Cerpen Nurul Alfiyah Kurniawati (Jawa Pos, 01 Mei 2016)
Je te vois partout dans le ciel
Je te vois partout sur la terre
Tu es ma joie et mon soleil
Ma nuit, mes jours, mes aubes claires *)
Marseille, 2016
Suara khas Edith Piaf seolah menggema di sepanjang jalan menuju katedral-katedral tua di Marseille. Kota terbesar kedua setelah Paris ini tak pernah sungkan membuatku terpesona. Dibingkai pantai Mediterania, dengan angin mistral yang bertiup dari utara di musim-musim terbaiknya. Hawa nostalgia semerbak dari segala arah, dalam setiap suasana.
Bahkan tak jarang aku berpikir Edith Piaf akan bangkit dari kematian karena ingin terus menikmati setiap sudut kota mahakaya dengan menu-menu terbaiknya seperti bouillabaisse, sup ikan yang biasanya disantap bersama kentang halus. Membayangkannya saja aku sudah ngeri.
Puluhan orang, perempuan-perempuan dalam balutan summer dress atau V-neck tee dengan mini shorts dan lelaki-lelaki gagah dengan polo shirt dan celana jins selutut, berlalu lalang. Sebagian bergerak ke arah kafe di sepanjang jalan, sisanya bergegas ke arah pelabuhan Le Vieux Port, menaiki boat ke arah Chateau d’If, sebuah benteng pertahanan meliter yang konon pernah menjadi tempat dipenjarakannya penulis buku Lé Comte de Monte Christo Alexander Dumas.
Terlepas dari predikat kota industri, orang-orang Marseille memang tahu caranya bersenang-senang setiap hari. Jika ingin berkeliling, minum cocktail, makan makanan terbaik, berdebat dengan banyak etnis, dan jatuh cinta sampai gila, ini adalah salah satu kota yang sempurna. Barangkali karena kemegahannya dibangun di atas puing-puing air mata, reruntuhan perang dan gelisah yang tak pernah kedaluwarsa.
Aku ingin menceritakan kisah-kisah bahagia, seperti yang biasa kudengar dalam lagu dan cerita cinta. Tapi seperti halnya sembilan cerita terbaik yang ditulis Guy de Maupassant dan novel L’Assommoir yang ditulis Emile Zola, tak ada cerita yang benar-benar bahagia. Bahkan Edith Piaf yang sampai detik ini lagu-lagunya dipuja dunia, lahir dan tumbuh di masa Perang Dunia I dan ditinggal ibunya demi menjadi penyanyi di Konstantinopel hingga Edith kecil terpaksa tinggal bersama neneknya yang pemabuk. Tak ada manusia yang absen dari luka rupanya, meski begitu manusia bisa memilih untuk menjalani masa tidak terlalu bahagianya bersama siapa dan bagaimana, bukan? Dan di situlah letak seninya.
Lahir dan tumbuh di Marseille, jangan ragukan keakrabanku dengan bau amis ikan yang didapatkan nelayan di Desa Vallon des Auffes. Mata ini sudah puluhan tahun eksklusif memandangi warna-warna celupan dan karya manusia di seluruh kota. Mulai bangunan sampai pakaian dalam wanita.
Menyusuri La Corniche, jalan setapak yang biasa digunakan oleh pejalan kaki sepertiku ketika ingin menikmati udara sejuk dengan mataku mengarah ke laut, warna biru yang selama ini menjadi kendali jarak jauh, tempat untuk membangkitkan banyak arwah dalam pikiran yang lama kelamaan ingin kubunuh.
Aku menghela napas, tak tahu sudah ke berapa juta kalinya aku mengenang hal yang sama. Seolah usia tua tak menyurutkan kenangan yang berjelaga dan meninggalkan jejak paling permanen di nebula.
Parc Borély, Marseille 1989
Natalia Vadimovna Molchanova adalah gadis Rusia yang terdampar bersama tiga rekannya setelah berhari-hari mengarungi laut dan beberapa kali berlatih freediver di Mediterania hingga sampai ke tepi pantai kota Marseille. Seharusnya rekan-rekannya menyesal telah mengajak Natalia ke kota ini. Sebab tak sampai satu jam menjelajahi pelabuhan, ia segera merajuk agar mereka bisa menginap dan menikmati sehari saja suasana kota yang memiliki patung La Bonne Mére dilapisi emas dengan bahan dasar pualam dan mosaik ini. Namun akhirnya semua sepakat dengan idenya. Mereka menyebar dan berjanji akan berkumpul di pelabuhan di pagi buta untuk bersiap kembali ke Rusia.
