Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 24 April 2016)
SURAD berlari menembus belukar hutan yang rapat. Napasnya hampir habis, tapi suara gemuruh dari hutan bagian selatan menghantuinya. Hutan di sisi barat ini jalan terpendek satu-satunya menuju tobu (kampung) Olondoro. Hujan telah menggemburkan tanah, membuat goyah bukit Lere’Ea yang mengelilingi desa di mulut tanjung itu.
Tapi, harus ada yang memeringati orang-orang—harus ada.
Sebelum Robohnya Bukit Kami
Surad merasa harus melakukannya, kendati Ama (bapak) Karabu mendaratkan tempeleng ke pelipisnya selepas salat Jumatan pekan lalu. Orang tua itu menganggap Surad lancang berbicara di depan jamaah, memprovokasi orang-orang agar berhenti mencungkili bebatuan dan mengambil pasir dari kelokan timur sungai La’Kambula, berhenti membalak pepohonan di Lere’Ea.
“Hanya Lere’Ea yang membentengi desa ini dari angin kering dari selatan. Hanya bukit itu juga yang menjaga kampung Bajau di perairan Tanjung Lawota dari gelombang Selat Sulawesi. Dua tobu (kampung) ini akan…”
—PLAK!
Kata-kata Surad terhenti, lehernya memutar ke kanan. Ama Karabu tegak di depannya dengan wajah kelabu, penuh amarah. Surad memegangi pelipisnya yang panas—darah melelehi hidungnya, jatuh menetesi lantai masjid.
Sebagian orang ikut-ikutan mengutuk Surad. Tetapi sebagian yang lain justru memprotes tindakan Ama Karabu, memukul orang dalam masjid. Ama Karabu sebenarnya bisa saja mengadukan Surad kepada Bonto (hakim adat), atau menghajar pemuda itu di luar masjid. Jika sudah lancung begitu, Doja Rasyid-lah yang akhirnya repot—harus membersihkan tetesan darah dari lantai masjid.
Ama Karabu tak peduli. Menurutnya, Surad tak boleh mencampuri urusannya dengan menghasut orang-orang. Tapi tekad Surad sudah bulat untuk terus memeringati orang-orang.
Surad menceritakan kecemasannya pada Pak Akla, Puu’tobu (kepala kampung) Bajau. Saat sedang mengamati burung-burung yang seharusnya sudah bermigrasi dari tenggara, Surad tak sengaja melihat rengkahan tanah yang memanjang dari sisi timur ke bagian barat bukit di tanjung. Rengkahan itu selebar lima jari tangan orang dewasa.
Itu patahan tanah—Lere’Ea itu adalah bukit yang ditopang karang di bawahnya. Dinding karang itu juga pembatas pesisir Tanjung Lawota dari perairan di sisi utara Pulau Kabaena. Jika memandang ke bawah—dari atas Lere’Ea, sejauh 600 meter dari tebing karang—tampak kampung Bajau membentang di atas air dalam formasi diagonal.
Surad meringis. “Tinggal dinding karang itu saja yang menahan bukit kita.”
Pak Akla menoleh ke pesisir, memandangi ujung Tanjung Lawota. Matanya menggeriap. Ia mengerti betapa besar kecemasan Surad. Bukit Lere’Ea itu menunjang Tanjung Lawota di mana orang-orang Bajau mengumpulkan hasil laut di pesisirnya.
Orang-orang membalak di bukit itu dimulai tujuh bulan lalu, mengambil kayu-kayu dari bukit untuk membendung sungai sebelum mengeruk pasir di dasarnya. Orang-orang itu suruhan Ama Karabu. Mereka menyisakan sedikit sekali pohon kecil yang tetap tak mengubah wajah kering bukit itu.
“Celahnya besar sekali ya,” gumam Pak Akla sembari mendorong sepiring pisang rebus ke depan Surad. “Bagaimana menurut Pak Madjid? Sudah kau ajak beliau melihatnya?”
“Sudah saya beri tahu, tapi…,” Surad menggeleng, “beliau belum merespons.”
