Cerpen Arman A.Z. (Media Indonesia, 17 April 2016)
NEGARA itu telah memisahkan aku dan Papa. Bahkan, saat dia meninggal, aku tak bisa menatap wajahnya untuk terakhir kali. Kabar duka kuterima lewat e-mail yang dikirim Om Sugeng, sepupu Papa, sehari setelah dimakamkan. Mama terenyak. Dia lama termangu meski tak menangis seperti yang kucemaskan.
Lima tahun silam Papa mencetuskan niatnya. Aku nyaris tersedak kopi panas saat mendengarnya. Kupikir dia sedang bercanda ketika berujar ingin ke Indonesia, menghabiskan sisa umur di sana. Itu lelucon tak lucu di minggu pagi. Papa mengaku sudah lama kangen negeri kelahirannya. Entah apa yang membuatnya ingin pergi. Buatku, keinginan Papa aneh dan sentimental. Jerman dan Indonesia jauh jaraknya. Jika sekadar nostalgia, cukuplah beberapa minggu ke sana. Dia sudah beberapa kali pakansi ke Indonesia. Mencintai sebuah negara tak harus hidup di negara itu. Sejak pensiun, Papa lebih banyak di rumah. Dia tak kesepian dan tak kekurangan apa pun. Ada saja rutinitasnya, membaca buku dan merawat kebun kecil di belakang rumah. Jika jenuh di rumah, dia ke toko kaset dan CD bekas milik temannya; berlama-lama di sana, mendengarkan lagu-lagu lawas.
Tak kuasa membendung niat Papa, kami pun terpisah. Papa erat memeluk kami di bandara. Aku sedih sekaligus turut merasakan bahagia yang mekar di hatinya. Mama mendukung apa pun kehendak Papa sepanjang itu baik baginya.
Dari negeri jauh, Papa mengirim e-mail, mengabarkan keadaannya baik-baik saja. Papa membeli rumah kecil di sebuah kampung. Tanah belakang dan samping rumah ditanami singkong, sayur, dan buah. Dia suka keliling kampung bersama teman masa kecilnya, masuk ke pasar-pasar, atau pakansi ke luar kota. Lewat sejumlah foto yang disertakan, kulihat rambut peraknya kian jarang. Dia masih suka mengenakan celana sedengkul tiap bepergian. Kacamata yang dikenakan masih yang sama ketika dia meninggalkan kami.
Seiring waktu, komunikasi kami perlahan berkurang. Ingatanku tentang Papa timbul-tenggelam di tengah rutinitas sebagai mahasiswi, menemani Mama di rumah, juga bersama pacar dan teman-teman.
***
Ada darah Indonesia dalam tubuhku. Opaku asli Belanda, puluhan tahun silam tinggal di Indonesia. Opa menikahi wanita Jawa dan memiliki empat anak. Papa anak sulung. Menjelang negeri itu merdeka, orang-orang Belanda berbondong-bondong pulang ke negeri asal. Opa membawa Oma dan semua anaknya. Papa masih kecil saat itu, tak mengerti apa-apa tentang perang. Setelah dewasa, Papa menikahi Mama kemudian pindah ke Jerman. Papa pernah bilang, aku putri tunggalnya, mewarisi garis wajah Oma, perempuan yang tak pernah kulihat karena meninggal sebelum aku lahir.
Cukup banyak orang Indonesia tinggal di Jerman. Mayoritas sedang menempuh studi. Dari mereka, aku menabung info tentang negeri itu. Beberapa bak sales tempat wisata mempromosikan tempat-tempat eksotis di sana. Aku lebih tertarik pada Tika. Perempuan kurus dan berkacamata itu justru nampak jengah ketika kutanya tentang Indonesia.
“Renee, orang-orang pintar dan idealis tak dapat tempat di sana. Tak dihargai dengan layak. Negeri itu kaya tapi salah urus di tangan orang-orang tamak dan sistem yang kusut. Akibatnya rakyat tak bisa menikmati kemakmuran,” cetusnya ketus.
