Cerpen Vivi Diani Savitri (Media Indonesia, 10 April 2016)
BULAN depan, orang dari segala penjuru dunia akan datang karena kami akan mengadakan lomba pacu hewan lagi. Lomba pacu hewan di kota kami boleh dibilang paling kondang seantero jagat. Hanya di sini binatang yang dilombakan begitu beraneka. Kuda, anjing, harimau, serigala, rusa, sebut saja apa, bisa diadu dalam satu pacuan. Yang membuat semakin seru ialah saat di jalur pacu, kadang naluri purba mereka timbul begitu saja. Alih-alih menuju garis akhir, mereka bisa saling memburu, menyerang, saling menghabisi. Kalau sudah begitu, penonton pun terbawa suasana. Kami yang dipisahkan dengan pagar besi dari jalur pacu bersorak sorai menyemangati, seolah hewan-hewan itu memahami kami. Kebuasan dan dominasi memang mengagumkan bagi kami.
Lomba pacu sekaligus tarung hewan ini yang membuat kota kami istimewa. Di mancanegara, pertandingan bebas macam begini terlalu banyak diregulasi. Hak asasi hewan dimuliakan secara berlebihan. Di sini, penonton bebas menyaksikan hewan pacu saling menghabisi. Lomba terbuka bagi siapa saja pemilik hewan yang punya nyali dan strategi untuk mengadu jagoannya.
Jagoanku adalah seekor anjing betina. Aku panggil ia Izsla. Dalam berpacu, ia tidak hanya pelari unggul, tapi jago siasat dalam bertarung. Pernah sejalur pacu dengan harimau, kemampuan Izsla berkelit luar biasa, gerakannya selalu mengecoh pemangsa yang lebih besar. Dengan hewan yang setingkat dengannya dalam rantai makanan, Izsla menang karena selalu lebih fokus pada tujuan.
Izsla kubesarkan sejak bayi, kubeli dari toko hewan pacu. Harganya mahal karena ia memang ras murni anjing pemburu. Nenek moyang Izsla konon adalah peliharaan raja dan para darah biru. Tanah asalnya nun jauh di Hongaria. Tampilan mereka seperti bangsawan—ramping anggun berotot liat, berbulu pendek, cokelat berkilat tembaga, bola mata dan hidungnya berwarna senada. Mereka tampak jatmika, tidak jangak macam jenis anjing lain yang hidungnya hitam basah dan suka mendengus-dengus.
Di republik ini, hanya orang dengan kekayaan macam bangsawan yang mampu memelihara hewan seperti Izsla. Sehari-harinya anjing macam Izsla butuh aktivitas fisik macam berlari dan melompat, menerkam, menerjang. Siapa yang mampu membeli pekarangan luas untuk arena bermain dan berlatih anjingnya, ketika di kota-kota besar saja tidak ada jalan setapak yang layak agar orang bisa berjalan-jalan dengan aman? Aku kaya raya karena Izsla. Berkat perawatan dan pelatihanku, sejak memasuki masa siap kawin Izsla sudah menjadi anjing lomba pacu yang unggul. Aku memenangi lomba, satu demi satu, dari lingkup kota, sampai akhirnya antarnegara. Aku kaya bukan hanya dari hadiah lomba, tentu. Yang lebih gila jumlahnya adalah bagi hasil dari petaruh-petaruh yang menjagokan Izsla di setiap pacuan.
Saat aku kecil, aku pelayan bagi anjing-anjing. Ayahku, dan ayahnya, dan ayah dari ayahnya ayah, juga pelayan bagi anjing. Orang-orang kaya yang membayar kami adalah majikan kami, tapi kepada anjinglah kami melayani. Namun tidak seperti Izsla, anjing-anjing yang kulayani lebih rendah kastanya. Karena anjing tidak beragama atau berbudaya, tentu yang mengatur tinggi rendahnya kasta adalah manusia. Si Haski milik Pak anggota DPR contohnya, anjing pertama yang kurawat. Haski adalah seekor anjing tampan berbulu abu-abu jenis penghela kereta salju dari Siberia. Tampilan Haski yang ganteng tentu mengecoh Pak Anggota DPR yang suka mengelabui rakyat dengan tampilannya. Tapi aku tahu, sebagai anjing pacu, si Haski bukan nomor satu. Di negara tropis begini, Haski dan sejenisnya tentu tidak setangguh di negara asalnya.