Adapun Natalia memilih berjalan-jalan di taman seluas 54 hektare di pusat kota. Ia mengamati beberapa pasangan bergandeng tangan sementara kakinya terus melangkah ke arah pohon-pohon palem yang tumbuh rapi di taman. Terlalu sia-sia jika ia hanya menikmati keindahan ini sendirian. Tak jauh dari tempatnya berjalan jalan, Natalia mendapati seorang lelaki tengah memberi makan angsa di danau. Ia kemudian menghampiri pemuda itu meski sedikit ragu.
“Bonjour Monsieur, tu parles anglais? Selamat siang, Tuan. Bisa menggunakan bahasa Inggris?” Natalia memberanikan diri. Logat Rusia-nya kental sekali.
Pemuda di hadapannya menoleh, alisnya mengernyit karena terik matahari menyilaukan pandangannya.
“Sure. Biasanya penduduk lokal tidak menyukai bahasa asing tapi aku sebaliknya.”
“Namaku Natalia Molchanova.”
“Ah, ya. Aku Valls. Manuel Valls.”
Setelah beberapa saat berbasa-basi mereka mulai terlihat akrab satu sama lain. Selain makanan dan mode, pemuda Marseille adalah salah satu pesona yang tak dapat dengan mudah diabaikan di Prancis. Itulah pelajaran pertama yang Natalia catat di benak hanya dalam beberapa jam saja. Seperti sepasang teman karib yang baru bertemu pasca summer break, keduanya tak tampak canggung sama sekali.
“Qu ést-ce qui est, petit, rond, vert, et qui monte et qui descend? Benda apa yang kecil, bulat, hijau dan bergerak naik turun?” Manuel memberi tebakan.
Natalia menahan tawa, setengah tergelak ia menjawab.
“Un petit pols dans un ascenseur. Kacang polong yang jatuh di elevator.”
Manuel sontak terbahak lepas, disusul tawa Natalia yang pecah. Mereka berdua tampak tak terlalu peduli dengan tatapan orang sekitar yang tampak kesal.
Di Prancis, ada aturan tak tertulis tentang sopan santun saat berada di tempat umum. Jangan kaget ketika melihat orang-orang mengobrol dengan suara pelan dan jarak yang terbilang dekat. Mereka tak menyukai kegaduhan. Namun bagi dua orang yang sama-sama sedang mencegah diri untuk terpesona satu sama lain, tata krama tak masuk daftar dalam kepala.
Perjalanan menuju Hippodrome kali ini merupakan perjalanan paling indah bagi Manuel. Tak banyak perempuan yang mau diajak ke stadion kecuali ada pertandingan sepak bola. Selama ini kencannya berakhir di Musée de la Mode menyaksikan perempuan-perempuan terpesona dengan busana yang bagi Manuel tak masuk akal harganya.
Stadion tak begitu ramai. Hanya ada beberapa pria kaya yang bermain golf sementara berdua di tribun mereka bersemangat membicarakan Olympique de Marseille, klub sepak bola kesayangan penduduk kota. Natalia kemudian menceritakan hobinya menyelam, bagaimana akhirnya ia sampai ke pinggir pantai Medi terania dan mampir di Marseille.
Lalu Manuel juga menceritakan tentang dirinya. Ia lahir dari keluarga nelayan tetapi kini tinggal seorang diri pasca kedua orang tuanya meninggal dalam peristiwa bom molotov yang dipicu kerusuhan dan konflik etnis beberapa tahun silam. Ia juga lelaki yang pandai memasak. Saat mereka tiba di Vallon des Auff es nanti ia berjanji akan membuatkan Natalia salah satu makanan favorit orang Prancis, ratatouille.
***
Di depan loyang berukuran sedang, Natalia mengamati pemuda bercelemek yang kini tengah sibuk mengolesi terong ungu dengan minyak zaitun kemudian memanggangnya. Lalu dengan cekatan ia memotong bawang bombay, zucchini, tomat dan paprika yang kemudian ditumis dengan mixed herbs. Tak lupa ia membubuhkan garam dan lada hitam saat semua bahan utama tercampur dengan sempurna. Natalia berharap dapat memandangi lelaki itu memasak semalaman, sebab di dapur, Manuel tampak jauh lebih memesona.
Barangkali setiap orang terlihat jauh lebih memukau ketika melakukan hal yang benar-benar disenangi, batinnya. Sebagaimana ia merasa cantik dalam baju selam dan menyelam di lautan.
Tak lama kemudian dua piring ratatouille terhidang di meja makan. Ditemani dua gelas anggur dan cahaya bulan yang masuk lewat jendela. Rumah seluas 130 meter itu memiliki ruang makan menghadap ke laut. Sempurna. Memberi kesan megah tanpa perlu usaha apa-apa.