Lain waktu, ia berkata banyak pemimpin bermental korup di sana. “Barangkali di kehidupan sebelumnya mereka tikus-tikus raksasa, semua giginya taring tajam, mengerat apa saja termasuk ekornya sendiri.” Ia enggan pulang dan ingin pindah kewarganegaraan. Menurutnya, banyak orang Indonesia pergi ke luar negeri demi mencari kehidupan yang lebih baik. Sebagian berhasil, dihargai, dan hidup mapan. Yang bernasib malang juga banyak. Dalam rangkaian kisah itu, Papa kerap hadir dalam benakku. Entah bagaimana nasibnya di sana.
***
Sebulan setelah Papa meninggal, datang paket dari Indonesia. Kardus berisi barang-barang Papa. Ada sepucuk surat berisi tulisan tangan Om Sugeng. Papa menitip amanat agar semua barang itu kusimpan. Pakaian, kacamata, buku, album foto, tongkat kayu, wayang, juga pernak-pernik yang tak kutahu gunanya.
Perhatianku tertuju pada sebuah CD dibungkus plastik transparan. Bersama Mama, kuputar kepingan itu di laptop. Isinya film. Lebih terkejut lagi melihat Papa jadi tokoh utama di dalamnya. Meski dibuat ala kadar, aku bisa melihat Papa semasa hidup. Bagaimana kesehariannya di rumah; menyapu lantai, menjemur pakaian, membaca koran, memasak nasi, dan memberi makan merpati. Adegan dan latar silih berganti. Dia menunjukkan gerbang sekolahnya dahulu, keliling kota naik delman, kiri kanannya sawah hijau membentang, gerombolan anak sekolah dengan beragam ekspresi ketika disorot kamera. Papa juga sempat mencetuskan cintanya padaku dan Mama. Aku menonton film sepanjang hampir satu jam itu dengan perasaan campur aduk: bahagia, kaget, heran, haru, juga rindu. Ah, Papa serasa jauh untuk kujangkau.
***
Indonesia tak pernah jadi bagian mimpi-mimpiku. Dari sejumlah tempat di dunia yang ingin kusinggahi, negeri itu abai kucatat. Namun, siapa bisa menerka hidup. Seperti meniup balon, niatku pergi ke Indonesia kian membesar. Mama mengizinkanku berlibur musim panas di tanah leluhur. Menurut Mama, aku mewarisi sifat Papa, suka bertualang dan keras kepala. Maka, begitu roda pesawat Air Berlin membentur landasan bandara, kubayangkan sedang melangkah ke mulut macan lapar. Lampu kuning dalam benakku berkedip-kedip, mengingatkan untuk selalu waspada. Sesuatu yang buruk bisa saja menimpaku di sini. Beruntunglah gaya angkuhku membuat gugup itu tak mendominasi.
Tengah malam di Jakarta ketika aku berada di antara kerumunan manusia, Om Sugeng yang wajahnya hanya kuhafal lewat beberapa foto, telah menunggu di bandara. Ia jauh-jauh datang menjemput. Tak kusangka bisa bertemu famili yang tinggal di belahan dunia lain. Aku akan menginap di rumahnya. Perjalanan ke Semarang ternyata sangat jauh, dengan rute meliuk-liuk dan jalan rusak di banyak tempat. “Negeri ini perlu dijajah Belanda lagi untuk punya jalan raya yang bagus dan awet.” kata Om Sugeng sambil terkekeh. Duduk di bangku tengah, aku menatap bahunya yang duduk di sebelah kiri sopir.
***
Di daerah Genuk, aku teringat Tika. Ucapannya terbukti. Jalan raya di tempat ini rusak parah. Mobil dan truk seperti merangkak. Debu tanah beterbangan, siap menyakiti saluran pernapasan. Parit-parit di tepi jalan, airnya hijau pekat, tak mengalir, dan banyak sampah terapung.