Pak Akla memenuhi dadanya dengan udara laut yang kering. Dari beranda belakang palemma (rumah apung) miliknya, ia leluasa memandang ke arah bukit Lere’Ea. Di perairan Tanjung Lawota ini, keluarganya turun-temurun menetap sebagai suku laut. Moyangnya mendirikan kampung ini atas seizin para Mokole (raja) Kabaena yang menguasai seluruh area itu hingga Pulau Selayar. Saat kakek buyutnya mengepalai kampung ini, di tahun 1871 antropolog Johannes Elbert dan ilustrator Grundler, datang dan menulis tentang mereka. Kedua orang Jerman itu memperkenalkan mereka pada dunia lewat foto-foto. Grundler memotret kampungnya dengan kamera obscura dari film lempengan tembaga berlapis perak.
***
“Sesungguhnya, tak ada yang berubah dari bukit itu bagi kami—juga hutan utama Malate dan hamparan bakau di pesisir Lawota ini. Kondisi Lere’Ea tiba-tiba berubah drastic sejak orang-orang menggali pasir di sungai La’Kambula. Bukit itu telah memberikan segalanya bagi kehidupan kami. Kami tetap jelas mengingatnya setelah delapan generasi. Dari sudut itulah…,” Pak Akla menunjuk area terbuka di pesisir Barat, “Grundler memotret kampung ini. Bukit itu, dan laut di depannya, adalah Puu’wonua (Ibu Bumi) bagi kami.”
Surad terpekur. Kepalanya ikut menoleh dan matanya kembali mendapati Lere’Ea yang meranggas. Lalu tubuhnya memutar setengah dan lengannya terangkat. “Dari ujung sana, lalu melingkar hingga sampai ke pohon itu…” Surad menunjuk pohon melinjo besar di bagian timur tanjung, “Patahannya jelas sekali. Dinding karang itu tak akan kuat menahan beban tanah yang terus bergerak.”
Pak Akla masygul. “Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?”
Surad tak langsung menjawab pertanyaan itu. Matanya memandang sekeliling perkampungan. Dahulu, Pak Akla pernah mengajaknya melihat bagaimana orang Bajau mengenalkan laut pertama kali pada bayi-bayi mereka. Setelah sembilu memutuskan ari-ari setiap bayi Bajau, dalam gendongan bapaknya, bayi akan dibawa masuk ke air laut yang hangat. Saat bayi dilepaskan perlahan-lahan, saat itulah bayi diperkenalkan pada Ibu Laut—rahim pertama suku laut—bahkan sebelum bayi disapih ibu kandungnya. Bayi justru mengapung seolah-olah perenang yang ahli dan mereka tak sedikit pun menelan air laut. Bayi menyelam ke sana ke mari dalam pengawasan bapaknya. Prosesi se perti itu tak lama—cuma sekitar dua menit, dan bagi Surad itu adalah dua menit yang sangat menakjubkan.
Surad menoleh. “Kita akan sibuk sekali, Ama. Tidak mudah menginapkan orang-orang laut ke daratan.”
Pak Akla mengangguk, menyeret dua keranjang bambu di atas lumpur bakau yang sadah. Perahu mereka ditambat di batas air pasang. Rajungan terbirit-birit masuk lubang saat melihat kedatangan mereka. Ikan-ikan belacak juga menyingkir, berlari di atas lumpur dan hinggap—berpeluk pada ujung akar—napas Bakau yang menyembul dari dalam lumpur. Sudah sesore ini keranjang bambu Pak Akla belum berisi seekor rajungan pun.
“Rajungan besar makin sukar dicari,” Pak Akla menunjuk beberapa rajungan kecil yang mengawasi dari jarak aman, “Kecil dan hijau seperti itu tak bisa dimakan. Tak akan laku pula jika dijual.”
Surad membanting keranjang bambunya. Ia merasa benar-benar tak berdaya. Ia kemudian menaikkan keranjang-keranjang bambunya ke atas perahu Pak Akla sebelum naik dan duduk di haluan. Mereka mengayuh perahu menuju hutan bakau di sisi pesisir selatan.
Di Hari Robohnya Bukit Kami
Seruan pertama Pak Akla langsung menetak liang telinga Surad dan pemuda itu terbangun dalam perahu. Matanya menggeriap. Tiang penyangga petromaks bergoyang, membuat pantulan cahaya kuning dari lampu itu menjalar seperti ular api di atas permukaan air. Malam ini langit cerah berbulan, pun bersih tanpa awan. Bintang utara terlihat terang sekali.
