Cerpen Fadilah Raharyo (Republika, 03 April 2016)
Wajar kiranya jika ibu cemas dengan keadaan yang kualami saat ini. Umur sudah berlabuh di kepala tiga, namun tak kunjung menemukan pendamping. Teman semasa SMA bahkan sudah hampir rata menikah. Si Johan, misalnya, sudah menikah, bahkan hingga empat kali. Kini, Johan menduda. Ditinggal mati oleh istri pertama dan ditinggal lari oleh tiga yang lain karena ‘hijau mata’. Sebenarnya, ini aib bagi Johan, tetapi nasibnya masih lebih baik daripada aku.
Terlepas dari apa yang kuceritakan tentang Johan adalah aib, yang kualami kini justru aib di bumi serambi Makkah ini. Orang-orang tua di gampong berkata sangat pantang anak gadis belum menikah jika umurnya sudah tepat dia angka 25. Akan susah “laku”, begitu kata mereka.
“Kau tahu berapa umur Cut Nyak Dien sewaktu menikah, Cut?” tanya Nek Beuransah padaku suatu hari saat aku ikut ibu rewang di acara nikahnya Intan, anak Cek Lah, tetanggaku yang menikah begitu tamat sekolah. Sebelumnya, tersiar kabar hingga akhirnya sampai di telingaku kalau sebenarnya Intan menikah muda karena sudah berbadan dua.
“Umur belasan dia sudah menikah. Kau kapan, Cut? Janganlah kau jadi perawan tua seperti Idah anak gampong sebelah. Hingga umur 40 masih belum menikah. Jangan kau jadi aib keluarga.” ucap Nek Beuransah kali ini tegas.
Aku dan ibu saling bertatapan. Sekian detik aku melihat tatapan ibu kian dalam padaku. Seakan, mengiyakan perkataan Nek Beuransah. Kutolehkan kepalaku ke arah Nek Beuransah.
“Seandainya, Cut ini anak Nek Beuransah dan Cut seorang agam berumur hampir 40 tahun, apa Nek Beuransah akan terus mendesak Cut untuk mencari istri? Mungkin bagi Nek Beuransah punya anak perawan tua akan terasa menjadi aib keluarga dibandingkan anak laki-laki yang bujang lapuk. Bukan begitu, Nek?”
Semua mata tertuju padaku. Semua tahu, selama ini tak ada yang berani menyanggah ucapan Nek Beuransah. Kebanyakan hanya mengiyakan apa yang Nek Beuransah katakan mengingat beliau adalah ureung tuha di gampong. Nek Beuransah menatapku getir.
“Mengapa jadi perawan tua lebih dianggap sebagai aib? Bukannya, lebih aib lagi kalau nikah muda karena hamil duluan?” lanjutku kemudian meninggalkan acara rewang. Wajah-wajah sekitarku hanya terpana melihatku pergi.
Beberapa yang lain riuh berbisik-bisik entah karena membicarakan aku yang begitu lancang berkata demikian pada Nek Beuransah. Atau, kabar Intan yang tadi pagi melangsungkan akad nikah memang benar adanya telah berbadan dua.
***
Aku bukanlah perempuan yang tidak normal. Aku pernah punya kekasih sewaktu kuliah dahulu. Firza namanya. Kami bahkan sempat berjanji untuk menikah begitu menyelesaikan pendidikan. Namun rencana tak berjalan seperti yang diharapkan. Firza akhirnya menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. Sejak itu, aku belum pernah lagi jatuh hati pada pria. Sulit bagiku untuk menemukan sosok seperti Firza.
“Cut, sudahlah! Apalagi yang kau tunggu? Tidak kasihan kau sama ibu?” Sergap ibuku sesampainya aku di rumah sepulang dari kantor.
“Cut capek sekali, Bu. Banyak sekali pekerjaan yang menumpuk di kantor tadi.
Cut mau istirahat,” ujarku sambil meminum segelas teh hangat.
“Ibu sudah tua, Cut. Ibu sudah sangat ingin menggendong cucu. Selama ini, ibu cuma bisa menggendong cucu teman pengajian ibu yang sering dibawa ke meunasah,” ujar ibu sambil melinting beberapa ranup.
“Ada yang datang hari ini dan menyediakan 50 mayam, Bu?” tanyaku sambil melepas jilbab yang seharian ini membungkus kepalaku.
“Kau gila, Cut. Mahar yang kau minta itu sungguh tak masuk akal. Harga emas sedang naik, Cut. Tentu itu akan sangat memberatkan bagi pria yang ingin menikahimu.”
“Itu persyaratan yang sudah tak bisa ditawar lagi, Bu. Kalau pria itu benar-benar ingin menikahiku tentu dia tak akan mempermasalahkan harga emas yang kian naik.”
