Cerpen Ita Siregar (Media Indonesia, 03 April 2016)
HARI ini Sairara menerima dua pesan pendek dari tulang-nya. Pertama, mereka sudah membeli seekor kerbau. Kedua, ia akan menjemput Sairara besok. Sairara meletakkan ponsel. Ia berpikir, pertama, Franz sudah mengirim uang. Kedua, Franz mungkin sudah di Sidihoni.
Membatu ia duduk di bangku kayu di depan rumah panggung aju Irma, adik bungsu ibunya yang tak menikah. Matanya lurus memandangi padi yang dijemur di halaman. Pakaian bergelantungan di tali jemuran yang dikaitkan pada dua pohon kemiri. Aju Irma seorang petani bahagia. Ia menyewakan mesin giling pada petani-petani desa Harian Boho. Ibunya menitipkan dia pada aju Irma setelah peristiwa yang meremukkan jiwanya. Di sini Sairara aman.
Dalam sekejap langit berubah kelabu. Awan bisu. Angin tak ada. Anjingnya, si Bodat, menarik-narik ujung roknya, pura-pura tergolek lemas sambil menguik-nguik setelah mendapat sambutan sandal karet yang membungkam moncong bawelnya. Danau Sidihoni menari-nari di kepalanya. Kemudian sebentuk wajah malu-malu. Mata yang sendu. Pipi kering yang sering ia kecup sambil berseru, holong ni ahu tu ho, songon tu tao i, hasian! Laki-laki muda yang cemberut, mengusap-usap pipinya.
Lalu, berita yang mematikan kesadarannya. Wajah itu tenggelam di danau. Ia masih ingat gemetar kakinya berlari kencang ke arah kebun kopi ayahnya, berputar-putar sambil melempar leher ke kiri-kanan, berharap kabar itu tercampak dari kepalanya. Ia menangis hebat membayangkan mulut itu megap-megap, dada penuh air. Tubuh mati terombang-ambing ke dasar danau, disambut cacing-cacing air. Bagaimana rupa ikan mas kelabu milik kita, hasian, bisiknya. Pipinya dialiri air hangat.
Pulau Samosir yang dikepung Danau Toba mengampu danau-danau kecil di bukit-bukitnya, tenang dengan permasalahan masing-masing. Danau Sidihoni salah satunya. Tahun 1930, keliling danau masih 2,4 kilometer. Tiga kali airnya susut. Tahun 1945, 1961, terakhir 2004, bersamaan dengan tsunami Aceh, yang menyebabkan peretakan di lantai danau dan membentuk lubang besar. Bersamaan dengan kematian Sesar, kekasihnya.
Bukit-bukit di Sidihoni bukan main subur nya. Tujuh belas mata air di sekitar danau tak berhenti membersitkan air jernih. Begitu bening hingga cahaya matahari tembus hingga dasar.
Pohon-pohon kopi ateng—orang menyebutnya demikian karena lebih pendek dari pohon kopi biasa. Sirih, terong belanda, tomat, cabai, andaliman, sayur-mayur hijau, tumbuh di tanah itu.
Mereka sering duduk di tepi danau. Danau yang menyimpan ribuan cerita mereka. Sesar mengeluh soal kemiskinan orangtuanya yang tak mampu mengan tarnya ke Medan, melanjutkan SMA. Mana bisa tanah sesubur ini menghasilkan aku yang miskin ini, sesalnya berkali-kali.
Pergilah ke Medan, sesekali aku jual hasil kebun untuk cari ongkos menemuimu, kata Sesar. Aku takkan ke mana, kata Sairara. Mereka lantas menekuri permukaan danau, memperhatikan tarian ikan mas berwarna jingga atau kelabu. Makhluk-makhluk yang pasrah masuk ke kedua tangkup tangan mereka.