Dengan gramofon tua peninggalan ayah Manuel, makan malam mereka diiringi lagu-lagu Debussy. Di antara alunan musik dan desau angin yang tak terlalu berisik, kenyamanan menjadi satu-satunya pembenaran yang tepat untuk kedekatan yang hadir dalam sekali tatap. Pembelaan atas rasa aman yang datang dalam hitungan jam. Malam semakin larut, mata mereka bertemu. Pandangan itu seolah tak akan ada hari esok dan keduanya takut menghadapi dua arah berseberangan yang sama berbelok.
Marseille memang kota aneh dan penuh kejutan.
***
Manuel duduk tegak di atas ranjang. Dengan mata memaksa terbuka ia mengecek keutuhan tubuh dan sekitarnya. Kepalanya berdenyut, ekor matanya menangkap beberapa botol cocktail yang teronggok di meja. Apa pun yang terjadi semalam ia tak sempat lagi untuk sekadar mereka-reka dalam pikiran. Jantungnya sibuk berdebar, tubuhnya mendadak terkesiap tak siap dan pikirannya bersiaga meninggalkan tempat.
Ia mengedarkan pandangan berusaha mencari sosok yang ia harap muncul di pintu kamar mandi untuk sekadar mengucap selamat pagi setelah melalui waktu menyenangkan bersama-sama meski hanya sehari. Namun di kamar berantakan itu hanya ada dirinya yang berusaha mengumpulkan segenap kesadaran berikut kenangan-kenangan yang berserakan.
***
6 Agustus 2015
“Madrid-Natalia Molchanova pemegang 41 rekor sebagai freediver perempuan terbaik dunia diperkirakan tewas setelah dinyatakan hilang di laut Mediterania sejak menyelam di perairan sekitar Balaeric pada 2 Agustus.
Pencarian selama dua hari dilakukan Federasi Selam Internasional hingga hari ini belum membuahkan hasil. Bahkan satuan Unit Khusus Bawah Air yang ditugaskan kepolisian Spanyol yang dibantu Alexander Molchanova, anak penyelam asal Rusia itu belum menemukan tanda-tanda keberadaan jasadnya. Natalia dinyatakan terpisah dari rombongan selamnya tak lama setelah terjun ke laut.”
Dengan hati-hati Manuel meletakkan pisau yang sedari tadi digunakan untuk memotong ikan untuk menyiapkan makan malam. Matanya memandang deburan ombak yang tenang mencari sejumlah keberanian untuk mempercayai apa yang baru saja diberitakan di televisi.
Lama sekali, bertahun-tahun selama musim semi berlangsung ia nyaris tak pernah bepergian ke mana-mana. Diam-diam bersiap jika ada seorang perempuan yang mengetuk pintu untuk meminta dibuatkan berbagai makanan terbaik di kotanya. Selama bermusim-musim ia tunggu kabar dari majalah dan surat kabar berharap orang yang ditunggu akan menghadiri pekan olahraga di Marseille, meski hanya sekali saja. Tapi bukan kabar seperti ini yang dia harapkan. Bukan sama sekali.
Barangkali inilah momen quantum yang Natalia ceritakan saat makan malam bertahun-tahun silam. Kejadian lain dalam fisika yang tidak dapat dirumuskan seperti energi titik nol, ketidakpastian Heisenberg, interpretasi Born mengenai fungsi gelombang sebagai pembawa informasi dari partikel. Tak ada yang memberitahunya bahwa rasa rindu akan sebegini krusial.
Dari sekian kemungkinan tak peduli seberapa fantastik dan hebatnya jantung teori semesta berinflasi, perasaan cinta dalam hati adalah satu-satunya misteri yang belum bisa ia mengerti bahkan saat orang yang amat ia kasihi sepenuh hati telah resmi pergi.
Maka seandainya alat teleportasi menuju dunia subatom benar-benar ada ia akan dengan suka rela menuju dunia bebas gravitasi, patah hati, ruang dan waktu yang selama ini menyiksa setiap hari. Manuel lelah bertanya-tanya di musim semi ke berapa ia akan segera lenyap dari bumi dan segera berhenti mencintai kenangan yang didapatnya dalam satu hari. Satu hari yang dalam waktu bersamaan amat ia benci dan cintai setengah mati.
Peut- étre un jour tu revindras
Je sais que mon coeur t’attendras
Tu ne pourras pa oublier
Les jours que nous avons passés *)
Malang, 2016
*) Tu Es Partout adalah lagu yang dibawakan penyanyi legendaris Prancis Edith Giovanna Gassion yang lebih dikenal dengan nama Edith Piaf. Cerita ini terinspirasi dari berita hilangnya freediver dunia Natalia Vadimovna Molchanova pada Agustus 2015.
Nurul Alfi yah Kurniawati, mahasiswi UIN Maliki Malang, menulis cerpen dan puisi.
Leave a Reply