“Kau ini. Kalau saja maharmu tak setinggi yang kau minta mungkin saat ini ibu sudah menggendong cucu.” Ibu menatapku. Mulutnya yang sedari tadi mengunyah campuran ranup, kapur, dan gambir kini berhenti.
Alisku kembali hampir beradu.
“Cut rasa, mahar itu sudah layak untuk Cut. Si Risna, staf Cut di kantor saja maharnya 30 mayam.”
“Masa maharku harus lebih rendah dari Risna, Bu? Apa kata orang-orang nanti,”
lanjutku.
“Sejak Firza menikah dengan gadis itu tak sekali pun ibu lihat kau dekat dengan seorang pria. Jangan bilang kalau kau masih mengharapkan Firza dan menunggu masa dudanya? Atau, kau berharap jadi istri mudanya?”
Aku kaget mendengar perkataan ibu. Tanganku bergetar hebat. Keringat dingin mulai keluar dari pori-poriku. Bertahun aku mencoba menghilangkan perasaan padanya. Namun, dua bulan lalu kehadirannya pada pesta pernikahan sahabatku membuat duniaku tiba-tiba kembali berwarna. Sepintas, aku lupa kalau dia adalah suami orang. Sedetik kemudian, aku tersadar, namun detik setelahnya aku coba menepis kenyataan itu. Entah dari mana asalnya rasa itu kembali hadir.
Sejak pertemuan itu, aku dan Firza sering bertemu di berbagai tempat. Kami mengunjungi tempat yang biasa kami datangi dulu. Tentu saja, pertemuan itu kami sembunyikan dari orang-orang terdekat kami. Aku dari ibuku dan Firza pada istrinya. Selingkuh? Ah, aku tidak pernah ambil pusing dengan hal itu. Akal logisku seakan buntu dikalahkan euforia akan cinta lama yang kembali hadir.
“Asal kau tahu, Cut, aku tak pernah bahagia bersamanya. Aku pernah mencoba menceraikan istriku karena kau tahu, betapa tersiksanya hidup dengan orang yang tidak pernah aku cintai. Tapi, lagi-lagi orang tuaku mengancamku,” ujarnya padaku saat kami bertemu.
Aku iba padanya. Rasanya, aku ingin mengajaknya pergi jauh membebaskannya dari kehidupannya sekarang menuju tempat yang benar-benar baru bagi kami berdua. Hanya kami berdua. Namun, aku belum siap untuk saat ini.
“Kau jangan berbuat yang tidak-tidak, Cut. Jangan ganggu rumah tangga orang lain. Ibu tak akan merestui. Kau besar dalam lingkungan yang menjunjung tinggi adat dan syariat,” tukas ibu kali ini dengan nada tegas membuyarkan lamunanku.
***
“Sejak kecil, kau sudah diajarkan tentang agama. Tentang syariat yang mendarah daging dalam sendi kehidupan kita sebagai masyarakat Aceh. Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut. Kau tahu apa maksudnya kan, Cut?” tanya ibu sambil terus menguyah ranup.
“Adat dan syariat laksana ruh dengan jiwa. Kita masyarakat Aceh, ruh dan jiwanya telah menyatu dengan hukum syariat. Adat bak pho teumerehom, hukom bak syiah kuala.
Adat dari raja dan hukum syariat dari ulama. Hukum manusia dan hukum Tuhan saling menguatkan, seperti zat dengan sifat. Sepeti ruh dengan jiwa. Jangan lupa akan jati dirimu, Cut.” lanjut ibu.
Beberapa saat, kami saling diam.
“Tidak bisakah lagi kau ubah persyaratan mahar kau itu, Cut? Ibu tak rela kau disebut perawan tua. Masih banyak pria di gampong ini yang mengharapkanmu Cut. Kau ini masih cantik untuk ukuran seusiamu,” ujar ibu memecah keheningan sambil meludah pada baki tempat sisa ranup yang habis dikunyah.
Bagi kami, masyarakat bumi Serambi Makkah, menikah dengan mahar emas merupakan sebuah tradisi. Jarang mahar diberikan dalam bentuk seperangkat alat shalat, seperti yang lazim di tempat lain. Seperti sudah menjadi kewajiban mahar diberikan dalam bentuk emas. Biasanya, paling sedikit yang harus disediakan oleh pihak pria adalah 10 mayam emas. Itu standarnya. Mayam adalah takaran emas yang berlaku di masyarakat kami. Satu mayam emas lebih kurang sama dengan emas seberat 3,3 gram.
Besarnya nilai mayam menggambarkan kedudukan sosial keluarga wanita di lingkungannya. Selain itu, latar belakang pendidikan wanita juga berpengaruh pada besarnya mayam. Maka, wajar saja kalau aku meminta 50 mayam emas sebagai maharku. Namaku punya kata “Cut” di dalamnya yang berarti aku dari kalangan bangsawan. Belum lagi, ditambah aku PNS dengan posisi kepala bagian di kantor gubernur.
