Cerpen Mona Sylviana (Koran Tempo, 28-29 Mei 2016)
MULANYA cerita ini menggunakan orang pertama sebagai narator. Memasuki minggu ketiga, ketika hampir setiap malam saya coba menyelesaikannya, cerita ini tidak juga rampung. Paragraf pembuka, yang konon bisa menjamin setengah keberhasilan sebuah cerita, telah bolak-balik saya sunting. Tidak soal kalau kelak cerita ini melekat di ingatan banyak orang lebih lama dari masa pembuatannya, tapi saya ragu bahwa dia serupa sebuah cerpen Chekov atau sebuah novel Kawabata.
Ini malam penghabisan. Saya akan pasrahkan ia pindah ke folder “selanjutnya” bersama puluhan cerita lain kalau saya tidak bisa beranjak dari paragraf pembuka.
And every day I’m getting older
And the world slips further away
And every step is only closer
To the one you lost
Behind the road
Beyond our human wants and gains
To both your faith and my disdain
Your trembling lips betray your aim
And you know that when it ends
Telinga saya sampai pekak mendengar “Silence”. Suara dari earphone hanya menggetarkan telinga tanpa mampu lagi mengalirkan suasana yang saya harapkan. Hampa. Saya mengapung. Seperti sendirian dalam perahu di keluasan laut. Saya berada dalam satu keadaan yang sepertinya sudah ada begitu saja. Sebuah keadaan yang sukar dipahami.
“Saya”, tokoh perempuan itu, telah berada dalam waktu dan tempat yang saya anggap tepat. Tapi untuk apa ketepatan itu? Apa mungkin karena menggunakan “saya”? Bisa jadi penggunaan orang pertama itu sebuah kesalahan. Tidak ada jarak yang membuat saya bisa keluar-masuk tokoh itu. Ia menjadi saya. Padahal jelas saya punya persoalan yang bukan persoalan “saya”.
Perempuan itu tidak memahami persoalan saya. Ya, wajar kalau ia hanya mematung di awal paragraf.
Lubang telinganya tertutup busa earphone yang mengantarkan kerenyahan suara Sam Vallen yang sebenarnya tidak ia pedulikan. Telinga itu hanya menerima aliran gelombang menggantikan gelombang suara lain yang ada di sekitarnya. Ia tidak mendengarkannya.
Perempuan itu juga tidak sedang membaca. Matanya jelas tidak pernah ada di halaman-halaman buku terbuka itu. Jari-jari kiri perempuan itu menahan halaman tengah hanya agar posisi buku seimbang. Perempuan tidak sedang melamun. Kepalanya tidak kosong walau tidak berarti sedang berisi. Ia hanya mematung sampai ketika seorang laki-laki melintas masuk.
Tempat duduk perempuan itu menghadap ke pintu masuk, menghadap ke matahari sore yang jatuh. Saya yakin, meski mata perempuan itu hanya memandang lurus ke depan, ia bisa melihat sosok yang selepas melewati pintu masuk melihat ke arahnya. Perempuan itu pasti melihat gerak bola mata laki-laki itu memandang sekeliling selazim seseorang yang masuk ruangan lalu, walau sekilas, gerak itu berhenti padanya.
Untuk lebih meyakinkan bahwa memang ada perhentian sekilas bola mata itu, perempuan itu membalikkan badan. Ada sepasang laki-laki dan perempuan di meja belakang. Ada empat orang remaja di meja samping kanannya. Jadi ada tiga kemungkinan matanya mengarah. Tapi kemungkinan itu segera hilang ketika ia membalikkan badan, laki-laki itu berdiri di samping tembok setinggi pinggang yang membatasi beranda dan tempatnya duduk.
Laki-laki itu menyodorkan tangan, “Saya yakin kita bakal ketemu lagi. Apa kabar?”
Mulut perempuan itu terbuka seolah mengatakan, “Oh….” Tapi mungkin air liur tersedak di tenggorokan hingga tidak ada bunyi apa pun dari mulutnya yang terbuka. Ia menerima sodoran tangan laki-laki itu dengan telapak tangan lembap. Kerutan di dahi perempuan itu tidak bisa menyembunyikan bahwa ia berusaha mengingat paras dan suara yang kini ada di hadapannya.
“Lupa? Saya pesan makan dulu, ya. Eh, pesan langsung ke sana atau bagaimana?”
“Ehm, ke sana lebih cepat.”
“Oke. Saya ke sana.”
Laki-laki itu menuju ke arah tangan perempuan itu menunjuk. Sebuah saung yang langsung terhubung dengan bagian dapur. Laki-laki itu menunggu di belakang seseorang berkerudung hijau alpukat. Beberapa kali dia membalikkan badan. Mungkin untuk memudahkan perempuan itu mengingatnya atau memastikan perempuan itu tidak memberikan kursi ke orang lain. Entahlah, saya belum bisa memberikan motif untuk gerak laki-laki itu.
