Cerpen Yudhi Herwibowo (Suara Merdeka, 08 Mei 2016)
Hah… hah… hah…
Matahari tepat di atas kepalaku. Keringat seperti sudah membasuh tubuhku. Membasahi seluruhnya. Mulai kurasakan kakiku tak lagi sekokoh sebelumnya, seakan tanah yang kujejak terasa goyah. Aku tahu dalam keadaan seperti ini, aku seharusnya berhenti sejenak untuk beristirahat. Ini sudah memasuki hari kedua aku berlari. Wadah airku telah kosong—kosong beberapa saat setelah aku meninggalkan dusunku—tapi aku terpaksa menolak keinginan itu. Kupikir, di padang gersang seperti ini, istirahat hanyalah sesuatu yang percuma.
Hah… hah… hah…
Jadi aku memilih terus melanjutkan langkahku. Aku ingat, setelah padang gersang ini, sepertinya ada danau besar yang begitu jernih airnya. Ia dikelilingi belasan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi. Bertahun-tahun lalu, aku pernah ke sana. Berendan berjam-jam dan memakani ikannya sampai kenyang.
Hah… hah… hah…
Kupikir, nanti aku bisa beristirahat di danau itu. Sepertinya sebelum matahari tenggelam, aku bisa tiba di sana.
***
Tiga hari sebelumnya, seorang laki-laki yang diutus para tetua dusun, datang ke kediamanku. Ia memintaku datang ke balai, tempat para tetua dusun berkumpul. Tentu awalnya aku menyangka telah membuat kesalahan yang tak kusadari. Tapi laki-laki itu, tak pengatakan apa-apa lagi selain undangan itu. Jadi aku kemudian datang ke sana dalam ketidaktahuanku.
“Jadi kaulah anak si Baddara itu?” seorang tetua menyambut kedatanganku.
Aku mengangguk. Baddara adalah ayahku yang sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Ia seorang pengirim pesan paling terkenal di dusun ini.
Tetua itu melangkah mendekatiku, “Kami dengar, kau juga seorang pengirim pesan seperti ayahmu?”
Aku mengangguk. Ya, setahun setelah kematian ayah, aku memang memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan ayah. Kupikir hanya itulah pekerjaan yang bisa kulakukan dengan baik, dibanding pekerjaan lainnya.
Mata tetua itu menyapu seluruh tubuhku. Saat ia melihat ke arah kakiku, kulihat wajahnya sedikit tak yakin. Aku tahu itu pastilah karena kakiku yang terlalu kurus.
“Kau juga mengirim pesan dengan…berlari?”
Aku mengangguk, “Seperti ayah, aku juga pelari.”
“Bagus, bagus,” ia menepuk pundakku beberapa kali. “Kalau begitu aku langsung saja. Hmm, kau mungkin masih bertanya-tanya mengapa kami mengundangmu ke mari? Ada hal penting yang ingin kami bicarakan padamu.”
Tetua itu kemudian membimbingku mendekati meja. “Kau, lihat?”
Mataku melirik apa yang ada di meja itu. Di situ kulihat: sebuah buku usang yang begitu tebal nampak terikat rantai di keempat sisinya.
“Ini adalah kitab setan. Orang-orang menyebutnya… Kitab Ular.”
Sekilas di antara warna hitam yang nampak di bagian depan buku itu, kulihat samar-samar lukisan seekor ular besar yang sedang mengangkat kepalanya!
“Lalu… apa hubungannya ini denganku?” tanyaku tak bisa menahan keingintahuanku.
“Apakah kau sudah pernah mengantar sesuatu ke arah selatan?” tetua tak menanggapi pertanyaanku. “Tempat di mana padang gersang dan padang pasir terbentang luas, hingga membuat kuda tak bisa melewatinya?”
Tetua itu berhenti sejenak tepat di depan wajahku, “Orang-orang sering menyebutnya… tanah menuju Sumur Akhirat?”
Aku mengangguk ragu. Sewaktu ayah masih hidup, aku memang pernah melewati tempat itu bersamanya. Itu adalah jalur terberat yang masih kurasakan. Dan Sumur Akhirat itu memang ada di sana. Sebenarnya ia hanyalah sebutan sebuah lubang besar yang begitu dalam. Konon, kata orang-orang, lubang itu tembus ke bagian bumi lainnya.
“Kau pasti bisa menangkap hubungan semua ini dengan dirimu bukan?”
