Cerpen Hanafi Akbar (Republika, 10 April 2016)
“Aku tidak pernah menyesal menjadi suamimu, bidadariku,” seuntai kalimat yang meluncur tulus dari bibir Ahmad Syahroni menghujam dada sang istri sembari membersihkan kedua kakinya dengan penuh cinta.
Ahmad Syahroni, lelaki dengan mata sipit, berambut hitam membelah pinggir, berbibir tipis, berkulit putih sedang membersihkan telapak kaki istrinya, Aisyah Lathifah. Seorang istri yang dinikahinya enam bulan yang lalu. Perempuan yang sama sekali tidak dipercayainya akan menjadi teman hidupnya.
Ia merupakan mukjizat kesepian sang Adam menuju bumi pembaringan keturunannya bersama Hawa. Aisyah Lathifah sendiri merupakan anak ketiga dari putri kiai kampung, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah, Haurgeulis, Kiai Mundzir Mahmud.
Ahmad Syahroni adalah santri kebanggaan Kiai Mudzir. Kebanggaan yang mencuat dari dada sang kiai bukan karena kecerdasan dalam dirinya. Intelektualitas yang dibanggakan oleh pembual parung waktu. Bukan pula ketampanan yang membuat kedua mata perempuan asyik memandang terperangah. Kekaguman atas karismanya sebagai santri berprestasi yang membuat santriwati lupa dengan hafalannya. Ketertarikan sang kiai karena kepatuhanya serta hormat-takzimnya kepada sang kiai yang kurang begitu bisa dimiliki oleh santri lainnya.
Kiai Mundzir menjodohkannya dengan putrinya, Aisyah Lathifah. Entah apa yang membuat sang kiai menaruh kepercayaan kepada Syaroni untuk menjadi imam hidup putrinya. Rasanya tidak lazim bagi seorang santri menanyakan mengapa ataupun bagaimana, baginya seorang santri hanya dituntut untuk patuh dan selalu melaksanakan apa kata titah orang tua.
Aisyah adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kiai Mundzir tidak memiliki anak laki-laki. Dua adik Aisyah sudah menikah. Kedua adiknya menemukan pasangan hidupnya sesuai yang diinginkannya. Meskipun awalnya mereka berdua menolak untuk mendahului kakaknya dalam hal membangun rumah tangga, takdir berkata lain, belum ada yang mau meminang Aisyah Lathifah.
Bukan karena kecantikan yang dimilikinya atau bukan karena kecerdasannya sebagai putri kiai yang menguasai studi keilmuan agamanya, melainkan ketidaktertarikan lelaki kepadanya lantaran ia tidak memiliki fisik yang normal, kedua kakinya lumpuh total.
***
Awalnya, Ahmad Syahroni terkejut tatkala sang kiai yang dihormatinya itu memintanya untuk segera menikah. Namun, ia sadar betul, dengan siapa dirinya menikah. Dengan apa ia menghidupi rumah tangganya? Sedang ia belum bekerja dan masih berumur dua puluh dua tahun. Tak pernah terbetik dalam dirinya untuk menikah di usia muda, meskipun beberapa temannya di kampung sudah menikah dan mempunyai anak.
“Mad. Bapak mau cerita sama kamu,” ujar sang kiai kepada Ahmad Syahroni.
“Dulu ada seorang pemuda saleh dan sangat taat kepada Tuhannya dan mencintai agamanya dengan sepenuh hatinya. Tetapi, sang pemuda tersebut memiliki wajah buruk dan dipandang menjijikkan bagi yang memandangnya. Ia kemudian menikah dengan seorang perempuan yang sangat cantik, memiliki fisik yang sempurna, dan sangat anggun.
Keduanya berjalan-jalan menikmati udara pagi. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang ulama yang berpengaruh di desanya. Ulama memandangi kedua pasangan ini sambil tersenyum-senyum. Perempuan tersebut lantas terlihat risih dengan sikap sang ulama, dan bertanya, ‘Maaf, Tuan. Apa maksud tatapan seperti itu?’
Sang ulama menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa. Maaf saudari. Mengapa Anda mau menikah dengan pemuda yang sangat beruntung ini?’ Perempuan tersebut dengan spontan menjawab, ‘Aku adalah perempuan yang kotor dan penuh dengan dosa, Allah menjadikannya imam hidupku sebagai penjemput pahalaku serta menjadikanku sebagai karunia atas ketaatannya kepada-Nya’.”
Melalui kisah sang Kiai, Ahmad terus berpikir dan merenung mengenai makna di balik ceritanya itu. Sampai pada akhirnya tak ada keraguannya sedikit pun untuk menikahi putri sang kiai. Cibiran yang datang selalu ditampiknya dengan biasa dan selalu berhusnuzhan. Bagaimana mungkin keputusanya untuk menikahi putri pertama kiai besar dianggap orang-orang sebagai upaya politik licik demi kekuasaan?
