Cerpen Isbedy Stiawan Zs (Media Indonesia, 20 Maret 2016)
AKU bergegas menuju stasiun. Kutembus cuaca yang sangat dingin. Tak perlu menyetop bus, sebab aku harus mampir dulu di rumah makan masakan Indonesia, sebelum sampai di Leiden Central.
Rumah makan ala Indonesia itu sepertinya menjadi langgananku karena hanya itu yang kutahu. Pekerjanya semua orang Indonesia, dan yang paling kusuka; ramah dan manis. Tapi, percayalah aku tak tergoda. Kecuali demi memasukkan makanan ke dalam perut agar kondisi tubuhku di suhu di bawah 10 derajat ini tak mudah diserang sakit.
Sengaja tak kutinggalkan pesan, dan sengaja pula kubawa kunci rumah tempat aku bermalam di kota puisi ini—aku menyebut Leiden sebagai kota puisi karena banyak kutemukan puisi di dinding rumah atau apartemen—dan menginap di rumah temanku di Rotterdam.
Cukup jauh jalan kaki dari rumah aku menginap ke Stasiun Leiden. Berburu ingin segera sampai dengan pejalan kaki lainnya, dan tentu juga dengan para pengendara sepeda. Baju hangatku sudah basah oleh gerimis. Jemari tanganku terasa mengejang. Bibirku komat-kamit, tapi bukan karena sedang berzikir.
Pekerja di restoran makanan Indonesia yang cantik itu hanya tersenyum-senyum saat aku keluar. “Jangan bosan datang lagi ya…” katanya seperti menggoda.
Aku tak akan tergoda. Kecuali karena masakan Indonesia yang saat ini sangat kurindukan. Sebab, betapa sulitnya mencari dan menemukan masakan yang berselera di lidahku, yang sesungguhnya amatlah kampungan ini.
Sewaktu di Indonesia, aku tak suka makanan cepat saji dan setara itu. Aku biasa makan nasi dengan lauk jengkol, petai, ikan tongkol, dan sejenis itu. Pokoknya masakan berlidah Indonesia. Dan, ternyata rumah makan masakan Indonesia menjadi favoritku. Alasannya sederhana; murah dan ada pelayan cantik. Bukan hanya cantik, para pelayan di rumah makan itu kerap mengajak mengobrol. Ada saja yang jadi bahan percakapan.
Misalnya, Nunik bercerita bagaimana para anggota dewan yang berkunjung ke Leiden berfoto-foto dengan gadis-gadis bule. Kemudian, ia melihat sendiri, mereka mengirim foto itu melalui Blackberry Messenger, entah kepada siapa.
“Bangga benar berpose dengan perempuan Belanda. Padahal, kami yang tahu bagaimana bisa berfoto, sering ketawatawa saja,” kata Nunik.
Pada kesempatan lain, anggota dewan yang mengaku studi banding ke Belanda, tapi di sini mereka hanya belanja. Lalu main-main ke Red Light District di Amsterdam. “Saya tahu karena mereka yang cerita sewaktu makan di sini,” imbuh Nunik.
Banyak cerita dari Nunik, asalkan kita pandai mengorek. Cerita tentang orang Indonesia di Belanda, tentunya. Selain Nunik, ada perempuan lain yang menjadi pelayan yakni Susi, Entih, dan satunya biasa dipanggil Mbak Pur.
Susi orang Jakarta. Seperti ceritanya, dia punya suami orang Belanda. Katanya pengusaha kapal pesiar. Jadi, kerap tak pulang. “Daripada kesepian di rumah, saya bekerja di sini,” katanya suatu senja. Suaranya mendayu. Matanya berkedip. Bibirnya bergerak-gerak, menggoda.
