Cerpen Ardy Kresna Crenata (Koran Tempo, 21-22 Mei 2016)
“JADI, sudah berapa lama kau mengenal Yuuko?”
“Sekitar delapan bulan.”
“Sejak dia pindah ke kamar apartemen ini?”
“Ya.”
“Bagaimana dia saat itu? Apa kesan pertamamu saat dia berdiri di hadapanmu dan memandangimu?”
“Dingin.”
“Dingin?”
“Dia menatapku tajam, tapi tatapannya itu tak memancarkan energi. Justru seperti mengisapnya.”
“. . . .”
“Dia membuka mulutnya dan tersenyum, lantas mengucapkan sesuatu yang anehnya tak bisa lagi kuingat. Yang jelas, ini kalau ingatanku tak menipuku, ketika dia tersenyum itu matanya tetap sama. Tajam, namun mati. Ya, mati. Mata itu bukan mata yang bisa kau bilang hidup. Bukan mata yang umumnya kautemukan pada makhluk hidup. Bukan.”
“. . . .”
“. . . .”
“Dan apa yang kau lihat itu menakutkanmu?”
“Tidak. Aku hanya terkejut dan sempat bingung beberapa lama. Mungkin karena itu kali pertama aku menyaksikan sepasang mata seperti itu. Sebelumnya, orang-orang yang berdiri di hadapanku dan memandangiku selalu memiliki mata yang hidup, atau setidaknya memancarkan sesuatu, meski samar.”
“Dan setelah sekian lama, kau mendapati mata itu tak lagi sama?”
“Ya. Benar. Seolah-olah ada yang mengganti sepasang mata itu. Atau, sesuatu telah masuk ke dalam sepasang mata itu. Aku merasakan semacam cahaya memancar darinya.”
“Dan cahaya itu kemudian hilang, hilang lagi?”
“Ya. Bisa dibilang begitu.”
“Kapan itu?”
“Sepuluh hari yang lalu. Ah, sebelas hari yang lalu.”
“Sebelas hari yang lalu. Hmm, hari Minggu.”
“Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi mata itu tiba-tiba kembali ke dirinya yang semula, dirinya saat pertama kali aku melihatnya.”
“Kau menyayangkannya?”
“Sangat.”
“Kenapa?”
“Sebab sejak matanya memancarkan cahaya, Yuuko terlihat menikmati hari-harinya, dan itu membuatku senang. Dia akan berdiri di hadapanku dengan senyumnya yang lebar dan tulus. Lesung pipitnya begitu kusukai. Aku kerap berpura-pura diriku ini adalah sebuah kamera dan aku mengabadikan senyum cerahnya itu untuk kunikmati di lain waktu. Sabtu malam, beberapa saat sebelum dia menuju balkon dan menjatuhkan dirinya ke jalan raya, aku menatap matanya, matanya yang kembali mati itu. Dia terlihat sedih. Benar-benar sedih. Aku begitu putus asa. Sebab, tak sedikit pun bisa menghiburnya, tak juga bisa melakukan apa pun untuk sekadar mengingatkannya bahwa di kehidupan ini, dia berharga. Tak bisa.”
“. . . .”
“. . . .”
“. . . .”
“. . . .”
“Baiklah. Aku akan kembali besok malam. Kuharap belum ada yang membawamu atau memindahkanmu.”
“. . . .”
“. . . .”
“Tunggu.”
“. . . .”
“Kau benar-benar melakukan ini untuknya, kan? Bukan untuk kepentinganmu sendiri?”
“. . . .”
“. . . .”
“Menurutmu?”
“. . . .”
“. . . .”
“Aku akan mencoba memercayaimu.”
“. . . .”
“Yuuko orang baik. Bahkan sangat baik. Kau akan menyadarinya setelah kau mengenalnya.”
“Oke.”
“. . . .”
“. . . .”
“Sampai jumpa besok.”
