Cerpen Mona Sylviana (Koran Tempo, 06-07 Maret 2016)

Nonsens ilustrasi Munzir Fadly
“SAYA ingin berhenti jadi penulis.”
Hei. Jangan berhenti. Saya pastikan cerita ini menarik. Saya paham. Saya juga tidak suka membaca cerita yang isinya keluh-kesah seorang penulis atau cerita tentang kehebatan seorang penulis atau sejenis itu. Pasti membosankan. Seperti mendengar seorang tua yang berjam-jam membicarakan pengalaman masa mudanya. Seperti mendengar pujian seorang ibu soal masakan anaknya yang hanya mampu membuat telor rebus. Sangat membosankan.
Inti cerita ini adalah….
Ah, kalau saya menceritakan sebuah cerita dan dimulai dengan “intinya”, maka saya bukan juru cerita yang baik. Lagi pula saya belum pernah membuat inti cerita, kalau yang dimaksud adalah tujuh-delapan kata atau empat kalimat dari keseluruhan cerita. Walau hanya 1.500 kata, saya tidak bisa membayangkan cerita rekaan bisa dibuat intinya. Ehm, saya punya pengalaman. Pertama kali saya ditanya tentang apa “Wajah Terakhir”, saya dengan yakin menjawab tentang pembalasan dendam. Sesampainya di rumah saya menyesal. Cerita itu bukan tentang balas dendam. Itu tentang sejarah negara. Apa ya? Tidak. Itu tentang rasisme, eh, tentang relasi keluarga, tentang aktivitas kota…. Akhirnya, ketika ada yang meminta inti cerita, saya bacakan keseluruhan cerita.
Maka, sebaiknya saya mulai dari awal saja.
Latar cerita ini adalah sebuah kafe yang memungkinkan dialog para tokohnya intens. Artinya kafe itu tidak terlalu bising tetapi juga tidak terlalu sepi. Sebuah kafe di Bandung yang lokasinya di Jalan Asia Afrika. Kafe itu menempati sebagian bangunan bergaya Indisch. Jendela-jendela besar. Pintu-pintu besar. Langit-langit tinggi.
Dua orang pelayan baru saja selesai menurunkan kursi terakhir dari meja. Langit juga baru menurunkan hujan. Dari dua belas sofa yang menempel di dinding dan dekat jendela, dari delapan set kursi yang berada di tengah ruangan, baru setengahnya yang terisi. Hari belum larut. Azan malam baru saja menimpa musik latar di kafe itu.
“Saya ingin berhenti jadi penulis.”
Nah, dari situlah asalnya.
Suara perempuan itu pelan tapi berulang-ulang dikatakannya selama lebih dari 10 menit, setara dengan satu perlima putaran “Kind of Blue” yang samar-samar terdengar dari pengeras suara.
“Permisi….”
Perempuan itu duduk sendirian di sofa merah melengkung yang menempel di kaca jendela, dan dari situ ia bisa melihat orang lalu lalang. Cangkir kopinya belum ia sentuh. Ia juga tidak mendengar “permisi” yang sudah dikatakan seorang laki-laki untuk kedua kalinya. Ia baru tengadah ketika petikan bas pelan-pelan menghilang. Perempuan itu menggerakkan kepalanya bukan karena “permisi” tetapi untuk menarik cangkir kopinya dari tengah meja.
“Maaf. Kaget ya?”
Perempuan itu menggeleng, “Ada apa?”
“Saya boleh duduk di sini?”
Mata perempuan itu mengecil, melihat ke sekeliling. Tangan laki-laki itu memegang cangkir yang sama dengan yang ada di mejanya. Cangkir kopi bergambar ranting-ranting kering. Kedua pangkal alis perempuan saling mendekat. Nyaris ia menggeleng.
“Saya mau bertanya.”
“Bertanya?”
“Iya. Kenapa Anda mau berhenti jadi penulis?”
Bola mata perempuan itu berkilau memantulkan sinar lampu yang menyorot dari langit-langit. “Silakan.”
Hei. Jangan berhenti. Saya pastikan hal yang lain lagi. Ini bukan cerita percintaan murahan ataupun yang sedikit mahal. Saya tahu yang ada dalam pikiran Anda. Dari adegan pembuka yang seperti itu Anda seolah-olah bisa menebak akhir ceritanya. Perempuan dan laki-laki bertemu di tempat yang umum untuk memulai sebuah cerita percintaan atau sebuah skenario komedi romantis untuk film Holywood bisa dipastikan, di mana si perempuan setengah mabuk. Mereka saling menceritakan kisah masing-masing dan kemudian mereka bertemu lagi, mungkin sengaja atau tidak sengaja. Lalu beberapa waktu kemudian mereka menjalin hubungan, lalu ada sedikit konflik, tapi kemudian ada kecocokan. Lalu happy ending.
