Cerpen Zainul Muttaqin (Republika, 27 Maret 2016)
Tak ada keahlian apa pun yang dimiliki Darso kecuali menggali liang lahat. Pada hari kematian seorang warga di dekat rumahnya. Ia datang hanya membawa cangkul disanggulkan di pundak. Tubuhnya ringkih, membawa langkahnya terpincang-pincang, tetapi tenaganya berlipat ganda ketika ia mulai mencangkuli tanah, menggali lubang sedalam dua meter bagi yang meninggal.
Ia menolak seseorang yang berniat membantu pekerjaannya. Mulanya warga mengira laki-laki yang rambutnya dipenuhi uban itu tak akan sanggup menggali tanah, namun mereka sungguh tercengang saat Darso menyelesaikan galian liang lahat dalam kurun waktu yang bisa dibilang cepat untuk ukuran lelaki serenta dia.
Laki-laki berusia uzur itu memang datang tanpa diminta oleh keluarga yang berduka. Asal telinganya mendengar di mana ada orang meninggal, ia akan datang tertatih-tatih dari rumah berupa gubuk yang ditinggali di bawah bukit. Tidak hanya itu, kedatangannya sama sekali tak pernah menyusahkan kerabat almarhum. Malah ia datang untuk meringankan, membantu menggalikan liang lahat secara cuma-cuma.
Tak pernah menerima setiap kali salah seorang keluarga almarhum bersalaman, menyelipkan selembar uang pada tangan keriputnya. Serta merta ia bilang, “Kebaikan saya tidak untuk dijual, semoga saja menjadi bekal akhirat. Dan berharap ada seseorang yang mau menggalikan kubur saya kelak saat meninggal, karena hidup sebatang kara,” katanya sembari menahan batuk yang bergetar-getar di dada ringkihnya.
***
Tidak ada yang tahu betul riwayat hidup Darso. Dan tak banyak orang pula ambil pusing soal dirinya. Hanya sebagian orang yang mau menelusuri, mengingat-ingat siapa sesungguhnya lelaki kurus kering itu. Ingatan orang-orang ini baru sadar, ternyata Darso dulunya gemar mabuk, bikin gaduh kampung, dan sempat dipenjara gara-gara tertangkap mencuri seekor sapi milik salah seorang warga di desa sebelah.
Tinggal di penjara berpuluh tahun membuat sebagian orang susah mengingat siapa Darso. Wajahnya tak seperti dulu.Garis-garis keriput membentang terombang-ambing. Jenggotnya tak dicukur sampai lebat, serupa sarang penyamun. Tepat ketika dirinya baru tiga tahun berada di penjara, istrinya meninggal bersamaan dengan suara azan Subuh, dan langit sedang menurunkan gerimis. Sungguh ia terpukul karena tak mendapat izin pulang. Ia meronta-ronta, mengumpati penjaga tahanan, “Kalian benar-benar tak punya nurani!” Sebenarnya pantang baginya menagis selama ini, tetapi saat itu air matanya tak kuat dibendung.
Ia pun tak pandai berdoa, lebih tepatnya tidak tahu tata cara berdoa. Darso tak sembahyang sejak berumur lima belas tahun. Ia terjatuh ke lubang gelap yang mempertemukan dirinya dengan iblis. Kegemarannya mencuri yang tak bisa ia hentikan hingga dewasa memang dimulai sejak usianya baru bau kencur. Tentu waktu itu, ia sekadar mengambil barang-barang yang menurut dirinya—tetapi berbeda menurut si pemilik barang—adalah benda-benda kecil tak berharga.
Darso selalu bungkam bila ditanya, bagaimana dirinya mampu memikat Simar, gadis kembang desa kala itu yang akhirnya dipersunting jadi istri. Dari pernikahannya bersama Simar, Darso tak memperoleh keturunan. Meskipun demikian, lelaki bermata sipit ini tak pernah merobek hati istrinya. Ia berani bertaruh nyawa demi perempuan yang sangat dicintainya itu. Simar pun sama sekali tak pernah berkata lantang pada suaminya.
