Cerpen Karta Kusumah (Koran Tempo, 16-17 April 2016)
INI cerita tentang burung, benar-benar burung harfiah. Namun bila menjelang akhir cerita kau menemukan bahwa cerita ini adalah cerita tentang burung yang lain—burung yang bisa membesar dan mengecil dengan sendirinya, terutama di pagi hari, maksudku—kau boleh saja berhenti membaca sampai di sana. Karena bagaimana pun juga akan ada beberapa orang yang tidak ingin membicarakan perkara burung dengan terang-terangan, apa lagi burung itu burung yang bulunya mulai rontok satu-satu bila dipegang.
Pagi ketika Abang Tu sedang membersihkan bulu burungnya yang rontok, kedai di sebelah studio sudah buka dan kedai itu menawarkan pemandangan seorang kakak-kakak yang baru selesai mandi dan rambutnya basah dan tetesan air dari rambut basahnya itu meleleh ke alis mata terus ke mata ke pipi ke kumis tipisnya dan kemudian berhenti di bibir yang sedang tersenyum kepada siapa pun yang kebetulan lewat di depan kedai itu. Abang Tu diam sejenak setelah puas memijit-mijit kepala burungnya dan kemudian mengembalikan burung itu ke dalam sangkar. Dan burung itu memberontak, mengepakkan sayapnya dan menghantam-hantamkan kepalanya ke jeruji sangkar.
Sudah delapan hari burung itu selalu memberontak di dalam sangkar dan setiap pagi tidak lagi pernah berkicau. Biasanya, kalau bukan karena gejebar-gejebur kakak-kakak kedai sebelah studio yang sedang mandi (kamar mandi kedai itu bersebelahan dengan kamar yang ada di studio), pastilah Abang Tu terbangun karena kicauan burungnya itu. Burung Abang Tu adalah jenis burung Murai Batu Nias, dan seperti yang kau tahu, burung yang juga dikenal dengan nama Kucica Hutan dan bernama latin Copsychus malabaricus itu gacor dan punya kicauan yang lantang. Selain itu, burung berparas cantik (atau berperawakan indah, tepatnya) yang menurut Konservasi Internasional (IUCN) jumlahnya sudah mulai berkurang itu juga bisa menirukan kicau burung pengicau yang lain. Betapa sedapnya. Namun begitulah, burung itu kini sudah tidak membuat Abang Tu terbangun oleh kicauannya dan membuat Abang Tu menjadi gemas.
“Ada apa denganmu, manisku,” ujar Abang Tu, suatu kali, menirukan judul lagu salah satu grup band pop Indonesia, “mengapa engkau telah enggan menyapaku di pagi hari?”
Abang Tu masih ingat pesan ibunya ketika ia membawa burung itu ke studio, bahwa sebaik-baiknya burung adalah burung yang mengerti bahwa ia cantik dan sebab itu tidak betah berada dalam sangkar dan membuat kecantikannya hanya akan dinikmati oleh segelintir orang. Dan sebaik-baiknya kecantikan adalah kecantikan yang memberi kesegaran pada alam semesta. Namun, ia masih tidak bisa menerima kenyataan itu karena kebersamaannya dengan burung itu sudah lebih dari dua tahun dan seharusnya, menurut Abang Tu, secantik apa pun seekor burung, jika sudah menjalani hari-hari bersamanya selama lebih dari dua tahun, akan mendapatkan kenyamanan yang membuatnya tidak peduli lagi pada alam bebas. Itu tentu bisa saja pandangan yang salah. Mengapa salah? Akan kuceritakan lain kali.
“Aduh, burung, mengapa lupa padaku? Selama engkau di rantau, kusebut-sebut namamu,” Abang Tu membujuk burungnya pada kesempatan yang lain.
Burung itu tidak pernah merantau. Namun memang, Abang Tu pernah sekali menitipkan burung itu kepada temannya yang juga ia kenal sebagai pecinta burung-burung berparas cantik dan bersuara merdu ketika ia ditugasi atasannya untuk memotret senja yang terbenam di Pantai Padang selama lebih dari tujuh hari. Ia menitipkan burungnya itu kepada temannya karena ia tidak yakin burung itu bisa menghadapi kesendirian dan kesumpekan studio sendirian. Dan juga karena alasan ia ingin ada yang merawat burungnya ketika ia tidak berada di sisi burung itu.