Alasan sang kiai yang tak memiliki anak laki-laki menjadi jalan untuk menghakiminya, kalau dirinya adalah santri penjilat yang akan dinobatkan sebagai pengganti kewibawaan kiai dan pemangku pondok pesantrennya. Tapi, Ahmad mencoba menyikapinya dengan enteng dan penuh dengan sifat ketidakmautahuan atas apa yang dicibirkan tentangnya.
***
Waktu menunjukkan sepertiga malam. Dingin. Menusuk. Selimut tebal sarung membalut manusia yang malas untuk bangun, ataupun membasuh wajah mereka dengan air wudhu serta menghabiskan malamnya dengan percikan senandung Alquran dan shalawat kepada kekasih-Nya.
Ahmad Syahroni terbangun. Ia mengusap wajahnya yang masih lusuh. Mengencangkan sarungnya kembali. Ia tak melihat sosok istri yang dipujanya. Tak ada tanda aroma tubuhnya yang khas. Dari bilik kamarnya terdengar suara dari ruang tamu yang begitu indah. Lirih dan sangat lembut. Ahmad Syahroni memperhatikannya dari jauh, kemudian mendekatinya dengan langkah pelan, tepat berada di belakang tubuh istrinya. Ia mendengarkan suara istrinya yang penuh dengan ketenangan dan penuh harap. Sang istri tak mengetahui keberadaan suaminya.
“Ya Zakriyya innaa nubasyiruka bi-ghulaami ismuhu yahya lam naj’alahu min qabli samiyya. Qala rabbi anna yakuunuli ghulamun wa kaana imra’atii aaqiran wa qad balaghtu min al-kibari ‘ithiyya.”
“(Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakaria berkata: ‘Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua)’.”
Aisyah membaca ayat 7-8 surah Maryam itu dengan tersedu-sedu, terdiam, kemudian menitikkan telaga beningnya yang tak sempat diusapnya.
Sudah sekian malam sang istri terus melantunkan ayat itu. Tak lama ia terdiam sambil mengusap air matanya. Ia tak tahu ihwal apa yang membuat sang istri begitu hanyut dengan ayat yang dibacanya. Muncullah dalam benak Ahmad untuk segera menenangkan hati sang istri tanpa harus bertanya mengapa dan bagaimana. Ayat yang dibacanya sudah menggerakkan hatinya. Aisyah begitu sangat mendambakan keturunan dari hasil buah cintanya selama ini.
***
Ahmad dengan spontan dan penuh hati-hati mendekap tubuh sang istri dari belakang. Ia mengembuskan napas hangat dalam setiap kelembutannya. Mengusap air mata istrinya dengan serban hitamnya. Ia mengambil Alquran yang digenggam istrinya, lalu meletakkannya di meja. Ia merenggut tangan sang istri sembari mengusapkan di wajahnya yang bening. Kecupan hangatnya mendarat tepat di tangan dan kening sang istri.
“Allah adalah segalanya, Dik. Tak ada yang dapat menentang takdir-Nya.
Kesungguhan kita dalam berikhtiar selalu menjadi pertimbanganya. Bukankah Allah berjanji tidak memperlambat doa hamba-Nya dan membuat mereka putus asa. Doa yang dipilih-Nya, bukan doa yang diinginkan hamba-Nya,” ungkap Ahmad sambil menaruh pipinya di pangkuan sang istri.
Aisyah terharu, dan rasa takut akan hasil pernikahannya semakin berlarian.
Kini, ia hanya menyaksikan wajah suaminya yang gagah dan sangat menaruh cinta terhadapnya. Begitu juga sebaliknya. Ia bersyukur Allah telah mengirimkan lelaki yang menerima apa dan bagaimana keadaannya.
Termasuk, dirinya yang belum menjadi kesempurnaan layaknya istri yang normal dan bisa memanjakan suaminya. Kondisi kedua kakinya yang tidak normal menjadi luka yang menyeramkan, dan hal itu akan berimbas pada rahimnya.
Kemudian, Ahmad mengangkat tubuh sang istri dari kursi rodanya. Ia selalu berjanji untuk tetap bersamanya sampai kapan pun itu. “Allah masih menyimpan doa kita untuk memiliki keturunan, Dik. Malam ini Dia mempersaksikan malaikat untuk kita berikhtiar lagi, menumpahkan segala yang halal pada tubuh kita.” (*)
Hanafi Akbar. Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Negeri Yogyakarta. Penikmat sastra.
Leave a Reply