Cerpen Y Agusta Akhir (Suara Merdeka, 06 Maret 2016)
Ia tak bisa mengingat lagi, kapan pertama kali bertemu dengan perempuan itu. Soal waktu, ia memang tak pernah menganggapnya penting. Setidaknya tentang perjumpaan pertama dengan perempuan yang bernama Magdalena.
Tapi peristiwa yang mengesankan itu tak mungkin bisa lepas dari ingatannya. Dan, bayangan wajah perempuan itulah satu-satunya yang mengisi batok kepalanya; mengajarkan padanya bagaimana mengingat peristiwa. Tapi, apakah ia tahu itu bernama kenangan? Dan siapa pula yang mengajarkannya makna sekuntum mawar yang sesekali ia berikan pada perempuan itu?
Sekali saja ia menyaksikan peristiwa kecil—yang sebenarnya ia sendiri menjadi bagian di dalamnya—ketika hendak menjalankan tugasnya. Adalah perempuan tua terbaring sendiri di bangsal sebuah rumah sakit. Tidak. Ada seorang tua lain, seorang lelaki, yang sedang menungguinya. Setiap pagi, lelaki tua itu memberikan sebuket mawar kepada perempuan tua yang terbaring tanpa daya itu. Lelaki tua lalu mohon diri untuk urusan pekerjaan dan akan kembali lagi menjelang petang.
where will the wind float
when the sad twilight comes down
to whom do I dedicate the song [1]
Itulah yang selalu dinyanyikan untuk kekasihnya. Lirih saja di dekat telinganya, setiap kali datang sembari menaruh mawar itu di atas meja kecil di dekat kepala sang kekasih yang kesehatannya kian hari bertambah buruk.
Sampai pada suatu hari, perempuan tua itu menemui takdirnya. Sayangnya, lelaki tua datang terlambat, hanya beberapa menit saja. Lelaki tua tetap membawakan sebuket mawar dan bersenandung di dekat telinga perempuan tua yang diketahuinya, setelah itu tak akan pernah dilihatnya lagi.
Beberapa hari setelahnya, lelaki tua terlihat duduk di bangku taman yang berada beberapa meter saja dari tempat tinggalnya. Ia menaruh mawar di sampingnya. Wajahnya menyiratkan kesedihan, tapi mulutnya menyenandungkan sebuah lagu yang selalu dibisikkan di dekat telinga istrinya sebelum meninggal.
Begitulah ia menyaksikan peristiwa itu. Kelak, ketika ia mengingatnya lagi, hatinya tiba-tiba terenyuh, bersedih dan meneteskan air mata.
***
“99 hari. Itu waktu yang lama bagi seorang perempuan menunggu kekasihnya datang! Apalagi, kau bisa mengalahkan cahaya!”
Ia hanya tertawa lirih. Diberikanlah sekuntum mawar jingga kepada perempuan itu. Dulu, ketika pertama kali menerimanya, Magdalena tersentak.
“Dari mana kau mengetahuinya?”
Ia kemudian menceritakan kisah tentang lelaki tua yang selalu membawakan sebuket mawar untuk kekasihnya yang sudah terbaring sakit selama berbulan-bulan, dan akhirnya menjemput ajal.
Magdalena tersentuh hatinya, tapi pada saat yang bersamaan ia merasa geli juga. Bukan karena kisah itu, tapi mawar yang diterima dari lelaki itu.Tawanya kemudian meledak.
“Kenapa?”
“Tidak. Aku hanya merasa bahagia,” elak Magdalena.
Di hari-hari berikutnya, setiap kali ia datang, selalu membawakan sekuntum mawar. Pendeknya, itu jadi semacam keniscayaan. Dan Magdalena benar-benar bahagia karenanya.
Sekarang, pemberian sekuntum mawar itu lebih dari sekadar pemberian. Entah karena sudah lama tak menerima mawar itu, tapi bunga itu sangatlah harum. Tanpa duri, dan seperti memancarkan cahaya. Mawar dari surga, pikir Madalena.
“Sekarang, katakan padaku mengapa kau baru datang? Jangan katakan karena sibuk menjalankan tugas!”
Magdalena tidak sungguh-sungguh mengatakan itu. Ia tidak marah. Tidak sama sekali. Ia sudah mafhum. Lelaki itu pasti datang, dan akan kembali lagi dalam rentang waktu lama atau pun sebentar,bukan masalah baginya. Sebab, sedikit pun ia tak ragu pada cinta lelaki itu. Hanya lelaki itu satu-satunya yang bisa setia pada cinta. Ia sangat memercayainya.
Mereka duduk di beranda menatap langit kelam yang tanpa bulan dan bintang. Angin berkesiur, membuat dedaunan pohon kantil yang tumbuh di halaman bergemerisik. Saat itulah Magdalena kembali bertanya. Masih dengan bercanda.
“Bagaimana kabar lelaki tua itu? Apakah sudah kaubunuh juga?”
“Tidak. Lelaki itu mati dengan sendirinya.”
Di telinga Magdalena, kalimat itu terdengar aneh. Ia berpikir, itu kelakar belaka. Tapi ia pun ragu akan hal itu.
“Bagaimana? Apa yang kau maksud mati dengan sendirinya?”
Lelaki itu kemudian menceritakan pada Magdalena kalau lelaki tua itu bunuh diri karena sudah tak tahan hidup dalam kesunyian. Setahun pertama sejak ditinggal mati istrinya, lelaki tua itu menganggap istrinya seolah masih berada di sampingnya. Itulah kenapa ia datang ke bangku taman, tempat dimana dulu—sebelum istrinya terbaring sakit dan akhirnya meninggal—duduk berdampingan, menghabiskan sore, dan menatap warna lembayung senja. Tentu saja kalau langit tidak sedang mendung.