Setelah memberikan senyum yang sama seperti si tokoh perempuan terima ketika tadi memesan makanan, pelayan perempuan yang rambutnya diikat ekor kuda memberi laki-laki itu daftar menu. Laki-laki itu tampak membalik-balik daftar menu, menyusur huruf-huruf dalam daftar menu setekun filolog mengamati naskah kuno yang aksaranya memudar.
Perempuan itu mengalihkan matanya ketika si laki-laki mendekati papan tulis bertulisan kapur warna-warni di depan konter Special Today. Perempuan itu memperhatikan ruang tempat ia berada. Sebuah rumah makan di halaman belakang bekas landhuizen yang terbilang ramai.
Perempuan itu memastikan bukan hanya letaknya di persimpangan Jalan Cipaganti dan tidak jauh dari Jembatan Pasupati yang membuat hampir semua kursi rumah makan terisi. Tempat itu seperti gua. Daun-daun mahoni di pinggir jalan menyaring suara klakson dan asap knalpot, lalu potpot bonsai pohon asam yang berjajar memperdengarkan derik jangkrik dan keretak lembut reranting.
Keramaian di waktu “tanggung”, waktu makan siang yang sudah lewat dan makan malam yang masih larut, pasti sebabnya kemacetan. Kota ini tidak mengingkari omongan Daendels, “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” Ia telah membengkak. Saban hari gerak setiap speedometer tidak bisa lebih dari 20 kilometer per jam. Banyak orang menukar kemungkinan kenaikan tekanan darah dengan semangkuk cuanki atau segelas bandrek hangat di tempat-tempat seperti rumah makan itu.
“Eh, saya bingung. Saya baru pertama ke sini. Enaknya saya makan apa?”
“Ehm….” Perempuan itu terkejut. Laki-laki itu telah mengurai kemacetan mobil yang berderet jenuh di kepalanya. Kelopak mata perempuan itu terbuka lebar. Ia memandang sosok berkacamata itu seolah sedang berhadapan dengan jelmaan lampu kilat, kecepatannya berpindah tempat lebih cepat dari kelebatan pikiran.
Perempuan itu mematikan program musik di telepon genggam, membuka earphone, membiarkan kabel putih tersampir di bahunya. Ia masih memikirkan jawaban ketika tangan laki-laki itu menunjuk piringnya, “Itu apa?”
“Bakso tahu.”
“Enak?”
“Lumayan.”
“Lumayan…. artinya layak dicoba?”
“Ikannya terasa.”
“Kok, enggak habis?”
“Bukan enggak habis, belum habis….”
“Oke. Saya ikutan makan bakso tahu.” Baru saja kaki laki-laki itu beberapa langkah menjauh, dia berbalik, “Eh, tapi saya beneran lapar. Apa kenyang makan bakso tahu? Sepertinya enggak akan kenyang.”
“Ehm….”
“Makan apa ya?”
“Yang special today?”
“Ada empal gentong, nasi tutug oncom, sama… apa ya tadi? Oh, sate maranggi.”
“Salah satu dari itu?”
“Nah itu, saya tadi bingung mau pilih yang mana.”
“Sate maranggi?”
“Oke.”
Perempuan itu menutup Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta sambil mengingat halamannya.
Saya tidak tahu untuk apa ia melakukan hal itu, toh sedari tadi ia belum membaca sebaris pun kalimat.
“Enggak apa-apa, kan kalau saya duduk di sini?”
Perempuan itu mulai yakin kalau laki-laki itu benar-benar Flash. Dia datang lagi selekas tarikan napas bersama pertanyaan yang sukar dijawab karena celana biru tuanya sudah menempel di kursi kayu bundar tanpa sandaran di depan perempuan itu. Kayu bernomor 23 diletakkannya di pinggir meja.
“Silakan.”
“Kamu, eh, kita enggak usah ber-Anda-Anda, ya…. Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kabarmu bagaimana?”
“Baik.”
“Syukurlah. Tapi kelihatan lebih kurus dari ingatan saya.”
“Oya?”
“Iya. Ehm, ingatan bisa salah.”
Perempuan itu mengangguk dan ingin bilang, ingatan saya selalu salah. Tapi ia malas membuat pernyataan yang akan jadi pertanyaan.
“Kamu juga lebih serius.”
“Oh, ya?”
“Iya. Eh, orang mungkin berubah. Ya, selain yang tadi itu, ingatan bisa salah. Lagian itu sudah lebih dari 4 bulan lalu.”
“Empat bulan? Saya belum ing….”
“Permisi. Sate maranggi sama nasi, teh manis panas, kopi.” Seseorang berpakaian hitam membawa nampan berdiri di samping kanan meja.
“Ya.” Laki-laki itu memindahkan tas dari pangkuan ke kursi di sampingnya. “Aduh, saya enggak pesan apa-apa untuk kamu.”
“Enggak apa-apa. Ini juga belum habis.”
“Mungkin ada tambahan lagi, Pak?”