Tak sempat melihat istrinya dibaringkan di liang lahat, apalagi menggalikan kubur bagi perempuan yang selama empat puluh tahun menemani getir hidupnya. Darso mengutuk diri di balik jeruji, mengumpati dirinya, dan benar-benar merasa ingin saat itu juga tubuhnya disandingkan di lubang kubur bersama istrinya. Itulah mengapa sejak keluar dari tahanan dirinya kerap ingin berbuat baik, tetapi yang ia bisa lakukan cuma dengan cara jadi tukang gali kubur.
Darso juga bisa lebih mengingat kematian kala dirinya menggalikan liang lahat. Ia juga tidak tahu, dan tak benar-benar berharap dosanya yang bergelantungan pada masa silam bisa ditebus dengan menggalikan liang kubur bagi orang-orang yang meninggal. Keringatnya jatuh di atas tanah. Cangkulnya terus-menerus menghantam tanah berbatu. Tak tampak kelelahan dari raut mukanya yang kini kulit-kulitnya keriput digerus usia.
***
“Istirahat saja dulu, Kek,” seorang kerabat almarhum membawakan makanan, ditaruh di dekat lelaki setengah abad itu.
“Saya selesaikan saja dulu. Tinggal sebentar.” Darso berkata tanpa menoleh ke arah lelaki muda yang menghampirinya.
“Apa Kakek tidak lelah? Sebaiknya saya panggilkan penggali yang lain saja.” Sarkab, keponakan dari almarhum, duduk di dekatnya.
“Adakah yang lebih lelah dari menanggung dosa?” Pertanyaan Darso tak dijawab oleh Sarkab. Ia tercekat pada perkataan ini. Dilihatnya Darso, seperti mencari-cari sesuatu yang ganjil darinya. Namun ia tak menemukan apa-apa, kecuali lenguh napas Darso yang naik turun.
“Apa yang Kakek maksudkan?” Sarkab mengernyitkan dahinya dengan mulut setengah terbuka. Matanya mengarah tepat pada laki-laki rapuh di hadapannya.
“Dulu, mungkin semua orang takut padaku. Tak ada yang berani melawanku. Satu-satunya laki-laki jagoan di kampung ini cuma aku. Tapi sayang, tenaga dan kekuatan yang kumiliki digunakan untuk menindas, mencuri dari rumah ke rumah.” Darso mulai membuka ceritanya. Ia duduk di dekat cangkulnya. Tinggal sedikit lagi galian liang lahat selesai. Sarkab mendengarkannya khusyuk. Darso mengatur napasnya terlebih dulu sebelum kembali mengurai peristiwa-peristiwa kelam dalam hidupnya.
“Apalah guna aku sekarang ini? Aku hanya seorang lelaki tua, renta, dan bau tanah yang mungkin sebentar lagi Izrail menjemputku. Sia-sia sudah hidupku. Dulu, aku bisa berbangga-bangga dengan semua yang kumiliki. Lalu apa yang mesti aku banggakan sekarang ini, kecuali dosa yang menumpuk.” Darso menghela napas panjang. Matanya menampung berjuta air yang siap-siap pecah.
“Apa kau menggalikan kubur secara cuma-cuma untuk menebus dosa-dosamu?” Mendengar pertanyaan itu, Darso tersenyum memandangi Sarkab.
“Apakah dosaku yang melebihi luasnya laut bisa terhapus hanya dengan menjadi tukang gali kubur secara cuma-cuma?” Darso balik bertanya. Sarkab tidak tahu mesti menjawab apa. Mata mereka bertautan di antara gesekan pohon yang mengusik di dekat kuburan.
“Aku tidak sedang mencari penebusan atas dosa-dosaku. Aku sedang berusaha menjadi manusia berguna bagi yang lain. Perkara dosa dan pahala itu urusan Allah. Soal aku masuk surga dan neraka itu pun hak Allah. Aku tak ingin pamrih pada Allah atas apa yang kulakukan baru-baru ini.”
Darso mengatakannya dengan nada bergetar-getar. Akhirnya, gerimis merembes dari matanya. Sarkab tersengat sekaligus terhenyak mendengar dengan telinganya sendiri apa yang dikatakan Darso. Daun kemboja jatuh digoyang angin.