Tidak seperti itu.
“Ada apa dengan menjadi penulis?” Laki-laki itu duduk di seberang si perempuan. Ada kerutan di kemeja yang dipakainya di bagian bawah, tanda bahwa sebelumnya kemeja polos itu dimasukkan ke dalam celana.
“Anda duduk bersama saya dan memulai dengan pertanyaan. Itu pertanda buruk. Bukan untuk saya. Untuk Anda.”
“Oh ya? Saya siap.”
“Anda menjebakkan diri sendiri….” Perempuan itu tidak lagi semuram awan di musim hujan yang terlambat datang. Matanya berkali berkedip. Pantulan lampu membuat mata itu seperti berkilat.
“Saya siap.”
“Berapa waktu yang Anda punya?”
“Berapa pun yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tadi.”
“Tunggu. Kita dengarkan ini sebentar. Ini bagian dari seluruh komposisi dengan tiupan Miles Davis yang dominan….”
“Anda pemusik atau penulis?”
“Sst….”
Laki-laki itu menyenderkan bahunya di sofa. Matanya terpejam. Ia berusaha menangkap suara terompet di antara denting cangkir dan piring, di antara suara obrolan yang seperti dengung lebah, di antara suara klakson dan knalpot.
“Anda tidak menikmatinya ya?”
“Saya tidak mengerti….”
“Ini kan bukan laporan bulanan yang harus dimengerti. Cukup didengarkan.”
“Saya mendengarkan. Tapi tidak cukup mengerti untuk menikmati.”
“Anda penulis?”
“Jelas bukan. Kenapa?”
“Saya suka cara Anda tadi berkata-kata.”
“Oh. Saya suka mengisi TTS.”
“Saya juga. Tapi sudah lama saya tidak mengisi TTS. Sejak ayah saya meninggal. Tapi bukan itu benar alasannya. Sering kali kolomnya tidak bisa saya isi. Dan bukan hanya satu atau dua kolom. Lalu harga diri saya sebagai penulis merasa terusik.”
“Hanya karena tidak bisa mengisi TTS?”
“Ya. Harga diri penulis itu sering kali seperti seseorang yang berkaca di cermin cembung, lebih besar dari yang sebenarnya. Ehm, Anda kerja di asuransi?”
“Bukan.”
“Bank?”
“Bukan juga. Saya kerja di pertambangan. Kenapa?”
“Terlalu serius. Biasanya orang-orang tertawa kalau saya mengatakan soal cermin cembung.”
“Kenapa?”
Perempuan itu mengangkat bahunya, “Mungkin karena mengatakan kekurangan. Banyak orang suka menertawakan kekurangan orang lain.”
“Ya, banyak orang begitu. Ah, sekarang saya bisa menikmati musik ini.” Laki-laki itu meneguk kopinya. Dia terpejam. “Saya heran dengan diri saya sendiri.”
“Kenapa?”
“Saya tiba-tiba menghampiri Anda. Padahal saya sulit bergaul. Kalau rapat itu ini selesai, teman-teman saya suka ajak saya ke kafe. Dan hampir 5 tahun ini saya menolak. Tapi malam ini beda. Ini mungkin takdir…”
“Mungkin. Tapi saya lebih suka tidak melibatkan hal-hal seperti itu.”
“Takdir maksudnya?”
“Ya.”
“Anda percaya Tuhan? Kenapa tersenyum? Pertanyaan itu dari The Judge. Maaf, bukan pertanyaan orisinal saya. Saya percaya Tuhan.”
“Tapi Anda kan tidak 70 tahun dan tidak kanker stadium 4….”
“72 tahun. Nah, nah. Ini takdir. Saya jarang menonton film. Dua malam lalu saya nonton film itu di hotel tempat saya nginap. Filmnya bagus. Film itu terus nempel di kepala saya dan Anda sepertinya tahu bagian yang saya suka.”
“Bukan takdir. Penulis itu satu paket dengan film, musik, lukisan, teater, ya… sejenis itulah.”
“Oh. Saya kelihatan bodoh bicara dengan Anda.”
“Bukan. Saya yang kelihatannya pintar. Tapi ‘kelihatannya’ dan ‘yang sebenarnya’ bukan hal yang sama. Kalau sekarang kita membicarakan soal pertambangan, saya yang sebenarnya bodoh.”
“Anda juga bijak.”
“Kelihatannya….” Dan perempuan itu melihat titik-titik hujan yang jatuh ke trotoar sambil menarik cangkir kopinya hingga ke pinggir meja. “Saya percaya Tuhan. Anda pernah dengar pepatah Yahudi soal Tuhan yang tertawa?”
