Cerpen Wihambuko Tiaswening Maharsi (Koran Tempo, 12-13 Maret 2016)
PEREMPUAN cantik yang hatinya sedang terluka selalu nampak lebih menarik.
Jangan salah sangka dulu. Tak berarti aku suka melukai hati perempuan: aku hanya mudah sekali tertawan pada seorang perempuan yang sedang bersedih.
Foto Alice yang sedang duduk menghadap jendela dan menolehkan kepalanya ke arah Anna sang fotografer menjadi favorit para pengunjung pameran. Kesedihan Alice tergambar di sana, kesedihan karena Anna telah mengambil Dan darinya. Ia sengaja membiarkan Anna membaca isi hatinya melalui lensa kamera. Para pecinta seni terpesona pada hasil foto itu dan menilainya sebagai sebuah karya yang indah.
Mungkin demikian caraku melihat perempuan cantik yang sedang bersedih: seperti sebuah karya seni yang indah.
“Di sinilah kejutan plotnya: aku tak lagi menjadi tokoh protagonis dalam kisahku sendiri. Tokoh utama lelaki telah memilih orang lain. Lalu aku dianggap jahat karena aku marah dan sakit hati sampai lupa berkata manis,” perempuan itu menceritakan padaku perihal hubungan percintaannya yang kandas.
“Kamu pasti sangat marah.”
“Aku merasa diperlakukan tidak adil,” ia mengatakan itu pelan, tanpa ketegasan. Mungkin ia sendiri ragu-ragu apakah memang benar-benar telah diperlakukan tidak adil.
“Cinta memang tidak adil bagi yang ditinggalkan,” sahutku untuk mendukungnya.
Perempuan itu mengisap rokoknya, menoleh padaku beberapa saat, lantas tersenyum. Keragu-raguan tidak lenyap dari wajahnya.
“Tapi kurasa tidak salah kalau kau mengata-ngatainya, daripada menangis di depannya,” kataku kemudian.
Ia tidak menanggapi. Kepalanya miring sejenak hingga anting peraknya menyentuh kulit pundaknya yang licin. Perempuan itu berambut sangat pendek dan saat itu ia mengenakan gaun bertali kecil pada pundaknya.
Cahaya yang menyorot tempat duduk kami membuatnya kian terlihat seperti patung lilin.
Matanya sekejap berbinar. “Seandainya waktu itu aku menangis mungkin dia tidak jadi meninggalkanku, ya?”
Aku berpikir sejenak, menganggap serius pertanyaannya sebelum perempuan itu tertawa. Ah, rupanya ia hanya bercanda. Aku pun merasa malu.
Kami bertemu karena dijodohkan oleh temannya, yang adalah saudara sepupuku. Aku tidak terlalu berharap penjodohan ini akan berhasil. Lagipula tidak banyak yang bisa kutawarkan padanya.
Perempuan itu sebenarnya terlalu cantik untukku. Aku enggan percaya bahwa orang seperti dia sulit mencari pasangan hingga harus memenuhi janji kencan penjodohan. Mungkin yang ia butuhkan hanyalah teman untuk mendengar keluh kesahnya.
Kami membincangkan hal lain setelah beberapa saat ia bercerita bagaimana ia ditinggalkan kekasihnya dan kemudian dijauhi teman-temannya. Aku merasa heran masih ada kejadian seperti itu di zaman modern ini. Apa yang salah dengan perempuan ini?
Meski ceritanya menyedihkan ia tak tampak tertekan dan menderita. Segala tingkah lakunya anggun dan tenang. Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya tertata, kadang penuh cibiran sekaligus lucu. Kurasa ia sebenarnya seorang perempuan yang cukup pintar.
Aku tidak tahu mengapa aku bisa begitu bersabar mendengarkan cerita patah hati dari teman kencanku di pertemuan pertama ini. Mungkin caranya bercerita yang memikatku, atau mungkin karena alas an yang telah kusebutkan tadi: bahwa perempuan cantik yang sedang bersedih kadang nampak lebih menarik.