Aku tak menjawab. Mataku hanya bisa mengikuti pandangan matanya ke arah kitab di atas meja itu.
“Yah, kami ingin kau membuang buku ini ke sana!”
***
Sungguh, perjalanan kali ini tidaklah mudah. Masih kuingat kepayahanku dulu. Waktu itu, aku mungkin masih berumur 13-14 tahun. Aku nyaris menyerah beberapa kali. Tapi ayah, selalu menyemangatiku. Katanya bila aku berhasil melewati ini, semua tempat yang akan kutuju menjadi lebih mudah.
Sialnya, sekian tahun berlalu, jarang sekali aku menuju ke arah selatan. Apalagi yang mengarah langsung ke arah Sumur Akhirat. Seakan-akan setelah tempat itu, tak ada lagi tempat lainnya. Padahal aku tahu, setelah tempat itu, ada beberapa dusun kecil lainnya di situ.
Untunglah sekarang, aku bisa tiba di danau besar itu, sesaat setelah matahari tenggelam. Sisa-sisa sinarnya masih bisa kulihat saat aku menyeburkan diri ke danau itu. Di saat aku tengah beristirahat itulah, kulihat seorang perempuan cantik tiba-tiba muncul dari dalam danau.
Aku nyaris berteriak. Terlebih saat melihat ia nyaris telanjang. Tubuhnya hanya tertutup kain tipis panjang yang telah basah seluruhnya.
Ia begitu saja mendekatiku. Matanya mengerling genit. Namun langsung kutangkap tujuannya mendekatku, ia beberapa kali memandang buntalan kain di mana aku menyimpan Kitab Ular!
“Perjalananmu masih jauh,” ujarnya setengah berbisik. “Kalau kau mau, aku bisa membantumu. Tinggalkan saja kitab itu di sini, biar aku yang mengantarnya ke Sumur Akhirat.”
Aku menelan ludah. Jelas sekali, bila perempuan ini bukanah perempuan biasa!
“Aku… bisa melakukannya sendiri!” Aku bergegas ke tepian. Kupakai bajuku, dan langsung kuikat buntalan itu kembali di punggungku.
Perempuan itu ternyata sudah mengikuti gerakanku. Ia tiba-tiba saja sudah ada di sebelahku. Melendot di leherku.
“Kau tak akan lelah…”
Aku mencoba tersenyum. Berusaha menepisnya dengan halus, dan mengambil langkah-langkah lebar menjauh, dan melanjutkan lariku.
Aku tak melihat ke belakang lagi. Ini sama seperti saat aku baru meninggalkan dusun. Waktu itu aku hanya memelankan lariku, sambil meneguk minumanku. Tapi terpaan angin yang tak bisa, kurasakan menghempaskan air minumku dengan begitu mudah.
Aku kembali teringat dengan apa yang dikatakan para tetua sebelum aku pergi: Perjalananmu tak akan mudah. Larilah sebisa kau mampu. Setiap jeda kau beristirahat, akan selalu ada sesuatu yang berusaha menggagalkanmu…
***
Sebulan sebelumnya, ada kisah yang mengawali ini semua.
Aku ingat sekali saat itu, para tetua mengumpulkan semua lelaki dewasa di depan balai. Sudah setahun ini dusun kecil kami diserbu ular. Awalnya tentu hanya satu-dua ekor saja yang terlihat. Namun semakin lama, mereka nampak semakin banyak. Korban pun mulai berjatuhan.
Sampai kemudian seorang pengemis buta yang selalu duduk di bawah gerbang dusun berujar pada kami semua; ular-ular itu datang dari gua di atas bukit!
Para tetua kemudian menyuruh semua lelaki dewasa untuk menghancurkan sarang ular itu. Tapi ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Gua itu telah diketahui memiliki puluhan—bahkan ratusan lorong—lorong yang panjang. Ular-ular bisa berada di mana pun juga.
Adalah Harabadai—pemuda terkuat di dusun kami yang konon bisa mengangkat seekor sapi untuk dijual di pasar—kemudian ditunjuk untuk memimpin tugas ini. Ia menjalankan satu-satunya cara yang mungkin dilakukan: menyisir satu demi satu lorong gua itu. Dengan membawa obor, mereka berharap ular-ular itu tak berani mendekat.
Sampai di sebuah lorong mereka semua melihat ular-ular itu melata menjauh mereka. Harabadai dan para pemuda lainnya, segera berlari mengejar dengan golok di tangan. Mereka dapat melihat bila ular-ular itu menuju ke arah yang sama.
