Cerpen Arman A.Z. (Jawa Pos, 03 April 2016)
IA tiba dari negeri jauh ketika Bengkulu digoyang lindu. Awal yang buruk baginya. Setelah sekian pekan terapung di lautan, ia seakan tak diberi waktu untuk berleha-leha. Sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti, ia bangkitkan lagi kota yang oleh penghuninya sempat disebut tanah mati karena nyaris seluruh bangunan luluh-lantak. Dan sebagai Gubernur Jenderal yang baru, ia buktikan bahwa kerjanya lebih keras ketimbang suaranya.
Kuketahui ihwal itu dari Tuan Presgrave, lelaki rambut jagung yang selalu berpakaian rapi dan jika bicara hanya seperlunya. Selaku Residen Manna, Tuan Presgrave meminta kami, enam pegawai pribumi, untuk ikut dalam rombongan. Andai bukan Tuan Presgrave yang bicara langsung di depan mataku, sudah kutampik perintahnya. Usia telah membuat tenagaku susut. Bukan ringan menyusur rimba, menanjak bukit, menuruni ngarai, dan menyeberang sungai. Terlebih lagi, harus kutinggalkan anak bini berhari-hari. Jika masih bujang tanpa tanggungan, usah pikir sepanjang galah, sudah kuladeni itu perintah.
Disuruhnya kami mencari lima puluh kuli—jumlah yang sempat membuat kami heran—untuk memanggul bekal dan perlengkapan. Tenaga mereka harus kuat, bisa mengurus kuda, bisa masak dan cekatan membangun pondok di tengah rimba; imbuh Residen. Mudah belaka bagi kami mengumpulkan para kuli sebanyak itu. Tentu bukan sembarang perjalanan jika membawa orang dalam jumlah besar. Aku baru paham ketika Tuan Presgrave memberi tahu siapa yang akan memimpin rombongan. Baru dua purnama bercokol di Bengkulu, kini ia hendak merambah rimba Pasemah.
***
PERTENGAHAN Mei 1818, kami mulai langkah pertama dari Manna. Sebelum berangkat, ia bertegur-sapa dengan rombongan. Santun lagak lakunya. Kupikir bahasa Melayu-nya fasih juga. Entah di mana dan pada siapa dia berguru. Ikut dalam rombongan, Tuan Arnold, yang dikenalkannya sebagai ahli tumbuhan. Tubuh tuan-tuan bule itu tinggi besar, sebesar nyali mereka menyambangi penduduk asli dan alam asri di pedalaman Bengkulu.
“Mari ambil angin,” ujarnya usai menerima laporan Tuan Presgrave bahwa semua telah siap. Kami meringis. Berhari-hari dalam rimba bukan cara yang tepat untuk pelesir. Kami bawa tombak, kelewang, juga jimat. Lawan yang bisa jadi dihadapi nanti bukan hanya manusia, tapi binatang buas, juga hantu-hantu yang telah bertahun-tahun menghuni hutan. Aku memilih berada di tengah rombongan. Sejumlah kuli jalan kaki di belakang dan kiri kanan jalan. Ia dan istrinya nampak gagah dan anggun di atas kuda cokelat. Keduanya kerap berhenti jika ada yang menarik perhatian; hijau sawah ladang berbandar langit, pohon-pohon menjulang, bukit-bukit di kejauhan, rumah-rumah di pedalaman yang menurutnya berbeda dengan rumah di pesisir.
Matahari tepat di ubun-ubun saat kami tiba di dusun pertama, Tanjung Agung. Beberapa jam kami istirahat usai isi perut. Menjelang petang kami menuju Merambung. Kali ini semua jalan kaki karena rute terlampau curam dan tak mungkin menunggang kuda. Hutan belaka di kiri kanan jalan. Semak belukar menggores betis. Jalan setapak kian menciut dan jerit serangga seolah mengingatkan bahwa tanah ini jarang dilewati manusia.
Esok paginya, terang tanah, kami kembali berjalan. Di Lubuk Tapi kami pergoki jejak rombongan gajah yang jaraknya tak terlalu jauh dari kami. Pukul delapan barulah kami sarapan di bawah sebatang pohon besar. Ia memutuskan menginap dua malam di Pulo Lebar, tempat yang kami capai menjelang pukul lima petang.Para kuli cekatan membangun pondok ala kadar dari kayu, batang pohon, ranting, kain, dan terpal untuk tempat kami tidur.
Lawan kami ternyata kawanan lintah. Mahluk kecil licin berlendir itu diam-diam menyusup ke dalam sepatu tuan-tuan bule, membuat kaki mereka dihiasi tetesan darah. Beberapa kuli cengengesan melihat Nyonya Sophia memekik, memergoki binatang menjijikkan itu lengket di betis putihnya. Tuan-tuan bule mengumpat dalam bahasa yang tak kami pahami. Untunglah kami bawa tembakau. Gumpalannya dibasahi kemudian diurapi di sekujur badan. Tuan-tuan dan nyonya bule yang alisnya berkerut melihat cara kami melindungi darah dari hisapan lintah, akhirnya mengikuti saran Tuan Presgrave. Bagai bocah mendapat mainan baru, mereka terkekeh saat mengurapi badan dengan tembakau basah.