Kami meninggalkan tempat tersebut pukul sepuluh, bertukar nomor telepon, kemudian naik taksi yang berbeda: tempat tinggal kami berlawanan arah.
SEHARI setelah kencan tersebut aku berusaha menghubunginya. Namun ternyata nomor telepon yang diberikannya tidak benar. Aku tidak mempunyai ide lain selain meminta nomor teleponnya pada sepupuku.
“Kamu tidak meminta nomornya kemarin malam?” tanyanya.
“Ia sepertinya memberiku nomor yang salah.”
“Wah, kok bisa. Apa nomor yang dia kasih?”
Aku menyebutkan delapan digit nomor yang diberikannya padaku malam itu. Ternyata kurang satu digit. Entah aku yang telah salah menulisnya atau ia sengaja memberikan nomor yang salah.
“Mengapa kamu merasa kami cocok?” tanyaku pada sepupuku setelah kudapatkan nomornya.
“Entahlah, kalian seumur. Maksudku, kalian berdua sudah seharusnya berpasangan.”
“Bukannya ia baru saja putus dari pacarnya?”
“Begitulah. Mantan pacarnya itu temanku juga. Sebenarnya aku sedikit merasa bersalah karena telah menjauhinya. Pacar baru mantannya juga temanku. Dan karena hubungan mereka sedang tidak baik, aku harus memilih. Kami sudah tidak bisa lagi nongkrong bersama seperti dulu.”
“Lalu kamu menjodohkannya denganku untuk menebus rasa bersalahmu itu?” tanyaku. Sepupuku tidak menyangkal.
Sebenarnya aku tidak mengerti. Mereka semua berteman dan mereka tidak ingin pertemanan mereka tidak terasa nyaman, jadi mereka mengorbankan salah satu teman mereka. Prinsip pertemanan yang aneh sekali.
Tapi sudahlah, itu bukan urusanku. Toh dengan prinsip pertemanan yang aneh itu aku jadi mempunyai kesempatan untuk berkenalan dengannya.
Seperti yang kuceritakan sebelumnya, ia seorang perempuan berparas cantik dan aku tidak merasa ada yang aneh dari dirinya. Aku meneleponnya dengan nomor yang kudapatkan dari sepupuku dan ia menyambutku dengan baik.
Ia terdengar senang sekali karena aku telah menelepon, dan meskipun ia mengaku sedang sangat sibuk ia tetap mengiyakan ketika aku ajak pergi berkencan.
Kami berkencan di sebuah kedai kopi.
Malam itu ia mengenakan kaus putih berkrah bulat, celana jeans, dan sepatu sneakers berwarna marun. Aku merasa keliru dengan pakaianku, celana kain dan kemeja bergaris. Formal sekali. Di kencan sebelumnya aku memakai jeans dan kaus sementara dia memakai gaun pendek hitam dengan tali di pundaknya. Jadi kukira aku harus menyesuaikan diri di kencan kedua karena dia mungkin menyukai busana sedikit formal. Ternyata dugaanku salah.
“Hai!” serunya. Ia melambaikan tangan.
“Hai! Maaf kamu harus menunda menyelesaikan tugasmu.”
“Tak apa-apa. Sesekali aku harus melakukan ini. Aku suka kemejamu.”
Aku tersenyum. “Terima kasih, aku suka sepatumu.”
“Aku senang kamu mencari nomor teleponku yang benar,” katanya sambil tersenyum.
“Astaga! Jadi kamu sengaja?”
“Ya,” sahutnya santai. “Aku ingin tahu apakah kamu benar-benar ingin menemuiku lagi atau tidak.”
“Ketika aku meminta nomor teleponmu pada sepupuku aku mempunyai dua pilihan. Kalau nomor yang kamu berikan padaku berbeda jauh dengan nomor yang benar, aku tidak akan meneleponmu. Tapi hanya satu digit berbeda, sehingga aku mengira telah salah mencatatnya.”
