah jenengan. Jangan-jangan ada sesuatu di sana.”
“Kapan? Rumah saya bermil-mil jauhnya dari sini.“
Lelaki itu tersenyum. “Sekarang!”
Ia memandang lelaki yang terpekur itu dengan pikiran campur aduk. Antara heran, merasa ganjil, dan tak percaya.
“Rumah jenengan dua lantai dengan tiga ruang duduk. Saya tadi di ruang duduk belakang, di sofa panjang. Di depannya ada lemari penuh buku.”
Ia terperangah.
“Kamar jenengan di lantai dua, bukan? Sempat saya intip. Ada eyang jenengan berdiri di pintu. Dia cicit Raja Bugis. Dagunya lancip, sedikit terangkat saat bicara.”
Hatinya mulai berdenyar tak keruan. Apa yang disampaikan lelaki itu benar. Tapi, kakeknya sudah puluhan tahun meninggal.
“Di ruang tamu, saya bertemu penasihat spiritual jenengan!”
Aduh! Ini sudah mulai ngelantur. “Saya tidak punya penasihat.”
“Dia eyang jenengan juga. Mungkin dari silsilah ayah. Wajahnya tenang dan bersih. Mengenakan sorban dan gamis panjang. Seorang ulama besar.”
Rasanya seluruh jiwanya goncang. Ia ingat persis masih menyimpan foto sosok yang digambarkan lelaki di depannya. Tapi sekali lagi, sang kakek sudah meninggal tiga puluh tahun lalu.
Malamnya, ia mengidap demam tinggi. Saat terlelap, ia bermimpi melihat dirinya bermain dengan sesama anakarung di halaman Saoraja. Di sekelilingnya para bissu lalu lalang. Mereka mempersiapkan upacara adat. Seluruh arajang, regalia kerajaan dikeluarkan, dibersihkan, dimandikan.
Saat terbangun, ia merasa benar-benar lelah. Lemas terkulai. Sekujur tubuhnya panas. Kerongkongannya tercekat. Energinya entah tersedot ke mana.
Mimpi yang aneh, pikirnya. Ini kali kedua ia menemukan dirinya di Saoraja. Bagaimana mungkin? Rumpa’na Bone berlangsung di tahun 1904-1905. Sementara ia lahir 1970-an dan besar di Jakarta. Seingatnya, baru tiga kali ibunya mengajaknya ke kampong halamannya di Sulawesi Selatan sana.
Mengingat itu, ia merasa kian pening. Percakapan di restoran hotel kembali terngiang.
“Jenengan orang baik. Mereka tidak akan berhasil. Apa yang terjadi di Ipad itu semacam uji coba, sekaligus pesan agar jenengan mundur.”
“Ini sebetulnya ada apa sih?”
“Jenengan akan tahu setiba di Jakarta. Pada awalnya mereka menyerang karena persaingan jabatan. Tapi justru membuat cakra jenengan terbuka.”
***
Untuk pertama kali ia memasuki rumahnya dengan linglung. Si mbak sudah membawa travel bag-nya ke lantai atas. Tapi ia masih terpaku di ruang tamu. Sejak kapan rumahnya begitu ramai? Sejumlah orang lalu lalang. Ada yang cemberut, ada yang tersenyum. Yang paling cantik, berdiri persis di sisi lemari buku. Kulitnya licin. Rambutnya panjang, bergeriap ditimpa cahaya. Saat kepergok, ia tersenyum, lalu mengepakkan sayapnya yang indah dan megah. Sekali kebas, ia melesat terbang. Meninggalkan kerisik di telinganya.
Tiba-tiba ia terkesiap. Orang? Dengan sayap di punggungnya?
Ia menggeleng-geleng dan memejamkan mata. Saat membuka mata, orang-orang… eh peri-peri itu menghilang. Ia bergegas ke dapur. Kerongkongannya kering. Saking bergegasnya, ia hampir menabrak seseorang.
“Mbaaaakk,” pekiknya.
Ia terkejut alang-kepalang. Bukan si mbak. Tapi seorang nenek yang mengomel karena dapur kotor. Astaga! Saat ia ingin bertanya siapa nenek itu, sang nenek sudah menghilang. Ia gemetar.
Di kamar, ia membaringkan tubuh dengan perasaan bingung. Kepalanya kian berdenyut. Diraihnya telepon. Dipencetnya kontak yang sudah terekam alam bawah sadarnya.
“Papa, cepat pulang, ya …” suaranya mengandung isak.
***
Hampir seluruh karyawan berkumpul di kafe kantor. Memonitor televisi. Wajah mereka tegang. Ia yang melintas, urung mampir. Kepalanya ribut, jantungnya bertalu.
Kemarin pagi ia juga melintas di tempat itu. Dari luar dinding kaca ia memergoki dua lelaki berbincang di kafe yang masih sepi. Meski pintu tertutup rapat, dan ruangan kedap suara, entah mengapa ia mendengar semua perbincangan. Tentang Ipad yang berusaha diretas, tentang rencana terbang ke Medan pagi ini, menemui seseorang yang dapat memuluskan pencalonan rivalnya itu.
Ia masuk ke ruangannya dengan tubuh gemetar. Bukan karena marah. Tapi karena melihat bayangan wajah keduanya, yang entah mengapa sulit sekali ia deskripsikan.
Ia keluar lagi dengan gelisah. Bergegas ke kafe. Saking gegasnya, ia nyaris menabrak seseorang lagi. “Nngg… kita jadi meeting besok, kan?” Suaranya terbata.
Lelaki itu tersenyum tipis. “Itu yang ingin saya bicarakan. Kita tunda dulu. Besok saya ke Medan.”
“Oh, bo… bolehkah rencana ke Medan ditunda?” suaranya tak sabar.
Lelaki di depannya mengerutkan dahi.
“Kumohon…”
“Enggak bisa. Keperluan saya mendesak. Kita reschedule meeting kita.”
“Tapi…” rasanya ia mau gila.
Dan hari ini, di ruang kerjanya ia hanya bisa terduduk lesu. Tubuhnya menggigil. Dadanya gemuruh. Dengan gugup, ia meraih remote control, menyalakan televisi.
Reporter masih menyiarkan peristiwa dari lokasi. Tentang pesawat Airbus yang jatuh di Sibolangit. Pesawat dalam perjalanan Jakarta-Medan dan bersiap mendarat. Menara pengawas kehilangan kontrol sekitar pukul 13.30 WIB. Saat peristiwa terjadi, Medan diselimuti asap tebal dari hutan yang terbakar. Pesawat menabrak tebing, meledak dan terbakar. Seluruh penumpang dan awaknya tewas.
Wajah bermandi darah dalam mimpinya seketika berkelebat. Ia menangis sejadi-jadinya. (*)
Catatan:
Jenengan: sebutan paling halus dalam bahasa Jawa untuk ‘Anda’
Anakarung: anak-anak bangsawan
Arajang: regalia, simbol atau panji-panji kerajaan
Bissu: pemuka adat, laki-laki berpenampilan seperti perempuan
Rumpa’na Bone: runtuhnya Kerajaan Bone
Ana Mustamin, menulis prosa sejak 1980-an. Saat ini ia sedang menyiapkan buku terkininya, Perempuan-Perempuan.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI
Leave a Reply