Dan begitulah akhirnya yang terjadi. Setelah ia jemput kembali dari rumah temannya, burung itu menjadi gemar membentur-benturkan kepalanya ke jeruji sangkar dan tidak lagi berkicau di pagi hari.
Abang Tu sempat bertanya pada burung itu, “Manisku, cintaku, hidup dan matiku, apakah kau merindukan alam bebas?” Burung itu diam dan Abang Tu melanjutkan, “Mari kita jalan-jalan.”
Tidak perlu menunggu jawaban dari burung itu untuk Abang Tu mengambil keputusan membonceng burung itu di motor Mega Pro-nya dan kemudian mengajaknya melintasi jalan-jalan yang biasa mereka lalui dan menyinggahi tempat-tempat yang biasa mereka singgahi. Sepanjang perjalanan, Abang Tu selalu menyebut satu demi satu kenangan mereka selama dua tahun kebersamaan mereka dan menyebutkan itu dengan harapan burung itu akan mau menghentikan mogok berkicaunya. Di sebuah kafe yang menjual es krim dan pisang keju sebagai menu utama, Abang Tu bertanya pada burungnya, “Kekasihku, apakah kau tahu kenyataan bahwa sejak kau tak lagi berkicau, setiap kafe yang kukunjungi seakan memajang namamu sebagai salah satu menu.”
Abang Tu tidak menganggap apa yang ia katakan itu sebagai kenyataan yang sesungguhnya, ia tahu itu hanya kenyataan fiktif. Namun, ia tidak tahu bahwa kenyataan fiktif itu membuat burungnya lagi-lagi memberontak dan membenturkan kepalanya ke jeruji sangkar dan kali ini berhasil membuat sangkar itu terjatuh. Burung itu terus mengepakkan sayapnya dengan brutal dan sangkar itu berguling dari kolong meja ke kolong meja yang lain dan Abang Tu mengejarnya dengan merangkak mengikuti arah bergulingnya sangkar itu. Setiap pengunjung yang ada di kafe itu menundukkan kepalanya dan melihat dengan menahan tawa atau menahan berang kepada Abang Tu dan Abang Tu tidak peduli. Yang Abang Tu pikirkan saat itu adalah agar jeruji sangkar itu tidak patah atau pintu sangkar itu tidak terbuka atau kecelakaan apa pun yang sekiranya bisa membuat burungnya lepas dan terbang bebas. Ia belum siap untuk berpisah dengan burung itu. Jika pun mesti berpisah, ia ingin perpisahan baik-baik.
Perpisahan baik-baik, pikir Abang Tu di sela pengejarannya di kolong-kolong meja, adalah dengan cara melepaskan burung itu ke sangkar temannya. Dengan cara itu, setidaknya ia masih bisa sedikit memastikan bahwa burung itu, kekasihnya itu, hidup dan matinya itu, akan baik-baik saja. Ia tahu temannya itu akan mencintai burungnya dengan segenap jiwa dan ketulusan. Meskipun ia yakin cinta yang diberikan temannya itu tidak akan seagung dan semulia cinta yang ia berikan, itu tidak masalah baginya. Selain itu, dengan melepaskan burung itu ke sangkar temannya, ia masih bisa mencuri-curi pandang ke burungnya itu jika si burung sedang bersama dengan temannya dan kebetulan bertemu dengannya. Satu hal lagi, dan ini yang paling penting, jika cinta dan rasa memilikinya kepada burung itu tidak kunjung pudar meskipun waktu telah lama berlalu dan ia sudah membiasakan menjalani hari tanpa burung itu, ia masih punya kemungkinan untuk merebut kembali burung itu dan jika kemungkinan itu tertutup, ia akan membongkar paksa kemungkinan itu agar terbuka.
Itu kejadian kemarin, namun Abang Tu masih mengingat kesimpulan yang ia dapatkan.
Pagi ini, tanpa mempedulikan senyuman kakak-kakak yang habis mandi dan senyumnya mengembang menebarkan segala kebaikan di dunia kepadanya, Abang Tu menghajar motornya dengan buru-buru. Ia pergi ke rumah temannya yang pecinta burung-burung berparas cantik dan bersuara merdu itu.
