Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 24 April 2016)
Gerimis baru saja reda. Senja tersaput mendung yang murung. Orang-orang bergegas dengan terburu: berlalu lalang dengan wajah panik memasuki ruang tunggu kereta di stasiun Tugu. Aroma perpisahan mengendap di setiap sudut stasiun.
Pun ditambah deru mesin kereta yang siap bergegas pergi: membuat seorang seolah terjebak pada keterbatasan ruang dan jarak untuk saling menyapa. Saling bertemu. Begitu pula dengan aku dan kau. Hari ini kita bagai ikut merayakan perpisahan di stasiun Tugu. Kita saling berpegang tangan: tidak mau telepas dan berpisah dari pertemuan terakhir yang sentimentil ini.
Kau menatapku dengan sepasang mata tajam. Aku termangu untuk mengambil jeda beberapa jenak lamanya. Aku paham: Kau sedang berusaha meyakinkanku kalau semua baik-baik saja. Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang lebih banyak menggunakan perasaan daripada pikiran, tetap saja aku memikirkannya: menganggap perpisahan sore ini adalah sebuah kiamat kecil. Karena begitu getirnya, aku pun lebih banyak tertunduk. Aku tidak berani menatap wajahmu: memperhatikan kumismu yang tipis atau sepasang alismu yang selalu kukagumi itu. Aku membenamkan wajah pada sepasang sepatuku…
Dengan pelan—jauh lebih hati-hati dari biasanya—kau pun meraih tanganku. Ada getar yang terasa lembut ketika kau mengepal tanganku. Terasa begitu dingin sepasang tanganmu: beku. Bibirmu sedikit bergetar. Ada kata yang ingin kau ucapkan, tetapi selalu kau tunda. Pun, seolah kata yang kau simpan itu adalah laknat yang tak boleh aku dengar. Namun, kau tetap harus mengucapkannya—walau sepuitis apa pun—agar drama perpisahan sore ini genap.
“Aku harus…” Kata-kata itu serak. Kalimat penghabisan yang gagal kau hunuskan kepadaku. Akan tetapi, aku sudah dapat merasakan perihnya tusukan itu: perpisahan itu. “Kau…”
Bibirku masih tak mau bergerak. Kata seakan punah. Wajahku berpekur meratapi sepasang sepatu. Lamat, aku memandangmu ketika kereta tujuan Jakarta sudah merapat di stasiun. Semua orang mulai bergegas masuk. Berduyun-duyun mereka tenggelam pada gerbong-gerbong tersebut. Tetapi, kau tidak. Kau masih termangu sembari memilih kata perpisahan yang paling manis untuk menyudahi babak drama ini.
“Aku titipkan sepotong hatiku padamu, sayang,” ucapmu lirih dan berat. Kau tidak langsung menusukku dengan kalimat perpisahan. Kau memilih kata yang lain: kata-kata yang lebih bersahabat, tapi tetap bermakna sama: perpisahan.
Sedikit berlinang aku menatapmu: “Maksudmu, sayang?”
Kau terlihat jauh lebih sibuk. Ada sesuatu yang kau cari di dalam tasmu. Sebuah pisau kecil—mungkin pisau buah—kau keluarkan. Aku menatapmu bingung. Dan aku—seperti seorang bocah—hanya pasrah melihatmu melakukan apa saja. Dengan hati-hati kau membelah dadamu. Aku tertegun: tidak percaya.
Kau benar-benar memberikan sepotong hatimu untukku. Hati yang merah dan bercampur darah. Ah, begitu gila cinta ini. Bahkan, dengan lekat aku memperhatikanmu saat mengiris pelan hati itu, kemudian kau memberikannya kepadaku. Sedangkan, hati yang lainnya kau masukkan kembali ke dadamu. “Jagalah hatiku selama aku pergi, sayang.”
Kau tidak hanya berkata-kata: kau sungguh melakukannya. Hati wanita mana yang tidak luluh dengan segala pengorbananmu. Kau rela membongkar dadamu; mengambil sepotong hati yang berlumuran darah; memberikannya kepadaku agar menjaganya. Aku mendekap sepotong hati pemberianmu. Darah segar masih bercucuran dari sela jariku. Air mata mengalir. Sepasang sungai kecil beraliran kesedihan menguara dari hulu tapuk mataku; jatuh pada talepak tanganku yang memerah.
Lirih aku menukas. “Tetapi, apakah kau tidak tersiksa hidup dengan sepotong hati saja, sayang?”
“Tidak! Aku tidak akan tersiksa, sayang,” sergahmu mengecup keningku, pelan menjalar ke bibirku. Kami memanggut. “Dengan memberikan sepotong hati itu aku akan merasa selalu dekat denganmu, sayang.”
Cinta memang dapat membuat seseorang melakukan apa saja di luar batas nalar. Cinta memang sulit didefinisikan. Hingga cara-cara tidak masuk akal, seperti membelah dada dan mengambil segumpal hati yang masih berlumur darah. Semua dapat dilakukan karena cinta. Kereta melengking. Kami tiba-tiba tersadar menjadi pusat tontonan di tengah kesibukan stasiun Tugu yang bergegas. Orang-orang memandang kami haru. Banyak yang menitikkan air mata. Kami berpisah. Kereta membawamu. Pergi…
***
Sepotong hati itu begitu khusyuk aku jaga. Seperti aku menjaga diriku sendiri. Bahkan, aku merasa tidak ada yang paling berharga di dunia ini selain sepotong hati ini. Setiap hari setelah menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, tiada kegiatan yang ingin aku lakukan selain memandangi sepotong hati itu.