DILIHAT dari dalam sebuah kereta yang melaju cepat, malam di luar itu seperti ilusi, sesuatu yang palsu dan khayali. Begitulah Takeda Erika berpikir. Ia terus menatap ke arah jendela, mengabaikan orang-orang yang nyaris berdesak-desakan dalam jarak pandangnya, dan menghalanginya. Dingin yang menyebar dari AC menyentuh tengkuknya, dan kembali membuatnya membenamkan kedua tangannya yang mengepal ke saku jaket. Ia sedikit menyesal tak membawa headphone, atau novel, atau manga, sekadar untuk menghabiskan waktu dan mengalihkan perhatiannya. Percakapan dengan cermin besar di kamar apartemen tadi terus terulang dalam benaknya dan ia ingin segera menceburkan diri ke dalam ofuro demi membuyar-enyahkan bayangan-bayangan tersebut.
Pada saat-saat seperti ini, ketika rasa lelahnya seperti telah menumpuk dan mewujud sesosok bangkai di dalam dirinya, Takeda Erika kembali diliputi kegelisahan dan kegamangan. Telah hampir tiga tahun sejak ia menyadari kemampuannya yang di luar akal sehat ini: bisa berinteraksi dengan sejumlah benda mati peninggalan almarhum. Ia sejak awal memang tak yakin kemampuan aneh ini akan berguna baginya, dalam arti membantunya mendapatkan hidup yang lebih baik; melalui hari-hari tanpa harus mengelus dada, menahan marah, atau menahan tangis. Dan kini, ketakyakinannya itu kembali mengusiknya. Sejauh ini, ia sudah menyimak begitu banyak pengakuan dari benda-benda mati dalam upaya menguak apa yang sesungguhnya terjadi di balik kematian seseorang, termasuk cermin besar di kamar apartemen yang ditinggali Oogata Yuuko delapan bulan terakhir ini, dan ia kembali seperti berdiri di depan sebuah layar putih-lebar, dengan tulisan yang terus bergulir ini tertera di sana: “Kematian bukanlah sesuatu yang bisa dipahami—olehmu atau siapa pun.”
Ia menarik sebuah napas panjang dan mengeluarkannya lewat mulut, perlahan-lahan. Setibanya di kamar apartemennya nanti, ia akan langsung menanggalkan pakaian dan membersihkan ofuro, lantas mengisinya.
Kira-kira dua tahun lalu, saat Takeda Erika memutuskan untuk memberdayakan kemampuan anehnya itu—ia melamar ke perusahaan di mana aku bekerja delapan tahun terakhir ini—ia berharap banyak kegelisahannya tadi akan sedikit-sedikit berkurang, dan suatu saat nanti akan menghilang. Dengan tegas dan terang-benderang, ia mengatakan bahwa ia bisa berinteraksi dengan sejumlah benda mati peninggalan seseorang yang belum lama meninggal, dan ini dinilainya akan sangat membantu kinerjanya di lapangan, terutama jika ia ditempatkan di bagian riset. Perusahaan kami ini sendiri, jika kau belum tahu, mendedikasikan dirinya untuk keberlangsungan karya-karya fiksi berkualitas (dan karena itu juga para penulis fiksi berkualitas) di negeri ini. Kami yang ditempatkan di bagian riset, misalnya, bertugas mengumpulkan sebanyak mungkin data potensial dari sebuah kasus yang mungkin bisa dipergunakan untuk membuat sebuah cerita yang bagus; mengumpulkan, sebab nanti akan ada orang-orang yang menilai dan menyeleksinya. Kemampuan unik Takeda Erika benar-benar strategis dalam hal ini. Ia diterima dengan mudah, dan sejak itu aku sudah empat kali bekerja sama dengannya, dan selalu terkagum-kagum oleh kinerjanya.