Kadang-kadang mereka berjalan dari Desa Ronggur Ni Huta, mendaki jalan berbatu sepanjang 7 kilometer ke Sidihoni. Di satu lerengnya, Sesar mengajaknya berhenti, memandangi Pusuk Buhit yang hitam dan misterius. Di gunung itulah Ompung Debata Mula Jadi Na Bolon menurunkan laki-laki dan perempuan pertama ke bumi, bukan di Taman Eden seperti di Bibel, ucap Sesar, serius.
Pengkhayal sesat kau! Sairara menggebuk punggung Sesar.
Sadarkah kau? Kau takkan sanggup melawan ayahmu yang pendeta dan aku tidak mungkin meninggalkan ugamo malim, cecar Sesar. Cepat ia menyanyi sembarangan agar telinganya tidak mendengar kenyataan yang diumbar Sesar, yang akan membuat darahnya berhenti mengalir.
Mereka terlalu sering bersama. Saat matahari terik selepas sekolah, mereka terjun ke air danau yang sejuk, mendinginkan kepala mereka yang panas, gara-gara menghafal angka-angka dan omelan guru. Sesar lincah berenang hingga ke tengah sampai kepalanya bagai bola karet yang mengambang di antara buih dan riak yang berkilau. Dadanya berdebar karena matanya tak menemukan jejak kepala itu selama 20 menit. Saat ia sesenggukan di sisi danau, Sesar sudah di dekatnya, meminta maaf, berkali-kali.
Bodat kau! Lain waktu biar kau mati di dalam sana! Puas kau, pekiknya garang.
Kadang-kadang mereka hanya menggoyang-goyangkan kaki di danau sambil saling pandang. Ia ingat alisnya yang hitam, galak. Sorot matanya yang tajam. Hidungnya yang seperti jambu air dibelah. Bibir tebalnya yang menawan. Lembut saat ia menyesakkan bibirnya di sana.
Apa-apaan kau ini, protes Sesar.
Kau akan merindukan itu kalau aku tak ada. Kurang ajar, balasnya. Lalu di antara waktu itu, seorang etnolog dari Jerman mampir ke kampung mereka. Matanya biru, bibirnya tipis berombak, tulang pipinya tinggi. Ia seperti dewa. Tahu segala sesuatu.
Dia mencatat apa saja yang ada di kampung. Danau, hewan, rumput, pohon kopi, onan, wajah wajah, ladang, ruma bolon, bumbu, kuburan. Si bontar mata selalu berada di dekatnya karena di kampung dia satu-satunya yang mengerti bahasa Inggris.
Tiba-tiba Sesar tak lagi menarik perhatiannya. Laki-laki asing itu mengajaknya keliling Samosir. Pertama kali dia menginap di sebuah hotel di Tuktuk, di kamarnya sendiri. Nama hotelnya Carolina. Setiap pagi pegawai hotel itu menyediakan sarapan roti panggang. Franz, nama orang asing itu, mengajaknya ke kafe, galeri, ngobrol dengan perempuan penenun ulos di tepi-tepi jalan.
Di Tomok, Franz menerangkan kepadanya sejarah makam kuno Raja Sidabutar, sigale-gale, batu kursi. Seekor burung kolibri terbang lincah di antara pohon beringin yang berusia ratusan tahun.
Si Jerman mengambil gambarnya berkali-kali. Dari segala sudut, di Desa Siallagan, tangan putih itu menggenggam tangannya erat, seolah ketakutan ia akan terbang. Ia kagum tangan lembap itu lebih lembut daripada tangan ibunya.
Seorang pemandu menjelaskan sebuah lokasi tempat raja melakukan pemenggalan kepala untuk menghukum warga yang melakukan kejahatan. Segera Franz menyelipkan selembar 10 ribuan ke tangan si pemandu.
“Lebih baik kita makan salak daripada mendengar bualannya,” bisiknya.
“Dari mana kau tahu orang itu membual?”
“Karena aku telah mempelajari adat kalian selama ini.” Franz membeli dua plastik salak.
Salak sidempuan berdaging tebal dan manis. Mencicipnya, ia teringat Sesar. Ia menahan dirinya untuk tidak menangis.