Papa mewariskan rumahnya untuk warga kampung. Jika ada hajat bersama, bisa memanfaatkan rumah itu. Ada suami-istri yang diberi amanat untuk tinggal di sana dan merawatnya. Garasi kosong disulap jadi perpustakaan gratis. Banyak buku dan tumpukan koran di sana. Untuk mengenang Papa, sejumlah fotonya dipajang di dinding perpustakaan.
Satu dua tetangga datang ke rumah Om Sugeng. Aku tak paham yang mereka bincangkan. Kata Om Sugeng, mereka memuji Papaku sebagai orang baik. Aku tersanjung ketika ditawari singgah ke rumah mereka. Hari ketiga aku bersua Om Karel, sobat karib Papa. Menjelang petang, ia datang. Tubuhnya tambun, tinggi besar, berkacamata tebal, dan rambutnya berwarna perak. Kami bertiga larut dalam obrolan tentang Papa. Rupanya Om Sugeng dan Om Karel pernah lama di Eropa. Mereka juga tahu kisah cinta Papa dan Mama. Om Karel mengungkapkan bahwa Papa meninggal dalam pelukannya. “Papamu tersenyum saat itu, Renee.” Di balik kacamata tebalnya, meski tersenyum, mata Om Karel berkaca-kaca. Aku hanya bisa meremas gagang kursi saat itu.
Om Sugeng mengeluarkan dua album berisi foto lama. Banyak foto Papa saat belasan tahun. Mengamati satu per satu, aku terkesima dan haru melihat isinya.“Papamu paling ganteng saat itu,” puji Om Sugeng. Papa memegang gitar dan biola, mengapit bola kaki, berpose di depan mobil tua, sedang menikmati makanan, berangkulan dengan beberapa teman, dan banyak lainnya.
Esoknya Om Sugeng dan Om Karel mengantarku ke semua tempat dalam film yang kutonton. Deretan kios penjual merpati, sawah yang dilintasi anak-anak sekolah, gerbang sekolah, juga masuk ke lorong-lorong pasar yang kumuh dan bau. Berada di tempat-tempat itu serasa Papa hadir di antara kami tapi tak terlihat. Lain hari, aku diajak ke Kota Lama, dijuluki Little Netherlands, tempat leluhurku pernah tinggal hampir seabad lalu. Banyak bangunan berarsitektur Belanda di sana. Sebagian masih berfungsi, lainnya terbengkalai.
Om Sugeng dan Om Karel mengantarku ke makam Papa. Kondisinya menyedihkan. Jika Papa dimakamkan di Jerman, takkan begini bentuk rumah terakhirnya. Gundukan tanah memanjang, dipagari batu-batu kecil. Kemarau membuat tanah makam retak-retak. Dua papan menancap di ujung gundukan. Di papan paling atas tertera nama Papa, tanggal lahir, dan wafatnya. Ada taburan bunga yang telah kering. Om Karel menaburnya beberapa hari lalu sekaligus mengabari Papa bahwa aku akan datang.
“Setiap orang punya definisi berbeda terhadap kebahagiaan, Renee. Papamu telah memilih bahagianya sendiri.” Om Karel menatapku tajam di malam terakhirku di Indonesia. Aku tak sanggup menanggapi petuahnya.
Setelah hampir dua pekan berlibur di sana, lampu kuning yang berkedip-kedip di benakku telah berganti lampu hijau. Aku tak tahu apakah negeri itu menerima cinta Papa. Satu hal yang kuyakini, Papa begitu mencintai Indonesia dan menemukan bahagianya di sana. (*)
2016
Arman AZ, cerpenis. Karya-karyanya tergabung dalam sejumlah antologi. Naskah novelnya pernah masuk nominasi lomba novel DKJ 2014.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI
golekseo
Kepergiaan orang yang dicintai kerap membawa duka bagi kita, apalagi orang tersebut adalah orang tua kita sendiri, ditambah lagi meninggalnya orang tua di negeri orang, sangat sedih sekali.