Kawanku dari Indonesia nyaris terpikat. Apalagi Susi menjanjikan akan menjadi guide mengelilingi Belanda. Sampai-sampai orang Indonesia yang kukenal di Leiden siap menggeser jadwal pulang ke Tanah Air. Ini kutahu dari Susi. Tapi, pada hari yang sudah ditetapkan, sayangnya teman dari Indonesia itu tak kunjung datang. Susi mulai gelisah. Ia kirim pesan kepadaku melalui messenger Facebook; menanyakan orang Indonesia yang katanya aktivis itu.
“Wah, saya tak tahu. Saya mengenal dia sewaktu makan di warung itu. Memangnya kenapa?” jawabku saat Susi bertanya, “di mana Mandar?”
“Dia janji mau jemput aku hari ini. Tapi sudah sore begini tak juga datang. Padahal, saya sudah izin tak bekerja…”
Aku tidak lagi meneruskan messenger Susi. Aku juga tak tahu di mana dan ke mana Mandar karena memang aku tak begitu mengenalnya.
Cuma setiap aku melihat-lihat foto Susi di Facebook-nya, entah mengapa yang tebersit di benakku; ia bukan istri legal orang Belanda itu. Boleh jadi hubungan mereka hanya untuk status. Keduanya bebas melakukan apa saja saat tidak bersama-sama.
“Apa yang tak bisa dilakukan di sini? Ini Eropa, kawan!” ujar Hari, mahasiswa calon doktor di Universitas Leiden, suatu malam saat mengajakku ke sebuah kafe. Kami memesan Jenniver beberapa botol.
Aku yang sudah lama tidak mencicipi minuman beralkohol sempat semaput. Kepalaku nyut-nyut, dan pula agak dipapah. Banyak pelajar asal Indonesia begitu tiba di Belanda, kehidupannya seperti orang Eropa. Minum-minum dan seterusnya.
“Tapi jangan dianggap semua pelajar kita di sini begitu semua. Banyak juga yang benar-benar belajar,” kata Nazar, lelaki tambun asal Surabaya yang juga menemani kami di kafe samping rumah Snouck Hurgronje. Waktu itu malam basah. Dingin menyengat di tengah November. Daun-daun gugur dan pohon tinggal ranting seusai musim gugur. Lebih satu bulan aku di Belanda, dan sepekan di Kota Brugge, Belgia.
***
Sebenarnya aku bertemu Mandar tak sengaja. Saat pengadilan HAM 1965 di sebuah gereja di Amsterdam aku berkenalan. Perkenalan saat kami jeda merokok di luar ruangan sambil minum kopi. Mandar ialah aktivis yang tinggal di Surabaya. Namanya sudah tidak asing bagiku karena ia kerap menulis kolom di surat kabar. Ia juga tahu namaku karena aku biasa menulis cerpen dan puisi, juga di surat kabar.
Selesai pengadilan HAM 1965 itu, ia menelepon. Kukatakan aku di Leiden. Ia menyusul. Kami berjumpa di rumah makan ala Indonesia ini. Berkenalan dengan Susi, Nunik, dan Mbak Pur. Dan, aku berfirasat, Mandar menyukai Susi. Keduanya kerap mengobrol di dapur. Ada-ada saja alasan Mandar ke belakang.
Ketika kutanya, ia hanya tersenyum. Tapi, Susi lebih berterus terang.
“Mas Mandar mau menambah hari lagi di Belanda,” kata Susi. “Ia bisa menumpang di rumahku,” katanya lagi.
Aku mengangguk. Tersenyum. Susi paham. Dia pun membalasnya dengan senyuman.
“Kalau Abang juga mau menunda pulang, sekalian saja sama Mas Mandar,” Susi membuka peluang. Aku hanya tersenyum.
Kini Mandar tak lagi datang menemui Susi. Mungkin ia sudah kembali ke Tanah Air. Barangkali hilang di rimba Belanda ini. Tak begitu kuhiraukan lagi. Aku masih di Leiden. Menghabiskan sisa-sisa hariku untuk riset bagi buku terkiniku, yang akan kuluncurkan setiba di Tanah Air. Itu sebabnya aku jadwalkan satu bulan di Belanda. Sejumlah kota kudatangi, seperti Amsterdam, Rotterdam, Goudha, Leiden, Delf, Antwerpen, Apeldoon, dan lain-lain.