Rupa-rupanya, selain bisa berinteraksi dengan sejumlah benda mati peninggalan seseorang yang belum lama meninggal, ia pun bisa menghilangkan keberadaannya, atau meniadakan dirinya, membuat orang-orang tak menyadari ia ada meski jelas sekali ia begitu dekat dengan mereka, atau bahkan berada di antara mereka. Kemampuannya yang satu ini, barangkali, diperolehnya dari pelatihan. Orang-orang di perusahaan kami yang ditempatkan di bagian riset menerima sejumlah pelatihan intensif untuk memudahkan kami memperoleh data potensial tadi di lapangan. Sebab, pada dasarnya apa yang kami lakukan ini terbilang melanggar hukum. Aku sendiri, dan kupikir sebagian besar orang riset sepertiku, memiliki kemampuan menyamar yang cukup lihai; kami menggunakan alat-alat tertentu untuk membuat kami tak dikenali dan tak dicurigai. Hanya Takeda Erika, agaknya, yang kemudian memiliki kemampuan seperti yang tadi kujelaskan itu.
Ada sesuatu yang tidak menyenangkan dari kemampuan unik Takeda Erika ini, yang suatu kali ia sendiri pernah mengemukakannya kepadaku. Saat ia menghilangkan keberadaan dirinya, juga saat ia berinteraksi dengan sejumlah benda mati peninggalan almarhum, udara di sekitarnya berubah. Aku bisa merasakannya, sebab aku berada di dekatnya, dan ia, entah kenapa, seperti membiarkan aku tetap merasakan keberadaannya. Jika saat itu hari sedang hangat, tiba-tiba aku merasa kedinginan. Dingin itu menyentuh bukan hanya kulit luarku, namun juga daging dan tulangku. Gigi-gigiku kadang bergemeletuk dan aku merasa ngilu. Jika saat itu hari sedang dingin, aku akan bersyukur telah membawa mantel atau jaket tebal dan mengenakannya.
“Ini kupikir ada hubungannya dengan aliran energi, apa pun wujud energi itu,” ujarnya, tempo hari. “Ketika aku menghilangkan keberadaanku, yang sesungguhnya terjadi adalah aku mengisap keberadaanku itu dan menyimpannya rapat-rapat dalam diriku, sehingga yang tersisa di luar adalah hawa dingin; dingin yang mungkin mengingatkanmu pada kematian. Sementara itu, saat aku bertanya-jawab dengan benda-benda mati itu, yang terjadi adalah aku mengatur ‘frekuensi’-ku, menyesuaikannya dengan ‘frekuensi’ si benda mati, dan itu mungkin menguras energi dalam jumlah banyak. Karena itulah kadang-kadang, setelah melakukannya, terutama dalam waktu yang lama, aku merasa lelah. Benar-benar lelah. Seringkali aku berharap kemampuanku ini tiba-tiba lenyap, begitu saja, dan tak akan pernah muncul lagi. Tak akan pernah muncul lagi, sampai kapan pun. Orang-orang, termasuk dirimu, mungkin mengira aku mensyukuri kemampuanku ini. Kenyataannya, justru sebaliknya.”
Sekiranya aku tidak salah ingat, semua itu dikatakannya dalam kerja sama terakhir kami, delapan atau sembilan bulan yang lalu. Saat itu, kami diminta mengumpulkan data potensial dari kasus kematian seorang ibu yang sangat ganjil. Dalam berita, dikatakan kemungkinan besar si pelaku adalah anak perempuannya sendiri, seorang remaja berumur 15 tahun yang kerap bersitegang dengannya dalam banyak hal, namun nyaris tak ada bukti nyata yang mengarah ke sana selain bahwa di saat-saat yang diduga waktu kematian korban, hanya anak perempuannya itulah yang berada di dekatnya; adapun si korban sendiri diduga mati dicekik, meski tak ditemukan sidik jari si anak di sana. Aku saat itu mengumpulkan data dari bercakap-cakap dengan si anak perempuan dan si ayah, di tempat dan waktu yang berbeda. Takeda Erika memusatkan diri pada pengumpulan data dengan menanyai meja rias dan kacamata korban.