“Ia mencintaiku,” ujarnya kepada Sesar.
“Orang Eropa itu begitu adatnya, Sai. Romantis. Kau akan ditendangnya nanti selesai urusannya. Dan, kau hanya dusta mencintaiku seperti mencintai Sidihoni,” sungut Sesar.
Sairara patah arang karena apa yang dikatakan Sesar benar. Pada satu sore ia mendengar Franz berbicara manis di telepon. Ia mengaku itu pacarnya di Jerman. Ketika bangsat itu balik ke Jerman, ia tak mau melihatnya. Lalu gempa bumi melanda desa. Amang Pandita menyampaikan pesan Natal, melarang siapa pun mendekati danau, apalagi berenang atau berperahu. Alam telah memberikan isyarat. Babi, sapi, ayam, tokek, cicak pun mengerti.
Semua orang mendengarkan nasihat itu, kecuali Sesar. Senja ia turun ke danau, menggeret perahunya, mendayung ke tengah. Tak seorang pun menyaksikan ia dan perahunya tersedot ke perut danau. Kalau tak ada yang menyaksikan, bagaimana orang merangkai cerita?
Pada hari yang sama televisi mengabarkan ribuan jiwa hilang tersapu ombak dahsyat di laut ujung utara. Tiga hari ke mudian mayat Sesar ditemukan mengambang di Pangururan.
Rasanya baru kemarin mereka berbaring di rumput memandang langit biru. Ia tahu Sesar menunggunya untuk mengecup matanya atau menjilat rahangnya dengan gemas. Kenangan memburam di matanya.Sungai kecil hangat mengalir di pipi Sairara.
Keesokan harinya tulang menjemput. Tiba di Sidihoni, kerbau sudah disembelih. Dagingnya dipotong dadu sembarang. Laki-laki menyiapkan kayu dan bara api. Perempuan membersihkan bumbu.
Ia memandang rumah adat, sumbangan Franz untuk mereka. Sepasang mata biru mendekatinya. Kau kelihatan sehat, sapa Franz, mencium pipinya. Sekarang ia membenci wajah itu.
Saat itu satu pikiran menyerangnya. Apa mungkin hari ini dimaksudkan pernikahanku dengan si etnolog, bukan merayakan rumah adat itu? Apa semua orang sudah gila?
Ibunya memperlihatkan sehelai kain dan baju untuk dipakainya saat pesta nanti. Dadanya berdebar. Ibu pun sudah gila, pikirnya.
Ketika orang sibuk, ia mengendap-endap keluar rumah, ke arah danau. Di mana ikan kelabu kita, hasian? Di mana kau, Sesar?
Ia merasa tubuhnya disergap dingin. Ia menelan terlalu banyak air, perutnya kembung. Cepatlah muncul, kau di mana, kurang ajar?
Lamat-lamat ia mendengar jeritan ibunya, bersamaan dengan rasa nyeri dadanya, seperti akan meledak rasanya. Lalu dua tangan halus merenggutnya ke udara.
Hasian, jangan lihat aku! Si etnolog ini betul-betul mencintaiku. Bodat-nya dia! (*)
Catatan:
- Tulang: Paman.
- Aju: singkatan dari Inangbaju, artinya tante.
- Holong ni ahu tu ho, songon tu tao i, hasian: Sayangku kepadamu seperti rasa sayangku pada danau Toba.
- Hasian: Sayang
- Ompung Debata Mula Jadi Na Bolon: Sebutan Tuhan Sang Pencipta Semesta oleh agama Malim (agama asli suku Batak).
- Bodat : Monyet
- Onan: Pekan, hari pasar
- Rumah bolon: Rumah khas Batak
- Sibontar mata: sebutan orang bule dalam bahasa Batak
- Among pandita: Bapak pendeta
Ita Siregar, cerpenis asal Sumatra Utara, yang bermukim di Jakarta. Karya-karyanya tersiar di sejumlah media.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI
Leave a Reply