Kami mulai terbiasa tidur beratap langit bertikar bumi. Saat malam, dengan pelita terbatas di tengah rimba, para kuli berjaga bergantian. Sebagian rombongan terganggu tidurnya karena cemas mendengar kehadiran gajah-gajah yang biasa keluar malam, memakan pucuk-pucuk bambu muda. Untunglah hewan raksasa itu tak mengganggu. Hanya lintah-lintah yang tak menyerah, menyadap darah tak kenal waktu. Mereka menempel di dedaunan yang jadi atap pondok, lalu meluncur ke tubuh kami.
Ketika Nyonya Sophia telah tidur di pondok yang dibuat sekadarnya, ia keluar pondok dan mengobrol bersama kami yang berjaga di sekitar api unggun. Bintang-bintang bertaburan. Suara binatang malam bersahutan. Ternyata masuk ke pedalaman Bengkulu bukan hal baru baginya. Kami terkanjat ketika dia berujar bahwa sebelum ini dia sudah pernah membawa rombongan lain berjalan hingga Bukit Kaba. Bisa jadi ia orang Eropa pertama yang mendaki itu bukit.
***
SEORANG kuli lari terbirit-birit menghampiri Tuan Arnold. Wajahnya berbinar dan napasnya tersengal-sengal saat berkata, “Ikut saya, Tuan! Ikut saya!” Keringat membasahi dahinya. “Ada kembang besar! Bagus! Indah!” sambungnya sambil menunjuk ke satu sisi hutan. Saat itu kami sedang istirahat. Tuan Arnold yang penasaran, mengekori kuli itu masuk ke hutan. Beberapa dari kami menyusul. Pemimpin rombongan tak ikut serta karena menemani istrinya yang kelelahan. Hidung kami mengendus bau busuk menyengat. Dada yang sesak karena letih, kian sesak dibuat bau itu.
Tuan Arnold terpana di hadapan sebuah benda yang baru pertama kali dilihatnya. Beberapa langkah di depannya, ada kembang besar teronggok di tanah. Bentuknya aneh, tiada daun, tiada akar, tiada tangkai. Kelopaknya merah bata dihiasi titik-titik berwarna kuning terang. Di bagian tengah ada semacam lubang mirip mulut gentong. Ceruk bagian dalam yang berwarna ungu bisa menampung segalon air. Lalat-lalat hijau berdengung mengerumuni kembang bau busuk itu. Tuan Arnold mengelilingi kembang itu, membenahi letak gagang kacamatanya, membungkuk, berjongkok, mengamati dari berbagai sudut. Tuan Arnold menerka beratnya sekitar dua belas sampai lima belas pon.
Petimun sikinlili. Aku gemetar. Bulu-bulu halus di tengkuk perlahan menegak. Sejak kecil aku sudah diberi tahu datuk, jika masuk hutan, jangan sambangi petimun sikinlili, apalagi mengusiknya. Itu tempat sirih para hantu. Jika melanggar pantangan, aku bisa digondol para hantu, hilang berhari-hari dan ditemukan sedang tidur pulas di batang pohon. Pernah aku dan beberapa teman masa kecil main ke tengah hutan. Begitu terendus bau busuk, kami ambil langkah seribu, pontang-panting keluar hutan. Di benak kami terbayang hantu-hantu sedang pesta menginang. Bila tempat sirih saja sebesar dan sebusuk itu, bagaimana ukuran dan bentuk pemiliknya?
Seorang pegawai Tuan Presgrave ragu-ragu mengingatkan Tuan Arnold agar jangan sembarang menyentuhnya. Dengan kalimatnya sendiri dia jelaskan apa yang kami percayai tentang petimun sikinlili, kembang Pasemah Ulu Manna. Tuan Arnold menatapnya dengan pandangan seolah kami sudah terlalu lama percaya tahayul. Aku dan beberapa pribumi saling berpandangan, sembunyi-sembunyi mengedar pandang ke sekeliling. Serasa ada mahluk tak terlihat sedang mengintai kelakuan kami dengan tatapan nanar menahan amarah.
Kami kembali ke pondok. Seperti baru menemukan harta karun, Tuan Arnold melapor kepada Tuan Presgrave. Setelah berbincang, mereka kembali masuk hutan. Ia membawa buku, barangkali hendak mencatat atau menggambar kembang itu. Membayangkan tulah yang bisa saja menimpa karena mengusik tempat sirih para hantu, aku menghindar. Di Pulo Lebar, sembari merutuk dalam hati, kugenggam erat seluruh jimat.
***
PAGI baru melek, pukul setengah enam, ketika kami tinggalkan Pulo Lebar. Tanah dan dedaunan masih basah usai mandi embun. Bukit-bukit di kejauhan dibungkus kabut. Pukul delapan kami sarapan. Rute paling melelahkan menunggu di depan mata. Mendaki bukit, mengitar lembah, menyeberangi sungai dengan rakit bambu, melewati Dusun Lubuk Resam dan Sindang. Di bawah langit biru, napas kami semua terengah-engah. Bila kaki tak kokoh menjejak tanah berlumpur, niscaya tergelincir. Kadang kami terpaksa menunggu kuli-kuli yang tertinggal jauh di belakang.