“Cukup. Terima kasih.” Keduanya menjawabnya bersamaan.
“Kita ngobrol sambil saya makan, ya.”
Perempuan itu mengangguk. Piring pipih putih ditariknya mendekat lalu memotong kecil-kecil siomay yang sudah dingin sebelum memasukkan ke mulut pelan-pelan. Laki-laki itu kelihatan lapar. Dia mengunyah nasi dan potongan sate dengan cepat dan tanpa decapan.
“Saya baru tau tempat ini. Saya enggak sengaja lihat plang namanya pas macet, langsung saya turun dari taksi.”
“Iya. Plangnya kecil.”
“Bagaimana masalahmu?”
Perempuan itu mengangkat dagu. Kedua alisnya bertaut.
“Masalah?”
“Iya.”
“Ehm, saya….” Perempuan itu menarik lembaran tisu dari kotak kayu. Ia mengelap ujung bibirnya.
“Ah, sudahlah. Kamu sering ke sini?”
“Baru sekali ini.”
“Perut saya beruntung. Biasanya kalau lapar sekarat kayak tadi, saya sering malah ketemu makanan ala P3K, hanya pas ganjal usus. Hari ini spesial. Dapat makanan enak dan takdir mempertemukan kita. Selalu ada kesempatan kedua walau takdir mana bisa….”
“Disiasati?”
Laki-laki itu menepuk meja. “Nah. Apa saya bilang? Benar, kan?”
“Apa?”
“Kita memang ditakdirkan untuk ketemu.”
“Kebetulan.”
“Ah…. Kamu baru pertama kali ke sini. Terus kamu ingat omongan Josh tadi. Bayangkan. Destiny itu komedi romantis yang biasanya saya skip, tapi tadi malam saya kok pengen manteng nonton. Itu film lima tahun lalu lho, enggak populer lagi. Kapan kamu nonton? Jangan-jangan tadi malam. Artinya, di kota dan waktu yang sama kita nonton saluran tivi yang sama. Kebetulan? Mungkin. Tapi terlalu banyak kebetulan….”
“Baik. Ini takdir. Terus?”
“Terus…. ya, saya juga enggak tau. Eh, kamu masih enggak percaya takdir?”
“Saya pernah bilang?”
“Secara langsung enggak pernah.”
“Jadi yang bilang siapa? Takdir?”
“Nah, nah,” laki-laki itu menyingkirkan piring dan pinggan sate. Segelas teh langsung menggelontori kerongkonganya. “Kamu berubah sekali dari yang dulu, eh, dari ingatan saya.”
“Oya?”
“Ya. Sekarang lebih… apa ya? Ehm, kayak omonganmu yang barusan.”
“Kenapa?”
“Omonganmu ada rasa seperti bumbu sate ini. Sedikit pedas. Sinis.” Laki-laki itu tersenyum. Dia melepas kacamata dan mengelapnya dengan ujung kemeja. “Saya enggak ingat siapa yang bilang, tapi katanya, kadang-kadang yang kita perlukan hanya menerima. Banyak hal yang enggak bisa dan enggak harus dimengerti.”
“Pasti orang itu bijaksana.”
Laki-laki itu tertawa,
“Sepertinya begitu….”
“Saya serius. Ada peristiwa yang dialami yang sebenarnya bisa diterima karena dimengerti. Paham, kan maksud saya? Eh, maaf. Saya enggak percaya diri kalau menjelaskan. Tapi paham, kan yang saya maksud?”
“Ya. Saya serius dan paham. Terus?”
“Artinya, untuk dimengerti harus ada penjelasan.”
“Paham. Tapi apa kata-kata cukup untuk membilang semua?”
“Memang enggak akan cukup. Saya juga enggak bilang harus semua. Minimal ada untuk menjelaskan pada diri sendiri. Kalau diharuskan menerima semuanya begitu saja, untuk apa bisa berkata-kata? Menerima…. Kok sederhana sekali?”
“Ah, apa bukan kamu yang memperumit?”
“Mungkin. Tapi masalahnya….” Perempuan itu diam. Jari-jarinya menggenggam garpu yang mengirikan kacang yang tidak tertumbuk halus ke pinggiran piring. “Masalah saya….”
Angin sore di pertengahan tahun malah membuat sekujur tubuhnya berkeringat. Perempuan itu tengadah. Ia mengarahkan pandangan lurus ke langit-langit. Menembus atap sirap. Menyibak rimbunan daun-daun mahoni tua.
“Saya tidak suka Caligula’s Horse. Terlalu banyak kata. Saya tidak suka bakso tahu. Saya tidak ingat laki-laki itu. Dan… dan ini semua bukan masalah saya, kan?”
Kami bersitatap. Pandangan perempuan itu tajam melukai bola mata saya. (*)
2016
Mona Sylviana tinggal di Jatinangor, Sumedang. Kumpulan cerita pendeknya, Wajah Terakhir (2011).
Leave a Reply