Cerpen Farrahnanda (Koran Tempo, 09-10 April 2016)

Coup de Grâce ilustrasi Munzir Fadly
MALAM menjelang fajar.
Itu pertama kalinya kau merasakan sebuah lubang di hati. Bangun tidur kau merasa kosong dan gelisah. Tapi kau mencoba untuk tidak seberapa peduli. Sampai berbulan-bulan, lubang kecil itu tetap di sana dan membuatmu bertanya-tanya. Kau mulai heran dan ingin tahu, apakah lubang ini singgah di hati semua orang—atau hanya kau? Tapi kau tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.
“Permisi, apa kalian punya sebuah lubang yang bernapas dengan interval tidak teratur di dalam hati kalian?” Kau tidak yakin bisa bilang begitu tanpa terlihat bodoh.
Malam itu semua kegiatanmu selesai dan semua berjalan menyenangkan. Nafsu makanmu tidak seberapa baik tapi kau yakin gizimu cukup. Kau memikirkan ini sepanjang malam dan tidak bisa terpejam. Kekosongan itu tetap ada. Kenapa, kau bertanyatanya. Apa yang salah denganku, kembali kau bertanya-tanya. Dan kau hanya mampu menatap pada langit-langit kamar yang tidak terlihat karena gelap.
Paginya kau punya janji untuk pergi dengan seorang gadis cantik. Kau senang dan berdebar-debar. Lubang hitam di hatimu mengerut kecil sekarang. Setengah jam kemudian dia mengembang lagi dan kau berhenti bahagia. Kencan jadi terasa hambar dan biasa saja. Gadis itu tidak lagi cantik di matamu. Dia masih cantik, masih gadis yang sama dengan gadis setengah jam lalu. Bukan dia yang berubah, kau sadar itu.
Kau bertanya pada ibumu sepulang kencan. Ibumu bilang itu biasa. Namanya cinta monyet. Toh, kau belum genap tujuh belas. Tapi di usia selanjutnya kau temukan dirimu tetap bertahan dalam fase yang ibumu bilang “cinta monyet” tanpa bisa kau jelaskan kenapa.
Suatu hari paling buruk dalam hidupmu, kau menangis di sekolah. Kau menangis saat pelajaran tengah berlangsung dan membuat guru serta temanmu kebingungan. Kau terisak sembari bilang ingin pulang.
“Pulang ke mana?” tanya mereka.
“Entah, aku nggak tahu. Pokoknya aku mau pulang.”
Semua makin bingung dan tidak tahu bagaimana cara menghentikan tangismu. Kau tidak ingin menarik perhatian banyak orang. Justru kalau bisa kau ingin menangis di sudut saja dan lenyap. Tapi tangisanmu di tengah kelas saat itu tidak bisa kau kendalikan. Kau menelepon ibumu dan minta dijemput. Rasanya kau tidak sanggup untuk pulang sendiri. Bernapas pun rasanya tidak sanggup lagi.
“Kamu kenapa?” Ibu membelai kepalamu lembut setelah kalian di rumah.
Kau menggeleng lemah. Merasa payah dan cengeng.
“Kamu dikerjai anak-anak di sekolah?”
Kau tidak yakin. Kau tidak yakin kau ditindas oleh teman-teman. Kau mencari-cari, mengingatingat. Dan menemukan pelakunya. Dia, lubang hitam di dalam hatimu yang membengkak dan menindasmu diam-diam. Kau kembali menangis, dan berkali-kali bilang ingin pulang. Ibumu hanya sanggup memeluk dalam diam.
Kau tidak berani masuk sekolah sampai tiga hari setelahnya. Kau merasa malu dan gelisah. Lagi-lagi gelisah yang tidak terkatakan. Kau hanya diam di kamar dan ibumu jatuh prihatin. Bersamaan dengan lubang hitam yang membesar-mengempis seperti paru-paru yang terisi-melepas udara, sebuah ketakutan aneh muncul. Ketakutan yang tidak bisa terjawab sampai kau tiba di usia dua puluh tiga. Dan pelan-pelan, kau kehilangan minat pada kesukaanmu melukis dengan cat air.
Lubang itu masih di sana. Dengan napas interval yang tidak teratur. Ada kalanya kau merasa lubang itu sudah hilang, betapa hidupmu ringan saat itu. Kau menikmati burung-burung bernyanyi dan melihat kupu-kupu terbang dengan rasa ingin tahu anak kecil yang penuh semangat. Hidupmu terasa normal dan wajar. Sampai kau sadar, lubang itu tidak benar-benar pergi. Dia hanya bersembunyi.
Kau membayangkan dirimu adalah serangga. Kau ingat sewaktu kecil kau ingin menjadi serangga, belalang hijau yang menjelajahi semak-semak dan melakukan petualangan ajaib di sana. Sekarang kau tidak bisa berpikir kau menjadi serangga kecuali menjadi ngengat di kamar remang. Kau menabraki dinding sampai menimbulkan bunyi yang memilukan. Kau tidak bisa melihat apa-apa kecuali keputusasaan. Ngengat yang tidak bisa bebas. Akhirnya dia diam di sudut dinding dekat lampu, menunggu seekor laba-laba besar memangsanya.