Sejak sore hingga menjelang dini hari ini Surad kelelahan menemani Pak Akla mencari rajungan. Rasanya ia belum lama merebahkan tubuh dan teriakan keras Pak Akla sudah membuatnya tersentak bangun.
“Bersiaplah!” Teriak Pak Akla seraya bergerak membelah air menuju perahu. Dua keranjang bambu yang diikat menyatu tampak penuh rajungan. Hewan-hewan bercapit itu menggeliat saling bertindihan. “Bangunlah!” Ulang Pak Akla menaiki perahunya.
Surad melilitkan sarung ke leher. “Ada apa, Ama?”
“Tidurmu seperti ular, sampai-sampai tak kau dengar suara gemuruh dari tanjung.”
“Apa?” Surad kaget setengah mati. “Jangan main-main, Ama!”
“Ambil dayungmu! Kita ke kampung laut sekarang juga!”
Surad meninggikan leher dan berusaha menangkap sesuatu dalam kegelapan jauh di tanjung sana. Kerlip lampu dari deretan palemma tampak menari-nari di kampung Bajau. Darahnya berdesir. Surad mengangkat dayungnya. Tanpa buang waktu mereka mengayuh perahu ramping itu secepat mungkin. Pak Akla sigap mengendalikan perahu dengan dayung pada dinding kayu buritan. Belum dua menit, peluh sudah membasahi punggung Surad.
“Aku sangat mencemaskan kampung.”
Pak Akla berusaha bicara di tengah derau air yang berkecipak oleh kayuhan dayung mereka. Perahu kecil itu kian laju.
Mata Surad menyipit, berusaha melihat dalam terpaan silau cahaya petromaks. “Aku juga harus ke tobu Olondoro, aku harus memeringatkan orang-orang.”
Delapan menit berikutnya, mereka akhirnya sampai di kampung Bajau. Gelombang laut begitu hebat mengayun perahu dan rumah-rumah warga. Orang-orang sudah keluar rumah, membuat penerangan dengan menyalakan obor dan menempatkannya pada tiang pancang di depan palemma masing-masing. Beberapa lelaki bergegas menghampiri saat perahu Pak Akla merapat di tangga palemma miliknya.
“Setelah gemuruh, gelombang datang tiga menit setelahnya. Lere’Ea roboh malam ini, Ama,” mata Sadae berkaca-kaca saat bicara pada ayahnya.
Pak Akla menatap Surad, lalu beralih pada Sadae. “Lepaskan perahu-perahu besar! Bawa semua warga ke daratan, menjauhlah ke pesisir timur sekarang juga! Mungkin saja akan ada longsor susulan.”
Sadae melompat dan berteriak-teriak. Kawan-kawannya ikut membantu melepaskan tambatan perahu-perahu besar. Sisanya, mengatur warga keluar dari rumah menuju perahu.
Pak Akla menyodorkan dayungnya pada Surad. Mata orang tua itu seperti bicara bahwa Surad harus bergegas. Saat melihat Sadae, Pak Akla sadar bahwa belum ada seorang pun yang menyampaikan kabar itu ke kampung Surad.
“Pakai perahuku,” ujar orang tua itu, “bergegaslah!”
Surad mengangguk. Ia membungkukkan tubuh, berpegangan di tiang palemma dan segera turun ke perahu. Ia palingkan wajah ke utara. Malam yang diterangi cahaya bulan menyergap matanya. Ia harus mengayuh perahu kecil itu ke mulut tanjung. Itu berbahaya sekali, sebab perahu kecilnya harus memintas gelombang yang disebabkan longsoran pertama. Dari sana ia harus memintas hutan menuju tobu Olondoro.
Harus ada yang memeringati orang-orang, harus ada.
Setelah mengayuh perahu, memintas sisa gelombang di mulut tanjung, pemuda itu berhasil mencapai pesisir utara. Ia mendongak ke arah Lere’Ea dan dalam keremangan cahaya bulan, ia bisa melihat kengerian yang mencemasinya selama ini.