Dan kemudian, Takeda Erika, dalam kasus kematian Oogata Yuuko, mengumpulkan data potensial dengan menanyai cermin besar peninggalan almarhum, atau lebih tepatnya cermin besar di kamar apartemen yang telah delapan bulan ini ditinggali almarhum. Kasus ini sendiri sesungguhnya tidak membingungkan, dalam arti bahwa siapa-siapa yang terlibat dalam kematian Oogata Yuuko mudah disimpulkan, hanya saja motifnya cukup pelik. Menurut portal berita online yang mengabarkan kasus ini pertama kali, tiga hari sebelum Oogata Yuuko bunuh diri, seorang lelaki bernama Kamata Yusuke mengiriminya meeru, pesan elektronik, yang mengatakan bahwa ia telah membunuh seorang perempuan bernama Yamauchi Eimi dan menelantarkan jasadnya di sebuah hutan tak jauh dari apartemen tempat lelaki itu tinggal, dan bahwa ia menyesali perbuatannya itu, dan ia berniat mengakhiri hidupnya demi menebus rasa bersalahnya—meski akhirnya tak dilakukannya. Yamauchi Eimi sendiri, konon, adalah teman dekat—dan bisa jadi lebih dari itu—Oogata Yuuko dalam beberapa bulan terakhir. Kamata Yusuke dan Yamauchi Eimi adalah sepasang kekasih. Setidaknya begitulah yang tertera di berita itu. Motif Kamata Yusuke membunuh kekasihnya itu diduga kuat adalah kecemburuan—jika bukan kebencian—yang berlebih.
Aku tidak tahu apa yang berkecamuk di benak Takeda Erika saat ia mempelajari kasus kematian Oogata Yuuko ini, atau saat ia berhadapan dengan cermin besar itu. Seorang rekan kerjaku berkata Takeda Erika pastilah terpukul, sebab detail kasus itu bagaimanapun beririsan dengan apa yang dulu pernah dialaminya; dulu, saat ia belum bergabung dengan perusahaan kami. Aku pernah mendengar rumor ini dari beberapa sumber, meski aku tak bisa memastikan tingkat kebenarannya.
Rumor ini mengatakan bahwa Takeda Erika dulu menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang lebih tua sebelas tahun darinya, dan itu memancing kecemburuan dari anak perempuan itu, yang adalah seorang perempuan berumur enam belas tahun, dua tahun di bawah umur Takeda Erika saat itu. Takeda Erika secara berkala datang ke rumah si perempuan yang disukainya, sebagai guru les biola bagi si anak. Takeda Erika memerlukan waktu beberapa lama untuk menyadari bahwa perempuan yang disukainya itu rupanya menyukainya juga, dan lebih lama lagi baginya untuk menyadari bahwa si anak ternyata menyukainya dengan tingkatan suka yang menakutkan, yang sanggup mendorong si anak melakukan sesuatu di luar nalar dan norma. Ketika si anak, pada akhirnya, membunuh ibu kandungnya sendiri, Takeda Erika begitu terpukul. Ia terbangun di sebuah pagi buta hanya untuk mendengar anak itu memberikan pengakuan atas apa yang baru saja dilakukannya: bahwa seseorang yang disukainya di dunia ini telah tiada, telah terpisah darinya selama-lamanya. Bisa jadi ini berlebihan, tapi konon, sejak saat itu, selama hampir dua minggu kemudian, Takeda Erika tak bisa tidur. Tidak sedetik pun. Si pembunuh mendekam di penjara dan Takeda Erika tak pernah menjenguknya sekali pun. Beberapa lama setelah kematian kekasihnya ini, Takeda Erika mulai menyadari ia bisa mendengar apa yang diucapkan sejumlah benda mati peninggalan kekasihnya. Sayangnya, pada saat itu, waktu sudah berlalu cukup lama. Takeda Erika hanya sempat berinteraksi beberapa saat saja dengan jam tangan almarhum kekasihnya, dan ia tak beroleh apa pun selain luka yang lebih dalam.