“Kamu memikirkan itu?” istrimu bertanya suatu pagi saat kalian sarapan bersama. Dia hamil empat bulan dan kehidupan dari luar terlihat berjalan baik-baik saja.
“Terkadang. Sepanjang malam.”
“Semalam juga?”
“Iya.”
Istrimu menyodorkan secangkir kopi. Dia menatapmu penuh simpati. Kau balas menatapnya kosong, meminum kopi itu dan bersiap berangkat ke kantor. Dalam mobil perjalanan ke kantor kau menyetel lagu. Kau terjebak macet dan tidak ada perasaan jengkel. Kau diam menyandarkan kepala pada bantalan kursi kemudi, dan ikut bernyanyi, “I’m so lonely—but that’s okay I shaved my head, and I’m not sad.”
Di kantor kau merasa ingin cepat-cepat menyudahi ini semua tapi jarimu tidak mau bergerak pada keyboard dengan cepat. Kau memanggil office boy, meminta dibikinkan kopi. Sepanjang siang sampai sore kau sudah menghabiskan tiga gelas kopi tapi rasa ngantuk dan lelah di suatu tempat antah-berantah di dalam tubuhmu tidak mau pergi. Sore pulang kerja kau mampir ke sebuah toko untuk membeli sebungkus rokok, kau masukkan ke dalam saku jas. Sampai seminggu kemudian itu ikut tercuci bersama baju kantor tanpa pernah kau sulut.
Suatu sore kau pergi ke taman kota dengan istri dan anakmu yang belum genap berusia lima. Anakmu naik ayunan, kau mendorongnya sambil menerawang. Masa depan anakmu terlihat tidak jelas di dalam kepalamu. Masa depanmu sendiri terlihat seperti labirin berkabut dan kau memasukinya perlahan dan ogah-ogahan. Istrimu menyentuh tanganmu pelan.
“Ayo, kita pulang,” ajaknya lembut.
Kau memandangi istrimu dan hampir menangis. Tapi kau bisa mengendalikan diri. Kau ingin bilang padanya saat ini cintamu padanya lenyap ditelan sesuatu yang tak kasat mata. Fase yang kata ibumu “cinta monyet” itu tidak pernah benar-benar berubah darimu. Anakmu menarik ujung kaos minta digendong. Kau menggendongnya dan kalian pulang.
Pulang, kata itu bergaung merdu dalam dirimu, seperti rayuan peri laut di telinga para pelaut. Lagi-lagi kau nyaris menangis. Tapi kau berhasil menahannya sampai rumah. Kau masuk ke kamar mandi dan membiarkan semuanya tumpah. Kau merasa tolol dan tidak berguna. Kau pecundang yang sulit menyembunyikan tangis dan betapa kau membenci dirimu sendiri atas fakta ini. Fakta yang barangkali hanya hidup dalam kepalamu.
Sudah bertahun-tahun lamanya kau lupa perkara lubang di hatimu. Tapi tanpa sadar kau tidak pernah lepas darinya. Kali ini kau di dalam kamar, bercinta dengan istrimu sembari merasakan lubang itu melahap dirimu perlahan. Gairahmu mati. Istrimu bertanya-tanya. Kau menahan diri untuk bilang kalau kau kehilangan cinta. Rasa benci pada diri sendiri kembali datang lebih hebat.
“Kamu baik-baik saja, Sayang?” Istrimu menyalakan lampu tidur. Dia cemas.
Kau menggeleng. Kau tidak bisa berbohong.
“Kamu sakit?”
“Sesuatu dalam diriku sakit.”
“Apa kita perlu ke dokter malam ini?”
Kau menggeleng lagi, memeluk istrimu dan merasakan kedamaian tiba-tiba merasukimu seperti orang gila. Kau tidak akan melepaskan istrimu. Kau butuh pelukannya.
Minggu pagi itu kau mengurung diri di ruang kerja. Kemarin kau membeli sebuah kertas untuk cat air setebal 200 gsm, sebuah palet dengan 16 ceruk untuk cat air, kuas nilon dari ukuran 00 sampai 12, cat air 15 warna, dan sekotak tisu. Kau tidak tahu keinginan melukis dengan cat air ini datang dari mana. Sudah lama sekali rasanya hobi itu tenggelam. Sepanjang pagi sampai malam kau hanya berkutat menggoreskan sket, mencampur warna, melukis, dalam kelembaman.
“Akhirnya selesai.” Kau merasakan ada sebuah jalan pulang yang kau temukan. Kau melihat pengampunan, kemurahan hati, dan harapan.
Jam sepuluh malam kurang sedikit, lukisan amatirmu jadi: seseorang dengan kepala kelopak mawar sedang mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri. Lalu sebagian kepalanya meledak terkena letusan pistol. (*)
In memoriam Kurt Cobain
Farrahnanda, menulis pada blog-nya, Farrahnanda.blogspot.co.id.
Asmira Fhea
good story! two thumbs up!
Moonlight
Edan!