Lalu si Patih, anjing jenis petarung yang kurawat berikutnya, milik Mbak Biduan. Seperti laki-laki yang selalu diidamkan majikannya (namun tidak juga dimiliki karena lelaki selalu datang dan pergi berganti-ganti hingga perempuan ini merasa anjing lebih setia daripada laki-laki), jenis ini protektif pada pemiliknya. Bagiku, Patih tetap bukan kasta nomor satu. Ia mungkin petarung yang bengis, namun bukan pelari yang baik.
Berawal sebagai perawat anjing, aku menjadi pelatih anjing, yang mulai dicari orang-orang kaya untuk melatih anjing mereka, agar bisa memenangi lomba dan membuat para majikan itu makin kaya. Aku tidak hanya membuat mereka memahami bahasa manusia. Aku pastikan diriku juga memahami bahasa mereka. Geramanku, gonggonganku, mimikku, gerak tingkahku, adalah bahasa yang dipahami para anjing.
Menyambut lomba tahun ini, aku sudah menyiapkan Izsla sejak lama. Tapi justru begitu tinggal dua bulan lagi, Izsla menampilkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Izsla seperti enggan berlatih lari. Jangankan itu, bergurau dan berguling-guling di taman saja tidak mau. Ia memilih untuk melingkar di pergelangan kakiku macam penghangat kaki saja. Seperti ingin membuatku jatuh iba. Tapi aku sulit untuk iba. Masalahnya, aku sudah keburu bertaruh ratusan juta untuk kemenangan Izsla.
Jangan bilang aku petaruh yang ceroboh. Aku berhitung sangat cermat. Kalau tidak, bagaimana aku bisa kaya raya begini, hanya beberapa tahun sejak pertama Izsla turut lomba? Perilaku hewan kupelajari, ekspektasi dan karakter majikannya kuamati, statistik kemenangan dan keberuntungan dalam pertarungan kuperhitungkan. Aku tidak hanya pelatih anjing yang telaten, aku juga penjudi yang berstrategi. Namun, perubahan yang tidak sesuai pola seperti tingkah Izsla belakangan ini tentu tidak masuk hitungan.
Segala cara kucoba untuk meningkatkan gairah Izsla lagi. Mengubah pakannya. Pola latihannya. Belum berhasil juga. Sampai teringat olehku, ini tentu perkara usia. Izsla telah berumur lima tahun hitungan manusia, berarti mendekati empat puluh tahun usia anjing. Di mana-mana betina, makin berusia makin banyak polahnya, pikirku gusar.
Kudatangkan pejantan sejenisnya, sampai jenis lainnya. Menduga berahi Izsla tak terpenuhi. Aku jengkel saat Izsla tidak mau dikawinkan. Dasar, sudah makin tua, kenapa para betina makin pilih-pilih saja? Izsla masih saja teronggok seperti karung goni tanpa isi. Kalau mengingat utang taruhan judi yang akan mencekikku bila Izsla kalah berpacu dan tidak mampu berkelit dari terkaman musuh, ingin kusepak tubuhnya yang suka mendusel di kakiku.
Karenanya, saat Izsla akhirnya memenangi lomba pacu hingga ke finalnya, aku merasakan euforia luar biasa. Segala upaya yang kukerahkan, sampai ikhtiar terakhir yang kutempuh sebulan sebelum lomba yang berhasil membuat Izsla semangat lagi, terasa tidak sia-sia.