Ia tertawa, kemudian mengajakku duduk di dekat sebuah rak yang berisi koran dan buku-buku. Dibukanya buku menu di atas meja, dibacanya dengan saksama. “Aku mau memesan sesuatu langsung ke sana, kamu ingin aku pesankan sesuatu?”
“Kopi hitam saja,” kataku. Aku merasa lega telah nekat meminta nomor teleponnya pada sepupuku. Ia berjalan ke meja tinggi di samping kasir dan berbicara dengan pramusaji dengan akrab. Nampaknya ia sudah terbiasa berkunjung ke tempat tersebut.
“Aku sering datang ke sini. Tempat duduknya nyaman dan tidak terlalu bising,” katanya setelah kembali duduk.
Aku mengangguk setuju.
Kami tidak banyak mengobrol ketika itu. Ia membaca koran sedangkan aku membaca salah satu buku yang kuambil dari rak di belakangku. Sebuah kumpulan cerita pendek. Aku tidak terlalu banyak membaca sehingga tidak terlalu mengenal siapa-siapa penulis yang sedang populer.
Aku membaca beberapa cerita yang ada di sana dan menyukai salah satu di antaranya. Tanpa sadar aku tidak mengacuhkan teman kencanku cukup lama.
“Sepertinya asyik sekali. Apa yang kamu baca?” ia mendekatkan kepalanya ke arah buku yang kupegang.
“Cerita pendek.”
“Tentang apa?”
“Tentang seorang gadis yang bekerja di sebuah restoran, yang selalu menghindar ketika mendapat giliran untuk mencuci piring. Kalaupun harus melakukannya, ia mengerjakannya lama sekali, tidak segera selesai.”
“Mengapa begitu?”
“Karena ia terlalu takut memecahkan sesuatu.”
“Kamu suka ceritanya?”
“Aku belum selesai membacanya.”
Ia kemudian tertawa. Aku ikut tertawa. “Sebenarnya aku yang menulis cerita pendek itu,” katanya di sela tawa.
Aku berhenti tertawa. Aku merasa begitu bodoh dan tidak tahu apa-apa.
AKU menelepon sepupuku begitu sampai di rumah.
“Ada apa meneleponku lagi? Kamu ditolak olehnya?”
“Mengapa tidak mengatakan padaku kalau ia seorang penulis?”
“Menurutmu itu penting?”
“Kurasa hal itu sangat penting.”
“Wah, aku tidak tahu kalau profesi penulis penting sekali untukmu.” Kudengar tawa sepupuku di ujung sana.
“Ia cantik, pintar berdandan, dan ia seorang penulis. Mengapa kamu pikir ia cocok denganku?”
“Entahlah. Kamu pintar, tidak mengerti perempuan, tidak terlalu tampan. Cocok kan?”
“Jangan begitu. Aku serius. Aku benar-benar merasa tidak satu level dengannya. Aku belum mapan. Kamu sendiri tahu aku masih berpindah-pindah pekerjaan. Lagipula, perempuan seperti ia mengapa sampai diputuskan pacarnya? Ia salah apa?”
“Hei! Dengar ya. Cinta itu masalah perasaan. Tidak peduli sesempurna apa seseorang, jika ia tidak berjodoh dengan pacarnya ya mau bagaimana lagi. Sebentar aku mau bertanya, mengapa kamu berpindah pekerjaan lagi? Kudengar kamu mendapat posisi dan bayaran yang bagus di tempat yang lama.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku meneleponmu karena aku ingin tahu tentang temanmu itu.”
“Kamu sudah jatuh cinta padanya ya?”
“Tidak secepat itu. Tapi aku bisa jatuh cinta padanya.”
Sepupuku terdengar menghela napas. “Oke, sebaiknya kukatakan saja,” ia mengatur nada bicara. “Ia putus hubungan karena pacarnya adalah seorang homoseksual. Apakah informasi itu cukup buatmu?”
Aku terdiam.
“Halo? Kok diam? Jangan ragu mengatakan pendapatmu! Silakan saja! Aku sudah cukup sering mendengar orang mengatakan hal yang sengit tentang itu.”