Laki-laki itu menggeleng. “Apa penulis juga harus tahu agama-agama lain?”
“Ini bukan soal agama. Saya juga tahunya dari Kundera.”
“Kundera?”
“Coba cari di Google. Yang pasti dia penulis dan bukan teman saya. Saya hanya kenal buku-bukunya.”
“Jadi bagaimana dengan penulis, Tuhan, dan Kundera?”
“Anda berbakat jadi penulis. Cara Anda bertanya pas untuk menjadi seorang penulis.”
“Saya tidak ingin jadi penulis.”
“Nah itu juga,” perempuan itu meraih cangkir kopinya. “Banyak orang yang menjadikan itu sebagai cita-cita, tujuan hidup. Makanya ketika sudah punya identitas sebagai penulis, seseorang akan merasa menjadi nabi. Sang pemilik kebenaran. Proses menulis diagung-agungkan. Menulis jadi seolah-olah tidak bisa dilakukan sembarang orang. Hanya mereka yang mendapat ilham yang jatuh dari langit yang bisa menulis. Makanya anda yang mestinya jadi penulis. Anda tak punya pretense apa-apa. Katanya, penulis itu bukan orang yang bisa merangkai kata, sekadar teknik membuat kalimat, tapi cara pandang…. Anda pesan kopi apa?”
“Kenapa? Kopi Lampung.”
“Enak?”
“Saya tidak bisa menilai. Tapi enak kok. Kopi Lampung, Medan, Aceh… sama saja.”
“Ehm, kata adik saya, saya perempuan yang kuat.”
“Karena minum kopi?”
“Bukan. Saya baru mendapat musibah besar. Kata adik saya, itu teguran dari Tuhan. Saat ini seharusnya bisa menjadi titik balik saya untuk berkaca. Belajar dari hidup saya selama ini dan mulai membenahi diri.”
“Hmm….” Laki-laki itu mendekatkan badannya ke meja. Mata hitamnya lurus pada perempuan di depannya yang memegang cangkir kopi. Cangkir kopi yang belum dilihatnya menyentuh bibir perempuan itu.
“Awalnya saya mau bunuh diri. Tapi itu tidak mudah. Saya penakut. Walaupun bukan penganut agama yang taat, saya takut dosa. Saya percaya, saya tidak punya hak mematikan apa yang telah Dia berikan, termasuk tubuh saya sendiri. Lalu terpikir untuk membunuh si penyebab masalah. Tapi kemudian saya berpikir. Selain soal dosa dan hukum positif, kok enak benar si penyebab masalah langsung mati, sedangkan saya yang harus menyelesaikan masalah.”
“Hmm….” Dada laki-laki itu masih menempel di meja. Dia melihat telapak perempuan itu memutar-mutar badan cangkir.
“Saya menulis banyak hal yang mengerikan, banyak masalah yang kompleks. Semua hal yang seolah-olah tidak mungkin menurut logika, saya mungkinkan dalam tulisan. Eh, ternyata, banyak peristiwa yang seolah-olah tidak mungkin menurut logika, toh terjadi di mana-mana. Dan sialnya, sekarang, saya yang ditimpa masalah. Masalah yang menurut perasaan saya tidak mungkin menimpa saya. Kalau senar gitar, saya itu tinggal satu petikan lagi untuk putus. Harusnya saya jadi gila atau setidaknya kena stroke. Tapi tidak keduanya. Itu mungkin yang adik saya maksudkan saya kuat. Jadi….”
“Anda merasa tidak berguna lagi menulis?”
“Ya.” Perempuan itu mengetukkan jemarinya ke meja mengikuti setiap titik hujan yang memercik di trotoar. “Eh, jam berapa sekarang?”
“Jam 9. Kenapa?”
“Sudah waktunya saya pulang.”
“Oh. Tapi Anda belum menceritakan masalah Anda.”
“Oh ya?”
“Ya. Saya yakin benar.”
“Tidak pentingkan?” Perempuan itu berdiri. Memindahkan cangkir kopi ke tengah meja. Tempias lampu beriak di permukaan kopi yang masih penuh. “Nama saya Mona. Ehm, mudah-mudahan takaran sianida di kopi Anda tidak cepat bereaksi….”
Laki-laki itu segera memuntahkan kopi yang ada di dalam mulutnya.
“Maaf. Bercanda… Oh ya, mungkin yang ini takdir. Saya membayangkan bertemu Anda. Lalu saya datang ke tempat ini. Tanpa berpikir. Artinya, kali ini Tuhan sedang tidak tertawa.”
Perempuan itu menuju pintu kaca, bersamaan dengan tiupan terakhir Miles Davis dalam “All Blues”.
“Saya tidak mengerti. Eh, apa benar Anda penulis?” (*)
Mona Sylviana tinggal di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Leave a Reply