“Barangkali lelaki tua itu berpikir hidupnya terlalu panjang dan tersiksa karenanya!” Lelaki itu berkelakar.
“Lelaki tua yang malang,” gumam Magdalena.
“Ya, lelaki tua yang malang.”
“Tapi sungguh, ini kisah paling romantis yang pernah kudengar. Apalagi dari lelaki sepertimu!”
Lelaki itu hanyatersenyum.
“Apakah kau tetap mencintaku tatkala kulitku mulai mengeriput?”
“Aku akan selalu datang dengan sekuntum mawar untukmu!”
“Seperti lelaki tua itu?”
“Ya, seperti lelaki tua itu.”
“Dan aku akan terbaring sakit.”
“Aku akan tetap datang dengan sekuntum mawar untukmu.”
“Dan ketika tiba waktuku nanti, apakah kau…”
“Sssst!!” Lelaki itu cepat menyilangkan telunjuknya di bibir Magdalena. “Tuhan takkan suka kita membicarakan hal-hal yang belum terjadi, Magdalena!”
Lelaki itu lalu mengecup kening Magdalena. Kening itu seketika seperti menyala, tapi Magdalena tak menyadarinya. Ia hanya merasakan tubuhnya terasa hangat. Itu kecupan yang pertama sejak mereka saling jatuh cinta, 377 hari yang lalu.
Pendaran kilat di angkasa. Langit seolah retak. Gelegar petir menggemuruh di kejauhan.
“Magdalena, aku mohon diri. Hujan sebentar lagi turun. Mawar ini akan abadi. Simpanlah baik-baik.Cahayanya, aroma wanginya, tak akan pernah redup dan berkurang.”
Magdalena hanya menatap wajah lelaki itu.Bibirnya seperti kelu untuk digerakkan.Ia merasa tiba-tiba ada yang aneh dari lelaki itu. Ada yang aneh pula dengan dirinya sendiri.
“O, ya. Aku akan kembali lagi dalam waktu yang lama. Sangat lama.”
Lelaki itu kemudian berpaling.
Hati Magdalena seketika disaput sedih. Ini tak biasanya. Magdalena tahu itu. Maka ia lebih baik memejamkan matanya. Tak kuasa menatap kepergian lelaki itu. Dan ketika dibukanya kembali kelopak matanya, lelaki itu sudah tak ada.
Sebelum beranjak meninggalkan beranda, ia sempat menggumam, “Sangat lama itu, sebenarnya berapa lama?”
Tapi tentu saja, tak ada jawaban.
***
Magdalena meniup lilin ultahnya yang ke 90. Tidak. Ia sama sekali tidak melakukannya. Suster yang merawatnyalah yang meniupnya.
“Selamat ulang tahun, Nek,” ucap suster itu pelan di dekat telinga Magdalena, yang hanya bisa dijawabnya dengan kedipan mata dan senyum yang nyaris tak kentara.
Membayang di mata Magdalena, lelaki itu datang dengan mawar cahaya di tangannya. Tapi ia segera sadar, itu hanya khayalannya belaka. Mungkin benar kata orang-orang, sebenarnya aku ini sudah gila. Sudah gila sejak muda dulu. Magdalena membatin.
Pada hari ke 10 sejak hari ulang tahunnya, lelaki itu datang. Pandangan mata Magdalena yang sudah kabur, susah payah mengenalinya. Tapi hatinya bisa merasakan kehadiran lelaki itu.
“Akhirnya kau datang juga,” Magdalena membuka suara. Meski agak sulit, tapi masih bisa tertangkap maksudnya. “Aku baru sadar, kau datang untuk melaksanakan tugasmu!”
Lelaki yang sekian jengkal saja jaraknya dari tempatnya terbaring itu hanya bergeming. Samar pandangan Magdalena menangkap cahaya di tangan lelaki itu.
“Apakah itu mawar?”
Tak ada jawaban.
Seandainya mata Magdalena bisa melihat dengan jelas lelaki itu, maka tahulah ia wajah lelaki itu begitu dingin, dengan sepasang sayap di punggungnya. Dan cahaya di tangannya itu bukanlah mawar, seperti yang ia kira.
Magdalena bisa merasakan jemari lelaki itu mengusap ubun-ubunnya. Saat itu hatinya terasa adem, damai. Tapi kemudian jemari itu dirasanya tiba-tiba gemetar.
“Laksanakanlah tugasmu. Tak perlu sungkan. Aku tahu, kau takkan mengkhianati cintamu! Kau, makhluk yang setia, bukan?”
Jari-jemari itu menjauh dari kepala Magdalena. Ada cairan hangat yang jatuh di keningnya. Seketika menjadi cahaya. Saat itu Magdalena mendengar lembut suara kepak sayap menjauh. Tapi matanya terpejam. Sulit sekali dibuka. Ia merasa, tubuhnya begitu ringan. Seperti terbang. Masuk ke dalam cahaya di tangan lelaki itu, yang sebenarnya adalah: kantung arwah! (*)
[1] Diambil dari potongan puisi Emha Ainun Nadjib “Akan Kemanakah Angin” yang di-Inggriskan oleh Iem Brown dan Joan Davis.
YAgusta Akhir penyuka sastra, aktif di komunitas sastra Alit, Solo. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Novel pertamanya adalah Requiem Musim Gugur (Grasindo, 2013).
Leave a Reply