Lere’Ea benar-benar patah. Tanah bukit itu tampak rengkah di dua sisinya dan turun beberapa meter. Runtuhan pertama telah mematahkan bagian atas dinding karang yang menopang bukit itu, mengirim ratusan ribu kubik tanah, sisa-sisa pohon kecil dan bebatuan besar tumpah ke perairan Lawota. Longsoran mengaduk air laut dan mengirimkan gelombangnya ke kampung Bajau. Bagian terbesar tanah di bukit itu tampak menggantung, menunggu waktu untuk longsor berikutnya ke arah tobu Olondoro sekaligus mengirimkan gelombang kedua ke kampung Bajau.
Surad berlari menembus belukar hutan yang rapat. Napasnya hampir habis. Tapi suara gemuruh pertama dari Lere’Ea menghantuinya. Berlari, ia harus berlari sekencang mungkin. Di benaknya kini terbayang wajah warga kampung, wajah ibunya.
Ia tak boleh terlambat, jika tak ingin kampung itu lenyap dalam timbunan tanah. Surad lari bertelanjang kaki menembus lebatnya hutan. Di ujung kampung, cahaya kecil dari lelampu tampak dari beranda rumah milik Ama Naja. Sedikit jarak lagi ia akan sampai. Semua bagian kakinya perih bukan main. Darah mengucur pelan dari sobekan luka oleh duri semak. Telapak kakinya mulai membengkak akibat luka tusukan bebatuan padas.
Sedikit lagi, Surad. sedikit jarak lagi—Surad itu membatin.
“Turunlah dari rumah!” Surad berteriak saat ia memasuki tobu. Ia harus membuat kegaduhan agar orang-orang terbangun. Ia memunguti kerikil, lalu melempari setiap rumah yang berada dalam jarak lemparannya. Upayanya berhasil. Orang-orang yang rumahnya ia lempari, keluar dan ikut berteriak, bertanya maksud Surad membangunkan mereka seperti itu.
“Bangunkan orang-orang lainnya. Pergi kalian dari sini. Lere’Ea roboh! Bukit kita roboh!” Surad kesetanan. Semua orang harus di selamatkan, harus!
Ama Karabu berlari menyongsong pemuda itu. “Panggil puu’tobu!” telunjuk Ama Karabu menuding muka Surad, “Dia ini sudah membuat keributan!”
Beberapa pemuda meringkus Surad, memegangi tangan dan lehernya.
Surad tak peduli. “Pergilah! Mengungsilah! Bukit kita akan roboh lagi!”
Pak Madjid tiba-tiba muncul dari luar kerumunan di sekitar Surad. “Siapa yang bikin keributan?” tanyanya.
“Dia ini, anak Ina Ijja,” tukas Ama Karabu.
Pak Madjid mendelik pada Ama Karabu. Orang-orang bicara lagi sembari menoleh pada Indara.
“Diam,” teriak Pak Madjid, “Apa maksudmu? Jelaskan padaku!”
“Aku dan warga kampung Bajau melihat sisian Lere’Ea roboh ke laut. Warga kampung Bajau sudah mengungsi ke pesisir setelah rumah mereka dihantam gelombang pertama. Masih ada rengkahan besar menggantung di sisi bukit dan mengarah ke tobu kita.” Surad menarik napas. “Aku harus menjemput ibuku, dan kalian juga harus pergi dari sini.”
***
Orang-orang bekerja bahu-membahu menyingkirkan timbunan tanah. Surad melihat Sakka berdiri mematung di atas talud. Anak lelaki itu melihat ke bawah, mengamati orang-orang yang bekerja menyingkirkan tanah dari lokasi di mana rumahnya pernah berdiri.
Dua jam berikutnya, orang-orang menemukan jasad Ama Karabu tertimbun tanah di antara balok kayu yang sengaja ditumpuk di halaman rumahnya. Ama Karabu hendak menyelubungi tumpukan kayu itu dengan terpal plastik, tapi longsoran tanah Lere’Ea keburu datang. (*)
Molenvliet, Maret 2016
ILHAM Q. MOEHIDDIN menulis banyak cerpen. Buku terbarunya, Ordinem Peremto (2016), segera terbit.
Leave a Reply