“Selamat pagi, sahabat!” sapa Abang Tu sesampainya di sana dan temannya membukakan pintu untuknya dengan mata yang masih separuh terkatup.
“Selamat pagi. Mari masuk.”
“Tidak perlu, sahabat. Aku buru-buru dan hanya akan mengajukan tiga pertanyaan serius dan satu pertanyaan berolok-olok sebagai kesimpulan.”
“Baiklah, sahabat. Silakan.”
“Pertanyaan pertama. Menurutmu, apa itu cinta?”
“Sebaiknya aku cuci muka dulu.”
“Baiklah. Lima menit.”
Selama empat menit tiga puluh dua detik Abang Tu berdiri di depan pintu. Sesekali ia mengarahkan pandangannya ke burungnya. Kecantikan burung itu sudah sedikit pudar di matanya, namun ia mesti mengakui bahwa cintanya tidak pudar sedikit pun. Bagi burung itu mungkin cinta telah selesai, namun baginya cinta justru semakin dalam. Dua puluh tujuh detik kemudian temannya itu telah kembali ke hadapan matanya dan membawa sebuah jawaban, “Cinta adalah ketika kau sanggup menangguk kepedihan yang benar-benar pedih demi menyembuhkan luka yang ditanggung seseorang.”
“Terlalu samar-samar dan berbelit-belit, tapi bolehlah,” tanggap Abang Tu. “Pertanyaan kedua. Jika kau menjadi aku, apa sesuatu yang kumiliki yang akan sangat kaucintai?”
“Burungmu.”
“Burung yang mana?”
“Burung yang ada dalam sangkar itu, sahabat.”
“Pertanyaan ketiga. Mengapa?”
“Karena burung itu adalah burung berparas cantik dan bersuara merdu yang aku idam-idamkan selama ini. Aku rela melepaskan semua burung yang kumiliki saat ini demi memiliki burung yang ada di genggamanmu saat ini. Dan sejujurnya, sejak kau menitipkan burungmu itu kepadaku beberapa hari yang lalu, kami sudah menciptakan beberapa kenangan manis dan aku telah menyatakan padanya bahwa kenyamanan yang aku dapatkan selama tujuh hari bersamanya telah menghapus kenyamanan bertahun-tahun yang kudapatkan pada burung-burung lain. Selain itu, sejak hari terakhir aku bersama burungmu itu, aku selalu mencari-cari saat di mana kau mau melepaskannya ke sangkarku. Dan kupikir, saat itu telah tiba.”
“Baiklah, sahabat. Pertanyaan terakhir. Jika kuhantamkan sangkar ini bersama burung itu sekalian ke kepalamu, apakah kau akan marah?”
“Kau bercanda, sahabat.”
“Bukankah sudah kukatakan bahwa pertanyaan terakhir adalah pertanyaan berolok-olok.”
“Baiklah.”
“Lantas apa jawabanmu?”
“Aku tidak akan marah.”
Tiga detik setelah mendengar jawaban terakhir temannya itu dan setelah sempat senyum dengan manis setengah detik kepada temannya itu, Abang Tu mengangkat sangkarnya tinggi-tinggi dan menghantamkan sangkar itu sekuat tenaga yang ia punya ke kepala temannya. Sangkar itu patah berderai dan tiga dari beberapa ujung sangkar yang patah itu menusuk tepat ke badan burungnya itu. Temannya meraung karena sakit dan meraung lebih keras lagi karena terkejut atas kesialan yang ia dapatkan sebelum sempat sarapan dan merokok.
Dan kini Abang Tu tersenyum, senyum yang sungguh puas. Akhirnya ia kembali mendengar burungnya berkicau, meskipun lirih dan hanya untuk terakhir kalinya.
JADI benar bahwa aku murni bercerita tentang burung yang benar-benar burung, bukan? Namun, bila kau merasa cerita ini justru serupa dengan kisah cinta temanmu, sekali lagi kukatakan, kau boleh berhenti membaca sampai di sini. (*)
TBSB, April 2016
Karta Kusumah lahir di Palembang, menetap di Padang. Bergiat di Komunitas Seni Nan Tumpah.
Leave a Reply