Namun di lorong berikutnya yang jelas sebuah lorong buntu, mereka tak menemukan ular-ular itu. Hanya sebuah buku usang yang tergeletak di atas batu.
Harabadai sempat melihat sesuatu bergerak masuk ke dalam buku itu, namun ia tak terlalu mempercayai itu. Perlahan, ia mengangkat buku itu dengan ragu. Ia mendengar suara desisan yang jelas. Dengan gerakan tak yakin, ia mulai membuka buku itu, dan saat itulah secara mengejutkan, beberapa ekor ular tiba-tiba muncul dari dalamnya, dan langsung menggigit ke wajah Harabadai.
Aaackhhh!!!
Kejadian ini begitu cepat. Seorang pemuda yang berada di sebelah Harabadai, langsung mengayunkan pedangnya memotong ular-ular itu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia meraih buku di tangan Harabadai.
“Ambil tali! Ambil taliiii!” teriaknya.
“Jangan biarkan ular-ular ini keluar!”
***
Setelah melewati padang pasir yang cukup luas, aku tiba di ujung sebuah padang rumput. Itu merupakan tanda kalau Sumur Akhirat tak lagi jauh.
Namun saat kakiku mulai melangkah, aku merasa rumput-rumput yang tersentuh kakiku bagai menjadi ular-ular kecil berwarna hijau. Mereka nampak menungguku dengan lidah bisa mereka yang berkali-kali terjulur.
Aku menelan ludah. Tapi aku tak mungkin mundur lagi. Semua sudah sejauh ini. Maka sambil menengadahkan kepala ke atas, menatap awan-awan di langit, aku melanjutkan langkahlangkahku. Tapi sampai jauh aku berlari, tak ada seekor ular pun yang kuinjak. Kakiku tetap hanya menginjak rumput-rumput saja.
Diam-diam aku bernapas lega. Pada akhirnya aku tiba di Sumur Akhirat menjelang senja. Tapi baru beberapa langkah saja aku menuju mendekati, kulihat seorang kakek tua berkepala besar, duduk di situ sambil menghirup pipa tembakaunya.
“Maafkan bila aku aku mengganggumu, Kek,” aku membungkuk memberi hormat padanya. “Aku hanya ingin membuang buku ini ke dalam sana!”
Kakek tua itu melirik buku di tangaku. “Percuma kau membuangnya,” ujarnya kemudian.
“Kenapa?” aku tak mengerti.
“Buku itu akan tetap kembali pada tempatnya, bagaimana pun caranya!”
Aku tak mengerti ucapannya. Kakek tua itu kemudian berdiri dari kursinya. “Kau sepertinya belum mengerti? Di dalam sana,” ia menujuk ke arah Sumur Akhirat, “segala hal buruk berada. Bila mereka sampai dapat keluar dari sana, itu artinya mereka telah berupaya dengan sedemikian keras. Kau tentu tak mau menafikkan itu, bukan?”
Aku menelan ludah, “Aku… lalu… apa yang harus kulakukan?”
Kakek tua itu menghembuskan asap tembakaunya, “Satu-satunya cara, kau hanya bisa… menukarnya!”
“Menukarnya?”
Laki-laki tua itu mengangguk. Lalu tanpa berkata-kata lagi, ia beranjak pergi.
***
Aku kembali berlari menuju dusun tempatku tinggal.
Bebanku tak berkurang. Pundakku tetap berisi sebuah buku tebal seperti sedia kala. Namun kali ini berbeda. Entahlah, saat aku melemparkan Kitab Ular itu ke dalam Sumur Akhirat, tiba-tiba saja buntelan di pundakku seperti terisi kembali.
Namun kali ini terasa berbeda. Punggungku terasa panas. Awalnya aku berusaha tak peduli. Tapi sungguh, rasa panas itu seperti membakar tubuhku.
Maka aku pun memutuskan untuk berhenti. Perlahan kubuka buntalanku. Kukeluarkan kitab itu dari dalamnya. Dan saat itulah mataku terbelalak lebar saat melihat apa yang tergambar di depan buku itu.
Aku berteriak. Sungguh, sepanjang hidupku, aku tak pernah setakut ini! (*)
Yudhi Herwibowo, aktif di buletin sastra Pawon, Solo. Novel terbarunya Cameo Revenge.
cherryelf
Ada beberapa typo, Min, hehe
Anos
DIA LIAT APA ASTAGA