“Mengapa kamu marah-marah padaku? Aku tidak ingin mengatakan hal-hal yang sengit ataupun menghakimi. Aku cuma diam dan berpikir.”
“Baiklah, maaf aku terburu emosi,” suara sepupuku melirih. “Lelaki itu sudah cukup menderita. Dia sudah cukup lama mengingkari dirinya sendiri. Demi siapa? Demi selain dirinya. Meski pernah menaksir berat padanya, aku tidak bisa mendendam ketika dia berpacaran dengan perempuan lain, temanku sendiri pula. Bahkan sekarang, ketika dia memutuskan untuk berpacaran dengan sesama lelaki. Pandanganku padanya tidak berubah, dia tetap seorang lelaki. Kamu pasti menilai aku goblok kan?” suaranya terdengar serak. Jangan-jangan dia menangis di ujung sana.
Aku tidak mampu menjawab. Saat itu aku tidak tahu apakah pria itu, perempuan yang dijodohkan padaku, ataukah sepupuku yang lebih patah hati.
Sepupuku menutup teleponnya setelah bercerita sedikit tentang perempuan yang dijodohkannya denganku. Bahwa ia seorang penulis dan kontributor tetap sebuah majalah gaya hidup, pernah menerbitkan dua buah buku. Profilnya benar-benar menyerupai perempuan idaman masa kini.
Aku tidak langsung menelepon perempuan itu setelah mendapat informasi yang kubutuhkan dari sepupuku. Ia mengirimiku pesan tapi belum aku membalas. Apakah ia menaksirku? Aku tidak tahu. Apakah aku menyukainya? Kurasa sudah jelas.
Beberapa kali aku ditelepon sepupuku menanyakan kabar kami. Aku mengatakan padanya bahwa belum ada “kami”. Aku balik menanyakan kabarnya, juga kedua temannya. Sepupuku malah menangis. Aku benar-benar tidak mengerti perempuan.
GENAP sebulan aku tidak berkomunikasi dengan perempuan yang aku sukai itu, suatu sore aku menyempatkan diri mampir ke sebuah toko buku. Aku langsung menuju ke deretan buku-buku fiksi dan menemukan dua bukunya, salah satunya yang memuat cerita pendek itu yang pernah kubaca tempo lalu dan kebetulan sekali segel plastiknya sudah koyak. Kubuka halaman pada cerita pendek yang pernah kubaca, “Sumie Largo”, dan membacanya kembali hingga selesai.
Aku tidak membelinya saat itu. Tapi sesampainya di rumah aku berpikir keras. Aku merasa siap untuk meneleponnya tapi lagi-lagi kuurungkan niat itu. Aku sempat berpikir untuk menelepon sepupuku tapi aku sendiri tidak tahu akan mengatakan apa padanya.
Seminggu setelahnya, sepulang dari kantor aku mampir lagi ke toko buku. Aku benar-benar tidak bisa mengenyahkan pikiranku tentangnya, tentang berbagai cerpennya. Dalam perjalanan aku mengirimkan pesan pendek untuknya, sekaligus kuanggap balasan pesannya yang sudah lama sekali aku terima, mengatakan aku ingin bertemu dengannya di sana.
Ia tidak membalas. Tentu saja. Ia pasti marah karena lama tak aku acuhkan.
Beberapa waktu aku melihat-lihat buku yang terpajang di rak buku ilmu pengetahuan dan teknologi, sebelum akhirnya berpindah ke deretan rak bagian sastra. Bukunya masih terpampang di tempat yang sama. Aku mengambil sebuah buku yang masih tersegel.
“Kamu tidak ingin meminta tanda tangan penulisnya?” Si Sumie Largo berdiri tidak jauh dariku.
Ia mengenakan blus sutra putih gading dengan pundak terbuka dan rok biru muda sepanjang lutut. Topi laken berwarna hitam terlihat manis di kepalanya. “Itu bukuku yang lain. Ceritanya biasa saja. Tidak terlalu laku karena tidak ada kejadian spektakuler di dalamnya,” ujarnya menunjuk satu buku yang ada di barisan bawah sambil tersenyum.