Kemenangan rasanya memang luar biasa. Aku tidak pernah bosan menikmatinya meski Izsla telah menang bertahun-tahun berturutan. Bagaimana bisa bosan, bila setiap kemenangan mendatangkan uang, dan dengan uang bisa kubeli berbagai macam hal yang menghilangkan rasa bosan. Barang-barang. Orang-orang. Perhatian mereka, perlakuan khusus mereka.Dengan uang hadiah dan taruhan pacuan, aku bisa membeli banyak orang.
Termasuk di malam itu. Malam perayaan. Setelah berhari-hari seusai lomba aku harus melakukan wawancara ini dan itu, ke malam penghargaan asosiasi pacu hewan ini dan itu, aku bisa juga mendapatkan waktu untuk memuaskan kesenanganku pada orang. Mencukongi makan dan hiburan malam bagi beberapa orang yang biasa kubayari pesta.
Dini hari, aku pulang ke rumah megahku dengan sedikit mabuk. Para pekerja rumah tangga segera beringsut kembali ke area mereka, setelah membukakan pintu, membukakan sepatu, menyiapkan ini-itu untuk kenyamanan majikannya setelah berpesta semalaman.
Di salah satu sudut rumahku, aku melihat Izsla tegak pada keempat kakinya, menghadapku dengan tegang. Geramannya baru terdengar. Efek alkohol menggenangi telingaku, meredam kepekaan pendengaranku.
Apa? Geramku balik, terganggu. Aku ingin segera berbaring, tubuhku terkuras oleh permainan perempuan-perempuan bayaran. Izsla terus menggeram, maju setapak. Betina banyak maunya, aku makin sengit. Aku ingin tidur. Rasanya tidak sanggup untuk mandi lagi meski salah satu perempuan cantik itu tadi menyebutku bau anjing dan membuatku menghadiahinya sebuah tamparan.
Izsla menyalak, tampak beringas. Kurang ajar. Aku mengeluarkan suara berang dari kerongkongan. Betina tua tidak tahu diuntung, umpatku dalam deram tertahan.
Sekarang bila ditanya orang, aku tidak bisa menceritakan ulang, apa yang sebenarnya terjadi setelah itu, malam itu. Yang kuingat, Izsla melompat menyerangku. Polisi dan petugas rumah sakit yang datang belakangan mungkin bisa membantu menambahkan informasi bahwa isi rumahku porak poranda macam ada pertarungan hebat di antara dua makhluk yang setara sebanding. Darah berceceran di mana-mana. Darahku dan darah Izsla. Para pekerja rumah tangga yang duluan menemukan kami juga akan beri kesaksian. Aku cabik oleh Izsla, sebagaimana Izsla terluka oleh terkaman pisau di tanganku. Mereka akan bersumpah bahwa aku hanya membela diri, merenggut pisau dapur begitu saja dan terpaksa membunuh anjing betina yang jadi sorotan seluruh dunia karena kemenangannya dalam lomba pacu, sekaligus tarung hewan itu. Izsla mendadak gila, mungkin karena usia tua. Tentu begitu, karena uangku bisa membeli apa yang dikatakan mereka. Apa yang tidak dikatakan mereka, juga. Aku bisa membeli kebungkaman mereka dari cerita bahwa dari perut Izsla yang robek ada anak-anak anjing berwajah menyerupai bayi manusia.
Paling tidak, kebisuan mereka terbeli sampai waktu tertentu. (*)
Vivi Diani Savitri, menekuni dunia kepengarangan, di sela-sela kesibukannya sebagai peneliti. Karya-karyanya tersebar di sejumlah media. Ia tinggal di Jakarta.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain.Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id @Cerpen_MI
diqsilafirsa
Jadi?
Mungkin si aku malu kalau sampai orang tahu si aku pernah menodai Izsla,,
Hhaha,,
Mega S Haruna
Saya suka ceritanya apalagi endingnya, hanya saja saya kurang puas dengan cara berceritanya, lebih banyak telling dari pada showingnya… 🙁