Jika rumor ini akurat, aku bisa mengerti mengapa Takeda Erika seperti melihat kemampuan uniknya itu sebagai kutukan atau hukuman. Dan aku pun, rasanya, bisa memahami kegelisahannya dan kegamangannya, dan keputus-asaannya. Ia tak melontarkan keluhan apa pun kepada atasan, dan memilih terus mendalami kasus tersebut; membiarkan dirinya terseret oleh ingatan dan trauma masa lalu; merelakan dirinya terus tenggelam dan tenggelam ke dalam penyesalan dan rasa bersalah, tanpa sedikit pun berupaya bangkit dan kembali ke permukaan. Dan kemudian ia mati. Tubuhnya menelentang kaku di ofuro yang terisi penuh. Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tak ditemukan tanda-tanda seseorang telah masuk ke kamar apartemennya—apalagi ke kamar mandinya. Saat aku berada di kamar mandi apartemennya itu, beberapa hari kemudian, aku merasakan hawa dingin yang pernah kurasakan dulu; hawa dingin yang mengingatkanku pada kematian. Aku berdiam diri menghabiskan waktu di sana cukup lama, seperti berharap kemampuan unik yang dimiliki Takeda Erika itu sekonyong-konyong kumiliki, dan aku bisa mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi di balik kematiannya itu dari si ofuro, misalnya. Tentu saja, sampai akhirnya aku meninggalkan kamar apartemen itu pun, keajaiban itu tak terjadi.
Dan sekarang, ketika memikirkannya, aku merasa aneh, mendapati diriku menceritakan apa-apa yang mungkin dialami Takeda Erika menjelang kematiannya. Aku tiba-tiba menyesal tak pernah benar-benar mengenalnya; bahkan tak pernah berusaha mengenalnya. Ia di mataku, juga di mata kebanyakan orang di perusahaan kami, selalu sesosok makhluk asing yang, karena kemampuan uniknya itu, terasa berada dalam jangkauan kami—bisa kami sentuh dan kami ajak bicara. Tapi kami tak pernah mengenalnya. Dan ia pun seakan-akan membiarkan kami tak pernah mengenalnya. Ia bergabung dengan perusahaan ini, barangkali untuk mengobati luka-lukanya sendiri, untuk mendapatkan kebahagiaan yang diidam-idamkannya itu. Dan ia tak mendapatkannya; justru beroleh luka-luka lain, yang bisa jadi lebih dalam dan lebih menyakitkan.
Aku berdoa semoga ia memperoleh kebahagiaan itu di alam sana. Semoga. Dan seandainya ia bisa bertemu dengan kekasihnya yang meninggalkannya lebih dulu beberapa tahun lalu, itu tentu akan sangat baik baginya. Sangat-sangat baik baginya.
“SEBELUM Yuuko menuju ke balkon dan menjatuhkan dirinya, apa yang dilakukannya?”
“Memandangiku. Pipinya basah oleh air mata.”
“Dia menangis?”
“Ya. Dia menangis di tempat tidur. Tanpa suara. Beberapa hari terakhir dia seperti itu.”
“Menurutmu itu disebabkan meeru dari Yusuke?”
“Tidak. Yuuko sudah seperti itu sebelum meeru itu datang.”
“. . . .”
“Yuuko menangis bukan karena meeru itu datang, tapi karena dia tahu meeru itu akan datang. Cepat atau lambat.”
“. . . .”
“Dia tahu pada akhirnya dia akan mengakhiri hidupnya. Itu kerap dikatakannya sebulan terakhir. Yang kemudian disesalkannya adalah: dia tak bisa benar-benar menikmati kebahagiaan bersama Eimi. Tidak di kehidupan ini.”
“. . . .”
“Yusuke mencintai Eimi sepenuh hatinya. Yuuko tahu itu. Karena itulah dia tak bahagia.”
“. . . .”
“Yuuko mencintai Eimi sampai-sampai ia bisa merelakan apa pun. Apa pun. Termasuk kebahagiaannya sendiri.”
“. . . .”
“Tapi Eimi tak memahami itu.”
“. . . .” (*)
Ardy Kresna Crenata tinggal di Bogor.
Demia
Wih.. keren… latar jepangnya dapet banget. Jadi berasa baca manga 😃