***
Hampir satu jam Darso bercerita. Kemudian ia meneguk segelas air putih dan melanjutkan pekerjaannya. Terdengar cangkul menghantam tanah, yang sesekali mengenai kerikil menimbulkan bunyi desing di telinga. Sarkab minta pamit pulang. Matahari sudah mulai condong ke arah barat. Ia mesti menyelesaikan tugasnya sebelum langit berwana kemerah-merahan. Jenazah akan dikebumikan bakda Maghrib.
Gelap lambat laun menyungkup kuburan. Darso pulang tak bilang begitu liang lahat bagi almarhum selesai dikerjakan. Orang-orang kadang tak paham dengan tingkah polah Darso yang tiba-tiba saja menghilang.
Tiba di rumahnya, ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang terbuat dari rakitan bambu. Bayangan tubuhnya dipantulkan lampu teplok bersandar di dinding yang terbuat dari anyaman bambu pula. Darso tak lagi memiliki rumah berupa gedung bertingkat yang dulu pernah ditinggali bersama istrinya.
Matanya menggantung di langit-langit rumah. Ingatannya masih sempurna untuk menelusuri bagaimana rumah mewah, yang sebenarnya dibangun dari uang hasil mencuri terpaksa dijual demi kebutuhan istrinya dan hidup dirinya selama di penjara.
“Betapa sesungguhnya semudah membalik telapak tangan bagi Allah untuk mengubah segalanya,” kata Darso sendiri yang tak lebih suaranya lebih mirip desis. Walau begitu, Darso merasa bersyukur tak ada orang-orang di kampungnya mengutuk dirinya, apalagi menolak kedatangannya selepas keluar penjara.
“Tak pantas kita mengutuk, maupun menolak seseorang yang mau berubah jadi baik.” Kata-kata ini diucapkan oleh salah seorang warga yang mengenal persis siapa Darso. Meskipun orang ini dulunya dibentak, dicaci maki habis-habisan oleh Darso. Karena ini pula Darso senantiasa memperbaiki diri. Tak lagi marah-marah, terlebih mengumpat meski saat ini ada saja orang yang mengusik dirinya, memakinya tak terkira.
“Bagaimana kau mau masuk surga? Sembahyang saja tak bisa. Waktu muda gemar mencuri. Bagaimana kau bisa menebus dosa? Sementara doa saja tak tahu caranya.” Kalimat ini pernah dilontarkan seseorang padanya, tepat ketika berpapasan di ujung jalan waktu itu. Darso diam. Ia melempar segaris senyum. Orang itu memandang bengis melihat reaksi Darso yang sama sekali tak menunjukkan gelagat akan marah.
“Mengapa kau sibuk mengurusi nerakaku? Karena surga saja belum tentu milikmu.” Darso hanya mengatakan ini, selebihnya ia diam dan tak lagi menggubris orang itu ngomel-ngomel tidak jelas.
***
Darso mendengar gerimis pelan-pelan mengetuk genting, saat hendak memejamkan matanya di atas lincak. Lampu teplok bergoyang dihantam angin dari celah jendela. Bersamaan dengan angin mati di ujung daun, hujan berderai dari langit berwarna gelap, Darso terpejam.
Besoknya, ia tidak bangun lagi. Ia telah meninggalkan raganya tengah malam. Sementara pengeras suara dari mesjid baru mengumumkan kematian Pak Lurah. Liang lahat untuk pemakaman Pak Lurah belum digali. Seseorang diutus ke rumah Darso untuk memastikan apakah lelaki setengah abad itu ada di rumahnya. “Darso suada tiada, Darso meninggal,” kata orang itu, lari terengah-engah dari rumah Darso. Para pelayat tertegun, dan hari itu juga mereka menggali dua liang lahat sekaligus. (*)
Pulau Garam, Januari 2016
Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep Madura. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen; Dari Jendela yang Terbuka (2013), Perempuan dan Bunga-bunga (2014).
Lia Swifty
cool^_^
Zainul Muttaqin
Terimakasih sudah berkenan membacanya. Salam
tarnos2014
cerpen yang dahsyat, penuh pesan…