Rilda Taneko

Kawan Keluarga

0
(0)

Cerpen Rilda A Oe Taneko (Media Indonesia, 24 April 2016)

Kawan Keluarga ilustrasi Reza Pratmoko

Kawan Keluarga ilustrasi Reza Pratmoko

DAVE datang lagi. Untuk yang ketiga kalinya dalam bulan ini. Ketika ia masuk ke rumah, dibawanya pula salju dan udara dingin dari luar. Minus satu sore itu.

“Jika tidak keberatan, boleh kau tutup pintu?” tanya Wibi.

Dave menutup pintu. Ia melepas sarung tangan, kemudian memasukkannya ke kantong mantel. Topi dijejalkannya ke kantong satunya lagi. Ia membuka mantel dan menggantungnya di kaitan yang terletak di samping rak sepatu. Beberapa serbuk salju yang menempel di mantelnya jatuh ke lantai keramik khas zaman Victoria, meninggalkan bercak air di beberapa tempat.

Jika sudah tanpa mantel begitu, Dave tampak kurus sekali. Ditambah dengan tubuhnya yang tinggi dan rambut pirang kecokelatnya yang berbentuk helm, ia terlihat seperti korek api.

“Masuklah,” Wibi mempersilakan.

Dave hendak melangkah ke ruang duduk ketika Wibi memanggil.

“Sepatumu. Lepas dulu. Rai sering main di karpet.”

“Aku lupa. Maaf. Apa Rai ada di rumah?”

“Dia ada kelas karate di sekolah. Hanya kami di rumah.”

Kami yang dimaksud Wibi adalah ia dan istrinya, Aliesha.

Dengan segan, Dave membuka sepatu dan meletakkannya di dekat rak. Kaus kakinya berlubang di bagian ibu jari.

“Silakan duduk,” Wibi mempersilakan.“Teh atau kopi?”

“Kopi, please. Ta, mate.”

Wibi beranjak keluar dari ruang duduk. Dari dapur, terdengar suara air mengucur dan ketel merebus air. Lalu bunyi adukan sendok bersinggungan dengan gelas. Wibi masuk kembali dengan dua gelas kopi, yang diletakkannya di meja kayu ek persegi panjang. Ia duduk di sofa kulit berwarna putih, berhadapan dengan Dave.

“Bagaimana pertemuanmu tadi?” Dave menghela napas.

“Tidak bagus?” tanya Wibi.

“Mereka bahkan bilang mereka mulai berpikir kalau pengangkatanku adalah sebuah kesalahan.”

“Apa?!” seru Wibi, “Tak mungkin mereka bilang begitu.”

Dave mengangkat bahu. “Kenyataannya begitu.”

“Tapi kau lulus dengan gelar distinction dari Cambridge. Kau lulus doktor tanpa perbaikan sama sekali. Pengalamanmu sebagai pengacara dan kemampuan bahasamu tentu berguna dalam riset.”

Dave kembali mengangkat bahu.

“Lalu?”

“Mereka memintaku membuktikan diri. Aku harus bisa menerbitkan penelitian di jurnal ternama dalam setahun ini.”

“Tapi setahun waktu yang sebentar untuk itu.”

“Aku tahu. Tapi aku sudah bekerja di universitas sini selama setahun. Masa percobaanku berakhir tahun depan. Publish or perish, matepublish or perish.”

Baca juga  Via Dolorosa sang Bhikkhu

Mereka terdiam. Dave meraih gelas kopinya dan menyesap sedikit.

“Hidup ini keras, kawan,” gumam Dave.“Kau beruntung. Kau sudah tenure. Sudah dapat posisi senior pula.”

“Aku bekerja keras untuk itu.”

“Semua orang bekerja keras, kawan. Dan umurku jauh lebih tua darimu.”

“Hei Dave! Apa kabar?”

Aliesha masuk ke ruang duduk dan langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Wibi.

“Aku baik-baik. Bagaimana denganmu?”