Memang, ketika rasa rindu datang melanda, aku hanya cukup melihat sepotong hati di dalam toples kaca. Dan benar! Walau jarak kami terbentang ribuan kilometer, memandang sepotong hati itu; jarak yang begitu jauh terasa begitu dekat. Aku merasa kau ada di sampingku: duduk bersama dan mendekap hangat. Kau ada dalam getar keyakinan yang tidak bermatrial; wujud tanpa eksistensi yang utuh di hadapanku.
“Kira-kira kau sedang apa di sana, sayang?” Aku berbicara pada sepotong hati itu. “Aku ingin kau segera pulang dan menemaniku. Aku ingin memelukmu, sayang.”
Aku memeluk toples kaca berisi sepotong hati pemberianmu. Aku bagai mendengar detak jantungmu yang berdegub: desir napasmu yang cepat ketika kau ingin melumat bibirku. Kau hadir dalam wujud tak bermaterial di hadapanku: mengobati luka rindu karena keterbatasan ruang dan waktu untuk bertemu. Jarak hanyalah sebuah persepsi:
cinta membuat segala yang jauh menjadi dekat. Sepotong hati itu memang mampu menghapus segala keterbatasan.
***
Sepotong hati di dalam kaleng kaca itu selalu aku bawa ke manapun. Aku menentengnya bekerja atau berpergian. Setiap akhir pekan, ketika memiliki waktu luang, aku membawa sepotong hati ke kafe. Aku bercakap apa saja.
“Hari ini langit begitu indah, sayang?” Sepotong hati itu berdenyut-denyut. “Apakah langit di kotamu juga?”
Orang-orang mulai memperhatikan tingkah ganjilku berbicara seorang diri di kafe. Mereka mencurigai benda aneh berwarna merah yang berdenyut-denyut di dalam toples kaca. Akan tetapi, aku tak acuh dengan tanggapan orang-orang. Kupingku buntu dari segala cibir. Aku hanya ingin dekat dengan belahan jiwaku; kekasihku: kamu. Hingga pada suatu hari ada orang bertanya. Mungkin, ia satu dari sekian orang yang penasaran dengan segumpal daging pemberianmu.
“Sebenarnya benda apa yang selalu kau bawa itu?” Ia meneliti dengan mencuri pandang. Keningnya berkerut mengamati benda merah yang berdenyut-denyut di dalam kaleng. Aku tersenyum. Wanita itu memandangku janggal. “Itu sepotong hati, Nona?”
“Betul,” balasku singkat. “Ini sepotong hati milik kekasihku.”
“Sepotong hati milik kekasihmu?” Air muka wanita itu menjadi pucat. Ia setengah tidak percaya. “Bagaimana bisa hal itu terjadi, Nona?”
“Mudah sekali,” tukasku ringan. “Kekasihku cukup membelah dadanya dan memberikan sepotong hatinya kepadaku.”
Wajah itu pias. Ia mengambil jarak. Dua langkah mundur. “Apa ia tidak mati?”
“Tidak!” Aku tenang. “Ia hidup dengan sepotong hati di sana dan sepotong hati yang lain aku rawat. Agar cinta kami terus terjaga.”
“Tidak masuk akal! Bagaimana kekasihmu dapat hidup dengan separuh hati?
Apakah ia bahagia hidup dengan separuh hati? Bukankah kebahagiaan itu malah tidak menjadi lengkap? Dunia sudah benar-benar gila!”
Wanita itu pergi begitu saja. Masih dengan wajah pucat. Ia kukuh tak percaya kalau ada seorang yang bisa membelah dadanya; mengambil segumpal hati; memotongnya menjadi dua; memberikannya kepada kekasihnya. Walau akhirnya di kemudian hari penyataan wanita itu malah menggangguku: Apakah benar kau dapat hidup bahagia dengan separuh hati? Apakah kau tetap mencintaiku dengan sepenuhnya di sana?
***
Angka-angka yang tertera di kalender senantiasa berganti. Rindu menebal di dadaku. Selama satu tahun terakhir kau jarang memberiku kabar. Sangat berbanding terbalik ketika pertama berpisah. Sepotong hati yang kau berikan kini mulai mengering. Detaknya juga mulai melemah. Aku takut. Gumamku: Apakah kau masih mencintaiku dengan sepotong hati di sana?
Melesat pikiran-pikiran buruk di kepalaku. Hari-hari menjadi sulit dan melelahkan. Apalagi ketika aku sulit menghubungimu; mendengarkan suaramu. Kau terasa jauh. Dan, sepotong hati di dalam toples kaca itu terus mengering.
“Apa yang terjadi denganmu di sana, sayang?”
Setiap aku memadangi sepotong hati itu, aku seperti orang gila. Kadang pula aku meneteskan beberapa titik air mata agar kau juga merasakan kegelisahanku.
“Semoga kau baik-baik saja di sana, sayang.”
Sepanjang malam aku mendekap sepotong hati di dalam toples kaca. Aku berharap dapat kembali memeluk tubuhmu. Pun hingga tertidur, aku masih mengalirkan sepasang sungai kembar kesedihan. Hingga tanpa pernah aku sangka, sepotong hati itu membusuk dengan sendirinya.
***
Di sebuah kota besar, orang-orang sibuk menggadai hatinya pada apa pun yang ia suka. Sore itu, setelah seharian sibuk bekerja, kau berdiri di tepi sungai. Kau di sana membuang sepotong hati ke tengah Sungai Ciliwung, kemudian memasang dengan baru; hati yang baru saja kau beli di pusat belanja. “Dengan hati yang baru ini, aku tidak akan merasa sungkan melakukan apa pun,” desismu masuk ke dalam bar. Di sana kau langsung disambut oleh gadis-gadis cantik. Bahkan, satu dari mereka berhasil merayumu dan membawamu ke atas ranjang. (*)
Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah juara dua sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indonesia UGM (2013), Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.
Leave a Reply