Berita tentang permintaan mahar langsung menyebar ke lingkungan sekitar rumahku. Berbagai tanggapan mampir ke telingaku. Ada yang bilang aku sungguh keterlaluan. Namun, ada juga yang bilang kalau nilai mayam itu sangat pantas untukku. Memiliki nama Cut, PNS kepala bagian di kantor gubernur, dan cantik pula.
***
“O iya, tadi sore Cek Mala singgah kemari,” kata ibu memberikan informasi padaku.
“Mau cari perkara apa lagi janda itu?” tanyaku.
“Cek Mala cuma mengingatkan saja. Kau jangan lagi dekat-dekat dengan Burhan,” jelas ibu.
“Baik Bu. Besok Cut akan menjumpainya. Cut akan selesaikan masalah kami,” jawabku.
“Tapi, Cut…” Ibu menggantungkan suaranya.
“Cut Meurah Intan juga kemari sebelum Cek Mala datang.” Lanjut ibu.
“Ada urusan apa dia kemari?”
“Dia cuma bilang agar kau jangan terlalu ramah dengan Hasbalah. Bulan depan, mereka akan menikah.”
“Sudahlah, Bu. Cut tidak pernah macam-macam dengan pria-pria itu. Cut juga tidak mau mencari masalah dengan perempuan-perempuan itu. Asal mereka tahu, pria-pria itulah yang mendekati Cut. Bukan Cut.” Aku membela diri.
“Iya, Cut. Ibu tahu. Maka dari itu, kau harus segera memutuskan. Hilangkan gengsimu itu. Terimalah siapa yang datang melamarmu. Kau tentu ingat sabda Nabi yang pernah Tengku Ibrahim sampaikan saat pernikahan sepupumu si Ulfa. Perempuan yang berkah itu adalah perempuan yang murah maharnya.”
Ah, masalah mayam ini benar-benar mengikis pikiranku. Benar kata ibuku. Nilai mayam itu begitu besar. Aku melangkahkan kaki menuju kamar meninggalkan ibu yang masih sibuk dengan ranup. Sesampainya di kamar, kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Kuamati langit-langit kamarku yang sudah kutinggali sejak aku kecil ini.
“Masih pantaskah mayam sebanyak itu untuk umurku yang kini kian menua? Masih pantaskah mayam sebanyak itu dengan kondisiku saat ini?” batinku.
Aku mengambil tas dan mengeluarkan ponselku. Kubaca sebuah SMS yang kuterima tadi sore dari pria yang pernah berjanji untuk menikah denganku namun akhirnya menikahi gadis lain. Pria yang sejak dua bulan terakhir ini kembali mengisi hidupku. Kubaca SMS itu dengan bibir kelu.
“Akan kuberikan kau lima puluh mayam asal kau lenyapkan dia. Kau pernah kuantar ke rumah Mak Radiah Si dukun beranak itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Tiba-tiba, bayangan Cek Idah dan Intan hadir. Bayangan mereka berdua tertawa cekikikan mengejek aib yang harus aku tanggung.
“Kenapa jadi perawan tua lebih dianggap sebagai aib? Bukannya lebih aib lagi kalau nikah muda karena hamil duluan?”Aku langsung teringat perkataan yang pernah kukatakan kepada Nek Beuransah saat rewang di rumah Intan.
“Ibu ingin sekali menggendong cucu, Cut.” Bayangan ibu hadir tersenyum padaku.
Seketika, bulir air mata mulai mengalir di pipiku. Bibirku menggigil seraya mengucap sebuah kata yang tak henti-hentinya terucap. Istighfar. Aku bermohon ampun pada-Nya. Tanganku terus mengelus-elus perutku. Aku tak percaya lagi dengan ucapan pria itu. Cukup sudah. Aku tak butuh lagi mayam. (*)
Kosakata:
Gampong : Kampung atau desa.
Rewang : Tradisi membantu saudara, tetangga yang sedang melaksanakan pesta atau perhelatan adat dimana membutuhkan tenaga bantuan untuk mengurus konsumsi (memasak).
Agam : Anak laki-laki. Lawan kata dari inong yang berarti anak perempuan.
Ureung Tuha : Orang tua. Sesepuh. Yang dituakan.
Meunasah : Mushala, balai pengajian.
Fadilah Raharyo. Lahir di Binjai. 14 Mei 1988. Seorang banker penikmat sastra. Cerpen-cerpennya pernah di muat di Harian Analisa, Annida Online, dan Republika. Kini, pegiat Relawan Literasi (RELI) Aceh.
Leave a Reply