“Baik-baik juga, terima kasih. Kalian mau biskuit?” Tanpa menunggu jawaban, Aliesha bangkit dan pergi ke dapur. Aliesha suka memasak dan menjamu tamu. Ia senang membuat orang lain kenyang dan puas. Sekejap ia kembali, sambil membawa semangkuk biskuit digestive dan dua lepek puding roti dan mentega.

Setelah meletakkan nampan di bagian bawah meja, Aliesha berkata, “Aku permisi dulu. Aku harus menjemput Rai.”

Aliesha juga tidak butuh jawaban untuk itu. Ia meraih kunci mobil di sisi mangkuk potpourri, yang diletakkan di meja kecil di sisi sofa, dan pergi mengambil mantelnya. Terdengar suara pintu dibuka dan ditutup. Lalu sayup deru mesin mobil menjauh.

“Aku dengar Aliesha lulus tes mengemudi pertama kali? Tanpa kesalahan?”

“Ya,” jawab Wibi.

“Aku gagal lima kali. Aku sampai pergi ke Skotlandia. Di sana angka kelulusan lebih tinggi dari Inggris.”

“Kau ke Skotlandia hanya untuk tes mengemudi?”

Dave mengangguk. “Lulus tanpa kesalahan sangat jarang terjadi. Mungkin Aliesha sedang beruntung saja.”

“Beruntung? Maksudmu?” tanya Wibi.

Dave tidak mengacuhkan pertanyaan Wibi. Ia malah bergumam sendiri. “MSM: Mirrors, Signal, Manoeuvre…Blind spot…Sinyal ke kiri sebelum keluar bundaran…”

Wibi mulai bosan. Ia mengambil Kindle dari atas tumpukan buku di bawah meja dan membukanya.Wibi tergila-gila pada permainan catur. Sejak kenal dengan Wibi, Dave pun gigih bermain catur. Ia membeli banyak buku dan CD permainan catur, juga bermain online hampir setiap hari.

“Aku sedang membaca bukunya Judit Polgar.”

Wibi menunjukkan buku elektronik berjudul How I Beat Fischer’s Record.

“Judit Polgar?” Wibi menegakkan tubuh. Di balik kacamata persegi panjang berbingkai hitam, matanya melebar, dan berbinar. Ia selalu bersemangat saat bicara tentang catur.

“Masa kau tak tahu Judit Polgar? Polgar bersaudara?”

Dengan sungkan, Dave menggeleng.

“Susan, Judit, dan Sofia Polgar. Orangtua mereka ahli pendidikan. Ketika ada riset yang menyimpulkan bahwa laki-laki lebih pintar daripada perempuan, dengan menjadikan permainan catur sebagai bukti, mereka tertantang untuk membuktikan kalau riset itu salah. Dan mereka berhasil. Tiga anak perempuan mereka menjadi GM dan IM.”

Baca juga  Joseph dan Sam

Dave menyesap kopinya.

“Buku ini menarik. Bayangkan saat itu, tahun 1980-an, Judit kecil harus melawan pecatur kelas dunia. Saat berumur 15, ia mendapat gelar GM. Seorang perempuan, anak kecil pula!” lanjut Wibi.

“Tahun 2002, saat pertandingan Russia versus Rest of the World, ia menang melawan Kasparov.”

Dave meraih piring puding, menyilangkan kaki dan mulai memasukkan sesendok kecil puding ke mulutnya. Ia mulai tertarik mendengar penjelasan Wibi.

“Judit kecil harus berhadapan dengan pra anggapan tentang anak-anak. Meski sudah banyak pecatur anak-anak, chess prodigy, yang melegenda, seperti Reshevsky, Capablanca, dan Fischer, masih banyak pecatur yang meremehkan. Mereka terlihat kerdil saat tidak menang bertanding melawan anak kecil.”

Wibi membuka Youtube dan pindah duduk di dekat Dave. “Lihat.”

Ia menunjukkan video pertandingan Carlsen kecil versus Kasparov dan kemudian, Karpov.

“Lihat kan bedanya? Sikap saat berjabat tangan di akhir pertandingan sangat penting. Meski kalah, Karpov masih bisa tersenyum.”

