Cerpen Fyodor Dostoyevsky (Jawa Pos, 27 Maret 2016)
Ini adalah Senin Paskah. Udara terasa hangat dan langit tampak biru, tetapi aku terjebak dalam kemuraman. Aku berkeliling menjelajahi sudut-sudut halaman penjara, menghitung jeruji di dalam pagar besi yang kokoh. Sebetulnya aku tidak sungguh-sungguh ingin menghitung jeruji. Aku melakukannya lebih karena kebiasaan saja.
Hari itu adalah hari “liburan” keduaku di penjara. Inilah hari-hari saat seorang narapidana tidak perlu bekerja. Kebanyakan di an tara para narapidana itu memilih mabuk-mabukan dan berkelahi. Yang lainnya bernyanyi keras-keras, lagu-lagu yang menjijikkan. Semua ini berakibat buruk kepadaku. Aku bahkan merasa sakit. Aku tidak pernah tahan dengan pesta-pesta yang dilakukan orang-orang jelata ini. Di dalam penjara, pesta-pesta itu bahkan lebih mengerikan lagi daripada yang terjadi di luar sana.
Pada masa liburan, para sipir tidak merasa perlu berepot-repot memeriksa para narapidana. Mereka sepertinya berpikir bahwa para narapidana harus diberi kesempatan untuk menikmati saat bersenang-senang sekali dalam setahun. Kalau tidak, keadaan di sini akan menjadi lebih buruk lagi sepanjang waktu.
Aku berjalan melewati seorang narapidana Polandia, Miretski. Seperti juga aku, ia dipenjara karena alasan politis. Ia memandangiku dengan tatapan muram, dengan kilatan di matanya dan bibir bergetar. “Aku membenci para pelanggar hukum ini!” desisnya kepadaku dengan suara rendah. Lalu ia berlalu melewatiku. Aku kembali ke selku meskipun aku baru meninggalkannya 15 menit yang lalu.
Saat aku melewati salah satu lorong penjara, enam narapidana kekar memukuli seorang lelaki bernama Gazin. Mereka memukulinya dengan begitu keras sehingga seekor unta pun bisa mati dengan sebuah pukulan seperti itu. Kemudian, saat aku kembali melewati lorong itu, kulihat Gazin tengah berada di luar, kedinginan. Seorang lelaki tinggi besar terbaring di sebuah bangku di salah satu sudut bangsal. Ia terbalut sehelai selimut dan setiap orang yang melewatinya berjalan perlahan. Mereka semua tahu, Gazin bisa tewas karena penganiayaan seperti itu.
Aku membaringkan diriku di bangkuku sendiri, memejamkan mata dan meletakkan tangan di bawah kepalaku. Aku menyukai istirahat dengan cara seperti itu. Tak seorang pun akan mengganggu orang yang sedang tidur dan itu memberiku kesempatan untuk melamun dan berpikir. Tetapi hari ini aku merasa sulit melamun. Jantungku berdegup amat kencang tanpa henti. Dan kata-kata Miretski masih terus menggema di telingaku, “Aku membenci para pelanggar hukum ini!”
Farahdiba afriani
Cuma begitu saja ? Ini cerpen mengesalkan…seperti tulisan tidak selesai, keburu pergi untuk keperluan lain.
duljournal
Saya suka sekali dengan Dostoevsky. Dia bisa menggambarkan sebuah perasaan sulit yang dihadapi oleh manusia dengan sangat rapih. Di tengah kemuraman hidup, ia bisa membuka sebuah celah dalam perasaan sial, bahwa kemalangan apapun dalam hidup, ternyata bisa dinikmati; dengan cara apapun itu. Terlebih di cerita Petani ini, Dostoevsky menggambarkan perasaan seorang manusia yang naik turun, melihat keadaan lingkungannya hanya karena sebuah pengalaman yang tiba-tiba jadi berharga. Sehingga lingkungannya berubah seiring pemahaman yang berubah dari manusia.