Kami menginap dua malam di Dusun Tanjung Alam. Saat itu seorang nenek dari keluarga bangsawan baru saja meninggal. Kaum wanita, tua muda, menjejali rumah duka. Mereka meratap-ratap menggumamkan kesedihan dan rasa kehilangan. Nyonya Sophia heran melihat suasana itu. Keluarga bangsawan hendak menjamu makan. Setelah tuan-tuan bule berunding, tawaran itu ditolak. Mereka tak ingin menambah beban sahibul musibah dengan meladeni perut sekitar enam puluh orang yang kebetulan datang. Kami akhirnya makan dan membuat pondok di sekitar dusun.
Malamnya kami berkumpul di rumah kepala adat. Para tetua mengungkit kisah Parr, penghuni kuburan bule. Beberapa tahun lalu, Parr berkuasa di Bengkulu. Ia terlalu sering menyakiti perasaan kaum pribumi. Di puncak kesumat, ratusan penduduk yang sudah muak padanya, tengah malam mengepung rumahnya dan membunuhnya.
Zaman beralih, musim bertukar. Parr telah berkalang tanah. Penggantinya kini di depan mata. Tabiatnya jauh berbeda dari penguasa sebelumnya. Ia tak memandang sebelah mata kaum pribumi. Saat istirahat di tengah perjalanan, kerap kupergoki ia berbincang dengan kuli-kuli pribumi dan Benggala.
“Air besar, batu bersibak…” Di antara suara-suara yang tumpang tindih, ia menyayangkan kejadian itu. Entah iktikad mengambil hati atau memang dari lubuk hati, dikutipnya kiasan itu. “Jika terjadi pertikaian antara dua bangsa, maka putuslah ikatan. Semua akan berpihak pada kelompok masing-masing.” Air dingin jua yang memadamkan api. Pertemuannya dengan para tetua berbuah perjanjian. Tanjung Alam bersedia berada di bawah perlindungan pemerintah Inggris.
Esoknya, tetua adat menyembelih kambing dan memercikkan darah hewan itu ke sekeliling rumah. Kejadian sama terulang lagi. Para wanita meratap-ratap seakan berharap si mati hidup kembali. Seorang tetua menerangkan, banyak penduduk yang sudah menganut agama, namun kepercayaan kuno masih sulit dihapus. Tetua itu berkisah tentang seorang lelaki di dusun seberang yang kawin dengan “orang halus”, perempuan dari alam gaib. Anak mereka ikut ibunya, jadi orang halus dan tinggal di alam berbeda. Tetua adat hanya terkekeh menyadari tamu-tamu rambut jagungnya terperangah, meragukan cerita itu.
Saat diceritakan Petimun Sikinlili, tetua itu sama seperti kami, menyesalkan tindakan tuan-tuan bule yang hendak membawa kembang itu sampai ke Manna. Potongan kembang itu memang keburu mati dalam perjalanan. Beliau menasehati kami agar hati-hati, jangan sembarang berulah di rimba Pasemah.
***
USAI sudah kami susur tanah Pasemah. Seluma, Manna, dan Kaur, telah dirambah. Awal Juni 1818 akhirnya kami tiba di Bengkulu, setelah kejadian aneh silih-berganti menghambat perjalanan pulang; sebagian rombongan tersesat di tengah rimba, Tuan Presgrave terperosok ke lubang dalam yang tertutup dedaunan, Tuan Arnold sakit perut parah (kami yakin karena telah lancang mengusik tempat sirih hantu), seekor kuda mati karena makan tumbuhan beracun, hujan sepanjang malam membuat semua orang basah kuyup, berpapasan dengan harimau namun raja rimba itu melenggang pergi ketika kami pucat pasi, dan nyaris adu nyawa dengan seorang pemuda dusun yang hendak membalas kematian bapaknya yang dibunuh bule.
Pasir pantai Bengkulu terasa panas di telapak kaki. Aku rindu rumah dan anak bini. Persetan dengan orang-orang Inggris yang mengerumuni Gubernur Jenderal, istrinya, dan tuan-tuan bule; tak menyangka mereka berhasil menempuh perjalanan selama itu. Terendus oleh kami para pribumi, bau busuk berkelebat dibawa angin. ***
Bandar Lampung, 2016
Bahan Referensi
– Buku Bengkulu dalam Sejarah, Firdaus Burhan (1988).
– Buku Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Sophia Raffles (1835).
– Petimun Sikinlili, nama lokal bunga Rafflesia arnoldii. Ada juga yang menyebutnya kembang krabut. Istilah-istilah ini sudah jarang diketahui, kalah tenar dengan nama barunya.
ARMAN A.Z., menulis di media massa nasional dan daerah. Naskah novelnya Hikayat Demang Tuuk masuk nominasi lomba penulisan novel DKJ (2014). Berdomisili di Lampung.
Leave a Reply