Dave meletakkan piringnya yang sudah kosong.

“Mau main? Permainan cepat saja?” tanya Wibi.

“Ya, kenapa tidak.”

Wibi mematikan Kindle dan meletakkannya di bagian bawah meja, di atas nampan. Ia masuk ke ruang kecil di bawah tangga. Ketika keluar, ia sudah menggenggam sebuah papan catur.

Saat Rai dan Aliesha tiba, Wibi dan Dave hampir menyelesaikan permainan mereka yang ketiga.Tak sekali pun Dave menang.

“Rai, sini,” panggil Wibi. Rai memeluk Wibi, yang kemudian mengangkatnya ke pangkuan, lalu bertanya dalam bahasa Indonesia, “Satu langkah lagi sekakmat. Rai bisa lihat?”

Rai berumur sembilan tahun dan ia menyukai papan permainan. Apa saja.Ular tangga, monopoli, atau scrabble. Catur boleh juga. Rai menatap papan catur beberapa jenak. Ia mengangguk.

“Ayo, langkahkan kalau begitu,” bujuk Wibi.

Rai menoleh pada Dave. Ia meluncur turun dari pangkuan Wibi dan berlari ke ruang di bawah tangga. Ketika keluar ia sudah menggenggam sebuah robot Lego. Rai pergi ke dapur. Dari dapur, terdengar percakapan Rai dengan Aliesha, bising suara Rai bermain robot, dan tak lama kemudian, tercium bau sedap masakan.

Baca juga  Satu Jam Menuju Manchester

“Makan malam sudah siap!” seru Aliesha.

Wibi dan Dave sedang menyelesaikan permainan mereka yang kelima kali. Tapi tetap saja Dave tidak pernah bisa menang. Mereka berjabat tangan dan beranjak ke dapur, tempat meja makan enam kursi diletakkan. Mereka berbincang akrab sambil menikmati hangatnya sup krim brokoli, salmon panggang, asparagus dan kentang halus, lalu apel pai.

Selesai makan, mereka kembali ke ruang duduk. Dave membujuk Rai untuk bermain catur dengannya. Rai yang awalnya ingin menonton film robot, akhirnya mengiyakan. Permainan itu dibuka Rai dengan English Opening. Beberapa kali Dave menggaruk kepala. Di akhir permainan, tangan Dave tampak gemetar saat ia memindahkan bidak caturnya. Tak mungkin bisa diselamatkan lagi.

Check-mate,” kata Rai.

Dave terdiam. Rai mengulurkan tangan. Tanpa sambutan. Ketika akhirnya Dave meraih tangan Rai, ia berkata, “Lihat-lihat, seperti ini.”

Ia mengajari Rai untuk mengepalkan tangan, serupa yang dilakukan Hiro dan Baymax di film Big Hero 6. Rai mengikutinya. Lalu Dave menyentuh pundak Rai. Rai tampak bingung. Tak sampai sedetik, tamparan mendarat di pipinya.

Dave menampar Rai!

Aliesha dan Wibi kaget luar biasa. Rai menatap orangtuanya, meminta penjelasan. Tapi tak ada yang mengerti mengapa Dave melakukan itu.

“Dave, kenapa kamu menampar Rai?!” pekik Aliesha.

Mendengar Aliesha, Rai bangkit dan berteriak, “You’re a sore loser!

Ia berusaha membalas tamparan Dave sambil terisak kuat.

Wibi meraih Rai dan memeluknya. Dengan menggelegar, ia membentak, “Keluar! Dan jangan pernah datang lagi!”

Dave bergegas mengenakan sepatu, mengambil mantel dan membuka pintu. Saat keluar, ia membiarkan hempasan butiran salju dan udara dingin masuk ke rumah. Minus tak terhingga malam itu. Dingin menyumsum.

Sebuah jalinan telah beku, terberai serupa badai salju. (*)

 

 

Lancaster, 2016

Rilda A Oe Taneko, cerpenis. Sejak 2005, ia menetap di Eropa. Buku cerpennya, Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010).

 

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!