“Aku bukan penggemar kejadian spektakuler dalam fiksi,” aku membalas senyumnya.
“Aku juga. Tidak semua orang harus mengalami kejadian spektakuler untuk dikatakan benar-benar hidup,” timpalnya.
“Tapi kurasa pengalaman hidupmu dan mantan pacarmu cukup spektakuler,” kataku.
Ia menatap wajahku beberapa saat. “Sepupumu sudah bercerita ya?”
Aku mengangkat bahu.
“Aku menghargai pilihannya. Aku marah karena aku merasa tidak dicintai. Bukan karena hal lain,” jelasnya tanpa kuminta.
“Aku tahu.”
“Kamu tahu?”
“Tentu saja tidak,” jawabku asal. “Aku tidak pernah mengalami hal yang kamu alami itu. Membayangkannya saja sulit sekali,” sambungku kemudian.
Ia tertawa. “Aku merasa bodoh. Mungkin aku terlalu memikirkan diriku sendiri sampai mengabaikan orang lain. Setengah tahun kami menjalin hubungan dan aku tidak menangkap gejala apa-apa.”
“Gejala apa maksudmu?”
“Gejala bahwa hubungan kami sebenarnya tidak ada. Atau jangan-jangan aku merasakan sesuatu, tapi aku tidak berani berbuat apa-apa. Jadinya aku menghindar. Entah berlindung dari apa, entah berlindung pada apa.”
Aku mengangguk-angguk.
“Pasti berat sekali berada dalam posisinya. Aku benar-benar tidak sensitif,” tambahnya. Bibirnya mengerucut, matanya sejenak menerawang.
Aku menggaruk kepalaku. “Ini semua terlalu rumit untuk dijelaskan. Kita selalu takut pada hal-hal yang tidak kita ketahui, bukankah begitu?”
“Mau dijelaskan dari sisi mana? Semua orang akan merasa paling benar dan menyalahkan orang lain. Tapi masalah perasaan sebenarnya mudah dijelaskan.”
“Ini cuma masalah perasaan ya buatmu?” tanyaku.
Ia memiringkan kepalanya hingga anting panjangnya menyentuh bahunya yang licin seperti lilin. “Iya. Tentang apa lagi yang paling benar?”
“Kamu akan berteman dengannya lagi?” tanyaku.
“Kalau aku sudah siap. Aku diputuskan saat sedang cinta-cintanya, jangan lupa itu.”
“Hahaha, seperti remaja saja.”
“Kamu pernah berpacaran sebelumnya?” tanyanya.
“Pernahlah. Hanya saja aku bukan pria yang layak dibanggakan. Aku belum mapan dan sering berpindah-pindah tempat bekerja. Di lain sisi aku dianggap membosankan.”
“Ah, syukurlah.”
“Apa maksudmu?”
“Kukira orang-orang yang terlihat membosankan sebenarnya kebalikannya. Otaknya pasti riuh sekali.”
“Oh ya?” tanyaku dengan mata memicing. Pipiku memerah. Kurasa dia menyukaiku.
Ia tersenyum. Kami berdua berjalan menuju kasir.
“Sumie membuka rumah makan sendiri dan membeli mesin pencuci piring,” tanpa ragu ia memberitahukan padaku akhir cerita pendeknya sendiri.
“Aku tadi sudah membacanya. Akhir cerita yang sungguh mengecewakan. Seharusnya ia terus saja mencoba mencuci piring-gelas-mangkuk meski harus memecahkan semua.”
“Kamu yakin seharusnya begitu?” Bola mata coklatnya nampak bercahaya.
Aku terdiam cukup lama. “Kamu mau minum kopi?” (*)
Catatan:
Adegan foto Alice di atas diambil dari film Closer (2004) garapan Mike Nichols.
Wihambuko Tiaswening Maharsi tinggal di Yogyakarta. Buku kumpulan ceita pendeknya Dunia Simon (2014).
Leave a Reply