Aku kerap bertemu Susi, juga Nunik. Kami mengobrol, kadang dilanjutkan setelah mereka menutup rumah makan itu. Suatu malam Susi memintaku menemaninya hingga ke rumahnya. Aku dijamu makan tengah malam, di sela kami mengobrol.
“Kalau ada papa, wah makin seru, Bang,” katanya. Aku tahu arah pembicaraannya. Sebetulnya ia hanya ingin menegaskan, kalau ‘suaminya’ sedang tak ada di rumah.
“Ya ya, sayang ya. Apalagi kalau dia suka bermain catur. Kami bisa tanding,” kataku kemudian.
“Waw, sangat hobi. Abang bisa kalah. Dia jago kalau catur,” balas Susi semringah. “Lain kali ke sini lagi ya pas dia ada,” lanjut dia.
Aku mengangguk. Berulang kali aku menguap. Mataku mulai layu. Tapi, Susi terus saja mengajak bicara.
“Maaf, aku sudah benar-benar mengantuk,” ujarku kemudian begitu ada sela untuk masuk. “Apakah masih ada bus atau kereta ke Leiden?”
“Wah, jangan, tidur di sini saja…” sergah dia. Ia memberi sinyal agar aku menuju kamar tidurnya.
“Oke, aku di kursi ini saja,” kataku kemudian.
“Jangan. Rasanya aku tak menghormati tamu. Ayolah ke kamar. Tak apa-apa kok.”
Aku tak mampu menolak. Aku pasrah. Waktu pun bergelinding…
***
Mandar mengirim pesan ke messenger-ku. Ia menanyakan apakah aku masih di Leiden, juga tak lupa apa kabar Susi. Aku balas apa adanya, seterang-terangnya.
“Wah, asyik dong,” goda Mandar.
“Apa yang asyik?”
“Ah, pura-pura tak tahu, apa benar-benar tidak tahu?”
Aku tak langsung membalas.
“Tapi, dia tak cerita kalau kami pernah bermalam di rumahnya?” kembali pesan messenger dari Mandar masuk ke Facebook-ku.
“Mungkin karena aku tak bertanya, jadi dia tak perlu bercerita,” balasku dua puluh menit kemudian, sebab aku masih di atas kereta menuju Apeldoon, sebuah kota bagi hari-hari terakhir penyair Toba, Sitor Situmorang, bersama istri dan anaknya: Barbara dan Leo. Lalu tak ada lagi pesan dari Mandar. Aku juga enggan melanjutkan percakapan.
Saat ini, aku sedang melawan dingin yang mencapai 5 derajat celsius, di Stasiun Leiden. Menunggu Susi sepulang kerja di rumah makan itu. Dua puluh menit kemudian, ia turun dari bus kota. Sebuah payung hitam menutup kepalanya dari gerimis yang amat dingin. Celana jins yang dibalut sepatu hingga lutut, berhak tinggi.
Ia tersenyum. Mengecup pipi dan secepatnya bibirnya menyentuh di bibirku.Dia mengajakku ke loket. Membeli tiket. Terbayang Paris. Dan, Menara Eiffel di tepi Sungai Seine. Kereta akan menembus dingin dan salju.
“Aku sudah pesan kamar. Ada kawanku yang mencarikan, dekat dari Eiffel,” katanya agak berbisik. Kami berangkulan pinggang, seperti pasangan orang Eropa lainnya… (*)
2016
Isbedy Stiawan ZS, penyair dan cerpenis, bermukim di Lampung. November 2015 ia diundang ke Belanda dan Belgia. Ia membaca puisi di Leiden dan Rotterdam. Saat ini ia sedang menyiapkan buku puisi terkininya Melipat Petang ke Dalam Kain Ibu.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain.Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI
Leave a Reply